LENTERA: Mengenang 17 Tahun Bom Bali
Saat Charles Darwin masih hidup, manusia ditempatkan sebagai objek pasif.
Melalui teori evolusinya, Darwin menyebut manusia sebagai hasil seleksi alam yang tidak bisa dilawan. Di zaman kita, ceritanya lain lagi. Ada banyak ilmuwan seperti Dr Gregg Braden, Dr Kenneth Pelletier, dan Dr Bruce Milton yang menekuni perpaduan antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas, yang menempatkan manusia sebagai kekuatan aktif yang ikut mencipta wajah alam dan kehidupan.
Temuan-temuan keilmuan mutakhir bahkan bercerita, tulang-tulang manusia dari zaman kuno di-ekstrak, kemudian ditemukan inti DNA mereka, kesimpulannya ternyata manusia berperan aktif dalam menentukan wajah dunia dan kehidupan. Dalam kaitan ini, sebutan tentang Bali sebagai Pulau Cinta Kasih bukan hanya hasil fantasi Elizabeth Gilbert melalui mahakarya ‘Eat, Pray, Love’, tapi juga hasil ketekunan tetua Bali untuk ‘mencipta’ selama ribuan tahun. Itu yang secara meyakinkan membuat Bali disebut dunia sebagai Pulau Cinta Kasih di zaman ini.
Setidaknya, ada tiga bukti kuat dan masih tersisa sampai sekarang, bagaimana manusia Bali secara tekun dan tulus selama ribuan tahun membentuk dan menciptakan pulau ini agar jadi Pulau Cinta Kasih. Pertama, tanpa bermaksud menyebut keyakinan yang berbeda dengan sebutan yang kurang bersahabat, di Bali selama ribuan tahun makhluk-makhluk bawah yang berwajah seram menakutkan, dirawat dan diberi makan melalui suguhan. Diberi tempat tinggal bernama penunggun karang.
Ini bukan cerita tentang ketakutan manusia di depan setan. Sekali lagi bukan! Tapi, bercerita tentang kesempurnaan cinta kasih. Bagi orang biasa, cinta kasih hanya layak diberikan kepada orang atau makhluk mulia yang bersahabat. Namun, bagi jiwa bercahaya, cinta kasih layak diberikan kepada semua makhluk tanpa terkecuali. Termasuk makhluk bawah yang seram menakutkan.
Dalam bahasa sederhana namun mendalam, kebencian berlebihan pada kekuatan kegelapan sama dengan memperpanjang daftar panjang kegelapan yang telah panjang di alam ini. Sekaligus mengundang datangnya kekerasan yang baru. Dan, sejujurnya, kegelapan hadir bukan karena putaran waktunya gelap, tapi karena ketiadaan cahaya.
Dalam kaitan inilah, layak ditunjukkan rasa hormat mendalam kepada tetua Bali karena telah mewariskan ajaran spiritual yang sangat dalam ‘Kekuatan kegelapan tidak ada di sini untuk menyerang, tapi hadir di sini untuk menyem-purnakan kasih sayang’. Dalam bahasa lain, hanya karena ada kegelapan, maka sang cahaya bisa memancar jauh lebih terang. Dan, di antara semua cahaya yang menyinari bumi, yang paling terang adalah cinta kasih dalam tindakan.
Bukti kedua tentang Bali sebagai pulau cinta kasih, jiwa manusia oleh tetua Bali disebut ‘dewa ya kala ya’. Ada sisi gelap dan sisi terang dalam jiwa manusia. Ini benih cinta kasih yang kuat dan sehat di dalam. Bagi manusia-manusia yang sakit dan menderita, kekurangan adalah kekuatan di dalam yang hanya layak untuk dibuang.
Semakin keras mereka mencoba membuang kekurangan, semakin menderita mereka di dalam. Melalui pengakuan terhadap sisi gelap dan sisi terang dalam jiwa, manusia diajak melihat wajah jiwa manusia yang penuh dan utuh. Holistik bahasa modernnya. Simbol paling universal dalam hal ini adalah lingkaran Yin-Yang ala tetua di China.
Ada sisi gelap dan sisi terang. Di wilayah gelap ada lingkaran terang, di wilayah terang ada lingkaran gelap. Makna praktisnya, ada keburukan dalam kebaikan, ada kebaikan dalam keburukan. Maksudnya, jika tidak waspada, kebaikan bisa membuat orang gelisah, terutama kalau berharap berlebihan bahwa orang yang dibantu harus membantu balik. Ada kebaikan dalam keburukan, maksudnya hanya karena ada orang-orang buruklah, maka orang baik terlihat menarik dan simpatik. Hanya karena ada wanita yang tidak cantik, maka wanita cantik terlihat jauh lebih menarik. Inilah benih-benih cinta kasih yang dalam sekaligus mengagumkan.
