Belasan Pedagang Langgar Aturan
'Jual Makanan' di Pantai Kuta
Penataan pedagang dijadwalkan dilakukan pada 2020
MANGUPURA, NusaBali
Sebagai salah satu destinasti wisata, Pantai Kuta tidak luput dari berbagai aktivita para pedagang. Menariknya, dari total 1.168 pedagang yang tercatat di Desa Adat Kuta, ternyata ada 18 pedagang yang diduga melanggar aturan dengan menjual makanan di kawasan pantai. Saat ini, pihak desa adat belum bisa memberikan sanksi tegas karena masih menunggu penataan kawasan yang direncakanan pada tahun 2020 mendatang.
Bendesa Adat Kuta, Desa Kuta, Kecamatan Kuta, Badung, I Wayan Wasista menerangkan, larangan menjual makanan di sepanjang kawasan pantai mulai dari Pantai German sampai di Pantai Kuta tepatnya di depan Hotel The Stone sudah ada sejak dulu. Dalam aturan desa adat itu, bahwa tidak diperkenankan untuk menjual berbagai bentuk makanan di kawasan pantai. Pasalnya, aktivitas dagang makanan di pantai memicu aroma bau menyengat dan lalat yang bertebaran, sehingga ditakutkan mengganggu aktivitas wisatawan yang berkunjung ke Pantai Kuta itu. “Aturan (melarang jualan makanan,red) itu sudah ada sejak dulu. Memang sama sekali dilarang agar tidak memicu hal yang saya sebutkan tadi. Tapi, belakangan ini yang menjual makanan justru menjamur,” ungkap Wasista, Jumat (29/11) siang
Namun, kenyataannya saat ini banyak pedagang yang berjualan makanan. Dari pendataan awal pihaknya, sampai November 2019 ini, tercatat ada 18 pedagang yang menjual makanan di sepanjang area itu. Terkait makanan yang dijual pun bervariasi mulai dari gado-gado, nasi campur, mi instan dan lainnya. Padahal, sejatinya yang hanya bisa dijual oleh pedagang di kawasan itu seperti minuman, kain, dan sewa surfing. “Toh kalau menjual makanan, itu bukan sistem stand (memiliki rak terbuat dari kayu,red). Tapi, yang jual menggunakan keranjang dan dijunjung. Itu prinsipnya keliling, tidak menetap,” terangnya.
Wasista pun tidak bisa menyalahkan siapa-siapa terkait adanya pedagang yang melanggar di Pantai Kuta itu. Dia hanya berharap, agar penataan kawasan dan pedagang di pantai segera terealisasi. Pasalnya, kalau dilakukan penataan saat ini, ditakutkan akan menimbulkan polemik. Apalagi, yang berjualan di area tersebut warga Kuta. “Jadi yang jual di Pantai Kuta itu kan warga kita juga. Dulu dibagikan nomornya sekitar 1.168 orang. Tapi, kenyataan di lapangan, memang ada nomor untuk jualan di pantai itu sudah berpindah tangan. Ini juga fakta yang kita temukan disana. Makanya, kita segera dorong untuk cepat dilakukan penataan. Dengan demikian, segera dikembalikan ke konsep awal,” urainya.
Untuk penataan pedangan dan kawasan itu, sudah sepenuhnya diserahkan ke tiga anggota dewan dapil Kuta. Hal ini juga sudah sesuai dengan keputusan rapat yang sudah dilakukan pada Agustus lalu. Nah, dari pembahasan anggota dewan itu, diketahui proses penataan dijadwalkan pada 2020 mendatang. Hanya saja, dia tidak mengetahui pasti bulan pelaksanaannya. “Kita sudah serahkan ke tiga anggota Dewan Badung dapil Kuta. Semuanya mereka yang merancang sistemnya. Belum lama ini, mereka sempat singgung, kalau hal itu bisa terealisasi tahun depan,” akunya. *dar
Bendesa Adat Kuta, Desa Kuta, Kecamatan Kuta, Badung, I Wayan Wasista menerangkan, larangan menjual makanan di sepanjang kawasan pantai mulai dari Pantai German sampai di Pantai Kuta tepatnya di depan Hotel The Stone sudah ada sejak dulu. Dalam aturan desa adat itu, bahwa tidak diperkenankan untuk menjual berbagai bentuk makanan di kawasan pantai. Pasalnya, aktivitas dagang makanan di pantai memicu aroma bau menyengat dan lalat yang bertebaran, sehingga ditakutkan mengganggu aktivitas wisatawan yang berkunjung ke Pantai Kuta itu. “Aturan (melarang jualan makanan,red) itu sudah ada sejak dulu. Memang sama sekali dilarang agar tidak memicu hal yang saya sebutkan tadi. Tapi, belakangan ini yang menjual makanan justru menjamur,” ungkap Wasista, Jumat (29/11) siang
Namun, kenyataannya saat ini banyak pedagang yang berjualan makanan. Dari pendataan awal pihaknya, sampai November 2019 ini, tercatat ada 18 pedagang yang menjual makanan di sepanjang area itu. Terkait makanan yang dijual pun bervariasi mulai dari gado-gado, nasi campur, mi instan dan lainnya. Padahal, sejatinya yang hanya bisa dijual oleh pedagang di kawasan itu seperti minuman, kain, dan sewa surfing. “Toh kalau menjual makanan, itu bukan sistem stand (memiliki rak terbuat dari kayu,red). Tapi, yang jual menggunakan keranjang dan dijunjung. Itu prinsipnya keliling, tidak menetap,” terangnya.
Wasista pun tidak bisa menyalahkan siapa-siapa terkait adanya pedagang yang melanggar di Pantai Kuta itu. Dia hanya berharap, agar penataan kawasan dan pedagang di pantai segera terealisasi. Pasalnya, kalau dilakukan penataan saat ini, ditakutkan akan menimbulkan polemik. Apalagi, yang berjualan di area tersebut warga Kuta. “Jadi yang jual di Pantai Kuta itu kan warga kita juga. Dulu dibagikan nomornya sekitar 1.168 orang. Tapi, kenyataan di lapangan, memang ada nomor untuk jualan di pantai itu sudah berpindah tangan. Ini juga fakta yang kita temukan disana. Makanya, kita segera dorong untuk cepat dilakukan penataan. Dengan demikian, segera dikembalikan ke konsep awal,” urainya.
Untuk penataan pedangan dan kawasan itu, sudah sepenuhnya diserahkan ke tiga anggota dewan dapil Kuta. Hal ini juga sudah sesuai dengan keputusan rapat yang sudah dilakukan pada Agustus lalu. Nah, dari pembahasan anggota dewan itu, diketahui proses penataan dijadwalkan pada 2020 mendatang. Hanya saja, dia tidak mengetahui pasti bulan pelaksanaannya. “Kita sudah serahkan ke tiga anggota Dewan Badung dapil Kuta. Semuanya mereka yang merancang sistemnya. Belum lama ini, mereka sempat singgung, kalau hal itu bisa terealisasi tahun depan,” akunya. *dar
Komentar