Diantisipasi, Penyalahgunaan Rokok Elektrik
Rokok elektrik bukan ‘mainan baru’, tapi sebagai alternatif bagi mereka yang berupaya berhenti dari rokok.
DENPASAR, NusaBali
Rencana pemerintah mengeluarkan regulasi untuk melarang rokok elektrik atau lebih dikenal dengan Vape, menggelisahkan para pelaku usaha. Pasalnya, Vape sudah menjadi mata pencaharian, mulai dari memberi lapangan pekerjaan hingga devisa bagi negara. “Pemerintah harus menerbitkan regulasi yang tepat untuk industri rokok elektrik di Indonesia,” kata Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) Ariyo Bimmo, dalam Diskusi Publik Gerakan Pencegahan Penyalahgunaan Rokok Elektrik (GEPPREK) di Denpasar, Selasa (26/11/2019).
Diakui bahwa di Indonesia masalah rokok bukan hal yang baru, bahkan menjadi permasalahan sosial. “Berbeda dengan di negara lain yang jumlahnya sedikit. Di Indonesia tercatat 65 juta orang perokok aktif dan 96 juta orang perokok pasif,” kata Ariyo.
Karena itu, lanjut Ariyo, perlu dilakukan upaya untuk mereduksi jumlah perokok dengan alternatif lain. “Rokok elektrik bukan ‘mainan baru’, tapi sebagai alternatif bagi mereka yang berupaya berhenti dari rokok,” tegas Ariyo. Konsepsi ini pula yang membuatnya cemas manakala rokok elektrik bakal diberangus di Indonesia. Risikonya, lanjut Ariyo, adalah kembalinya perokok elektrik ke rokok konvensional.
Dia juga tak sependapat jika Indonesia perlu melakukan pelarangan mengikuti apa yang diterapkan pada sejumlah negara dunia. “Memang sudah ada 84 negara yang mengatur soal rokok elektrik atau tembakau alternatif secara khusus. Dari jumlah itu 32 negara melakukan pelarangan, sedangkan 52 negara memilih melakukan pengaturan, bukan melarang,” tepis Ariyo.
Dia pun menyebutkan Negara Inggris yang gencar mempromosikan tobacco harm reduction. Selanjutnya di Jepang disebutkan bahwa jumlah perokok mengalami penurunan hingga 20 persen dan tidak memicu gateway phenomenon. “Sebaiknya yang disiapkan adalah pengaturannya. Misal, pembeli harus di atas 18 tahun dan harus menunjukkan identitas jika mencurigakan. Selanjutnya soal kasus penyalahgunaaan narkoba pada rokok elektrik juga harus diatensi,” katanya.
Sementara itu Ketua Asosiasi Vaporizer Bali (AVB), I Gde Agus Mahartika menyatakan pihaknya juga mendukung GEPPREK. Sebagai bentuk komitmennya, AVB akan mengimbau kepada anggotanya agar tidak melakukan penyalahgunaan narkoba pada rokok elektrik dan melarang penjualan produk kepada anak di bawah umur 18 tahun. “AVB berkomitmen akan memberikan sanksi tegas jika anggotanya ada yang terbukti menyalahgunakan narkoba pada rokok elektrik. Kami siap bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengatasi permasalahan ini,” tegasnya.
Pada Diskusi Publik kemarin, dihadiri juga oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Anti Narkoba Indonesia (GANI), Djoddy Prasetio Widyawan. Dijelaskan, untuk mengantisipasi penyalahgunaan narkoba pihaknya sudah melakukan gerakan sosial berupa edukasi kepada anggota asosiasi rokok elektrik, para pengguna, dan publik mengenai bahaya dari penyalahgunaan produk tembakau alternatif.
“Bali dipilih sebagai lokasi pertama untuk mensosialisasikan gerakan ini karena pertumbuhan pengguna produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, sangat pesat. Tercatat, 68 toko elektrik dan 25 produsen likuid, dengan jumlah pengguna sekitar 50 hingga 60 ribu orang,” kata Djoddy. *mao
Diakui bahwa di Indonesia masalah rokok bukan hal yang baru, bahkan menjadi permasalahan sosial. “Berbeda dengan di negara lain yang jumlahnya sedikit. Di Indonesia tercatat 65 juta orang perokok aktif dan 96 juta orang perokok pasif,” kata Ariyo.
Karena itu, lanjut Ariyo, perlu dilakukan upaya untuk mereduksi jumlah perokok dengan alternatif lain. “Rokok elektrik bukan ‘mainan baru’, tapi sebagai alternatif bagi mereka yang berupaya berhenti dari rokok,” tegas Ariyo. Konsepsi ini pula yang membuatnya cemas manakala rokok elektrik bakal diberangus di Indonesia. Risikonya, lanjut Ariyo, adalah kembalinya perokok elektrik ke rokok konvensional.
Dia juga tak sependapat jika Indonesia perlu melakukan pelarangan mengikuti apa yang diterapkan pada sejumlah negara dunia. “Memang sudah ada 84 negara yang mengatur soal rokok elektrik atau tembakau alternatif secara khusus. Dari jumlah itu 32 negara melakukan pelarangan, sedangkan 52 negara memilih melakukan pengaturan, bukan melarang,” tepis Ariyo.
Dia pun menyebutkan Negara Inggris yang gencar mempromosikan tobacco harm reduction. Selanjutnya di Jepang disebutkan bahwa jumlah perokok mengalami penurunan hingga 20 persen dan tidak memicu gateway phenomenon. “Sebaiknya yang disiapkan adalah pengaturannya. Misal, pembeli harus di atas 18 tahun dan harus menunjukkan identitas jika mencurigakan. Selanjutnya soal kasus penyalahgunaaan narkoba pada rokok elektrik juga harus diatensi,” katanya.
Sementara itu Ketua Asosiasi Vaporizer Bali (AVB), I Gde Agus Mahartika menyatakan pihaknya juga mendukung GEPPREK. Sebagai bentuk komitmennya, AVB akan mengimbau kepada anggotanya agar tidak melakukan penyalahgunaan narkoba pada rokok elektrik dan melarang penjualan produk kepada anak di bawah umur 18 tahun. “AVB berkomitmen akan memberikan sanksi tegas jika anggotanya ada yang terbukti menyalahgunakan narkoba pada rokok elektrik. Kami siap bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengatasi permasalahan ini,” tegasnya.
Pada Diskusi Publik kemarin, dihadiri juga oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Anti Narkoba Indonesia (GANI), Djoddy Prasetio Widyawan. Dijelaskan, untuk mengantisipasi penyalahgunaan narkoba pihaknya sudah melakukan gerakan sosial berupa edukasi kepada anggota asosiasi rokok elektrik, para pengguna, dan publik mengenai bahaya dari penyalahgunaan produk tembakau alternatif.
“Bali dipilih sebagai lokasi pertama untuk mensosialisasikan gerakan ini karena pertumbuhan pengguna produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, sangat pesat. Tercatat, 68 toko elektrik dan 25 produsen likuid, dengan jumlah pengguna sekitar 50 hingga 60 ribu orang,” kata Djoddy. *mao
Komentar