Tim Terpadu Cek Pengolahan Daging Anjing
Menurut pedagang, daging anjing lebih laku dibandingkan olahan daging babi, ayam, dan ikan laut.
AMLAPURA, NusaBali
Tim Terpadu Provinsi Bali mengecek dua lokasi pengolahan daging anjing di Lingkungan Jasri Kelod, Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem, Jumat (23/8) siang. Tim berikan pemahaman Perda Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Rabies dan Instruksi Gubernur Bali Nomor 524/5913/Disnakkeswan/2019 tentang Larangan Peredaran dan Perdagangan Daging Anjing.
Tim Terpadu dipimpin Kepala Bidang Kesehatan Hewan Kesmavet (Kesehatan Masyarakat Veteriner) Pengolahan dan Pemasaran Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Drh Ni Made Sukerni, didampingi Kasi PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Ditkrimsus Polda Bali AKBP I Ketut Arianta, Kasi Korwas Polsus Ditbinmas Polda Bali Kompol I Nyoman Weca, Kasi PPNS Satpol PP Provinsi Bali I Gusti Ngurah Suadnyana, dan relawan. Tim mendatangi rumah I Nyoman Rema di Lingkungan Jasri Kelod, Kelurahan Subagan. Ini merupakan kunjungan yang kedua kalinya. Kunjungan pertama pada April 2019. Sejak itu, aktivitas potong anjing tidak dilakukan lagi.
Saat tim terpadu datang, Nyoman Rema sedang membuat layang-layang karena tidak punya pekerjaan untuk diandalkan mendapatkan nafkah. Semasih aktif potong anjing, seminggu bisa potong dua ekor. Dia membeli anjing rata-rata Rp 100.000 per ekor untuk ukuran besar. Ada juga yang secara sukarela memberikan anjing untuk dipotong kemudian diolah dijadikan lawar, sate, dan olahan lainnya. Olahannya itu dijual di warung pinggir jalan. “Kalau masih mengolah daging anjing, banyak yang beli, ada yang datang langsung ke rumah, ada yang datang ke warung,” ungkap ayah tiga anak ini.
Diakui, olahan daging anjing lebih laku dibandingkan daging babi, ayam, dan ikan laut. Jual olahan daging babi, ayam, dan ikan laut dengan modal Rp 300.000. Penjualan hanya Rp 100.000. Sedangkan jual daging anjing modal beli seekor anjing Rp 100.000 hasil penjualan Rp 300.000. “Saya potong anjing yang sehat, tidak sembarangan,” tegas Nyoman Rema. Dia pun mempertanyakan larangan memotong, mengolah, dan menjual daging anjing. “Tolong kasihani saya, biar bisa makan,” pintanya kepada petugas gabungan.
Drh Ni Made Sukerni menjelaskan, larangan peredaran dan perdagangan daging anjing diberlakukan sejak terbitnya Instruksi Gubernur Bali Nomor 524/5913/Disnakkeswas/2019 per 24 April 2019. Larangan itu diberlakukan agar tidak terjadi penyebaran penyakit rabies melalui mengonsumsi daging anjing. “Kan bapak sudah punya bangkung, ayam, dolong, dan babi. Itu saja optimalkan, bisa digunakan untuk biaya hidup,” jelas Made Sukerni. Kunjungan sebelumnya dilakukan tim terpadu di Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem menemui pedagang sate anjing Ni Wayan Mustiani yang sedang jualan sate di warungnya. “Jualan sate anjing sejak dua tahun lalu, pembelinya banyak tetapi orang-orang tertentu,” kata Mustiani. *k16
Tim Terpadu dipimpin Kepala Bidang Kesehatan Hewan Kesmavet (Kesehatan Masyarakat Veteriner) Pengolahan dan Pemasaran Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Drh Ni Made Sukerni, didampingi Kasi PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Ditkrimsus Polda Bali AKBP I Ketut Arianta, Kasi Korwas Polsus Ditbinmas Polda Bali Kompol I Nyoman Weca, Kasi PPNS Satpol PP Provinsi Bali I Gusti Ngurah Suadnyana, dan relawan. Tim mendatangi rumah I Nyoman Rema di Lingkungan Jasri Kelod, Kelurahan Subagan. Ini merupakan kunjungan yang kedua kalinya. Kunjungan pertama pada April 2019. Sejak itu, aktivitas potong anjing tidak dilakukan lagi.
Saat tim terpadu datang, Nyoman Rema sedang membuat layang-layang karena tidak punya pekerjaan untuk diandalkan mendapatkan nafkah. Semasih aktif potong anjing, seminggu bisa potong dua ekor. Dia membeli anjing rata-rata Rp 100.000 per ekor untuk ukuran besar. Ada juga yang secara sukarela memberikan anjing untuk dipotong kemudian diolah dijadikan lawar, sate, dan olahan lainnya. Olahannya itu dijual di warung pinggir jalan. “Kalau masih mengolah daging anjing, banyak yang beli, ada yang datang langsung ke rumah, ada yang datang ke warung,” ungkap ayah tiga anak ini.
Diakui, olahan daging anjing lebih laku dibandingkan daging babi, ayam, dan ikan laut. Jual olahan daging babi, ayam, dan ikan laut dengan modal Rp 300.000. Penjualan hanya Rp 100.000. Sedangkan jual daging anjing modal beli seekor anjing Rp 100.000 hasil penjualan Rp 300.000. “Saya potong anjing yang sehat, tidak sembarangan,” tegas Nyoman Rema. Dia pun mempertanyakan larangan memotong, mengolah, dan menjual daging anjing. “Tolong kasihani saya, biar bisa makan,” pintanya kepada petugas gabungan.
Drh Ni Made Sukerni menjelaskan, larangan peredaran dan perdagangan daging anjing diberlakukan sejak terbitnya Instruksi Gubernur Bali Nomor 524/5913/Disnakkeswas/2019 per 24 April 2019. Larangan itu diberlakukan agar tidak terjadi penyebaran penyakit rabies melalui mengonsumsi daging anjing. “Kan bapak sudah punya bangkung, ayam, dolong, dan babi. Itu saja optimalkan, bisa digunakan untuk biaya hidup,” jelas Made Sukerni. Kunjungan sebelumnya dilakukan tim terpadu di Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem menemui pedagang sate anjing Ni Wayan Mustiani yang sedang jualan sate di warungnya. “Jualan sate anjing sejak dua tahun lalu, pembelinya banyak tetapi orang-orang tertentu,” kata Mustiani. *k16
Komentar