Di Barat ada yang menulis: “When I love myself enough, life blossoms in a beautiful way!” Ketika seseorang mencintai dirinya secara utuh dan penuh, maka kehidupan mekar indah menyerupai bunga indah. Inilah perjumpaan indah dengan ke-u-Tuhan.
Bukti ketiga tentang Bali sebagai Pulau Cinta Kasih, di tempat-tempat di mana alam bercinta, bukit yang maskulin dipeluk oleh samudra yang feminin, di sana tetua Bali mendirikan tempat suci. Uluwatu, Tanah Lot, Ponjok Batu, Pulaki, Silayukti adalah sebagian contoh dalam hal ini.
Percintaan alam terindah di Bali adalah Batur. Puncak Gunung Batur hanya berlubang di bagian yang dipeluk oleh danau batur. Ia bercerita secara terang benderang, ada rahasia jiwa yang sangat dalam di balik perjumpaan spirit maskulin dan feminin. Jika mau lebih dalam, kenapa pria menyukai wanita, wanita tertarik pada pria, karena ada kerinduan jiwa akan kebersatuan. Wanita yang terlahir feminin, kekurangan energi maskulin. Pria yang terlahir maskulin, kekurangan energi feminin. Perjumpaan indah antara keduanya di dalam, itulah yang dicari oleh perjalanan jiwa-jiwa dalam waktu lama.
Di buku suci, hal-hal seperti ini memperoleh pembenaran di ajaran Tantra. Makanya, hanya di Tantra ada orang-orang suci yang memiliki pasangan hidup. Salah satunya adalah Guru Milarepa bernama Marpa. Guru Tantra lain bernama Saraha bahkan secara eksplisit menyebut seks sebagai jalan menuju pencerahan. Sebuah jalan setapak yang sangat dilarang bagi para pemula, terutama karena seks seperti listrik tegangan tinggi. Jika kena setrum, seseorang pasti mati. Namun, bila Anda bisa mengolah listrik tegangan tinggi menjadi cahaya, maka cahaya yang dilahirkan akan sangat terang benderang.
Di dunia kesembuhan dan kedamaian di Barat, mirip dengan jalan Tantra, ada yang menganjurkan vitamin p (pleasure) alias kesenangan. Salah satunya adalah seks. Setelah didalami, ternyata ada ribuan urat saraf yang menghubungkan organ seks dengan bagian otak yang berfungsi menghasilkan hormon kesembuhan, kebahagiaan, dan kedamaian. Dalam tubuh wanita, urat syaraf itu berjumlah 8.000. Dalam tubuh pria, ia berjumlah 4.000. Ini didukung oleh temuan lain, wanita-wanita yang rawan terkena penyakit kanker payudara, dalam prosentase yang besar datang dari orangtua tunggal alias wanita yang berpisah dengan suaminya.
Ringkasnya, ada rahasia cahaya di balik perjumpaan maskulin-feminin. Ada cerita cinta kasih di balik tempat-tempat suci yang ditandai oleh pelukan antara gunung dengan samudera. Lebih dalam dari itu, ada rahasia kesembuhan, kebahagiaan, kedamaian di sana. Serangkaian rahasia yang paling dicari oleh zaman ini. Dan, rahasia ini baru menyembuhkan dan membimbing jiwa pulang kalau seseorang mengobati diri dengan cinta kasih dalam tindakan. Sekali lagi, dalam tindakan. Dari menyayangi keluarga, mencintai panggilan kerja, melayani orang seperti melayani Tuhan, sampai dengan memberi makan kucing (anjing) jalanan serta merawat tanaman.
Digabung menjadi satu, sebutan Bali sebagai Pulau Cinta Kasih tidak saja hasil temuan dan fantasi Elizabeth Gilbert, tapi benih-benih cinta kasihnya sudah ditanam lama di sinim ribuan tahun yang lalu. Pohon cinta kasihnya sudah bertumbuh sangat tua di sini. Dan, karena putaran zaman sangat gelap, maka cahaya ini muncul ke permukaan menerangi dunia.
Ajakannya untuk para sahabat, mari menjadi duta cinta kasih dalam keseharian. Setidaknya, dengan sedikit keluhan namun banyak senyuman. Dibekali oleh renungan spiritual seperti ini, kejadian menyentuh Bom Bali 17 tahun lalu, tepatnya 12 Oktober 2002, tidak menjadi bahan untuk membenci orang, tapi sebagai bahan untuk lebih banyak menyebarkan kasih sayang. *
Guruji Gede Prama
1
Komentar