Cambra Berag, Anjing Kurus Sakti
BALI, salah satu dari gugusan pulau di nusantara yang tak terpisahkan dari kehidupan anjing.
Mulai dari peran anjing menjaga rumah, objek kecintaan orang hingga jadi satwa kesayangan, hingga ragam anjing untuk bahan upacara macaru. Di lain sisi, kehidupan anjing tak kalah stigma miring. Mulai dari anjing buangan, liar, hewan penggigit, kotor, penebar rabies yang mematikan manusia (zoonosis), hingga ditakuti para pelancong.
Namun dalam sastra Hindu Bali, anjing bagi orang Bali tentu bukan sekadar hewan atau satwa penjaga rumah. Satwa ini menjadi bagian penting dalam ranah niskala yakni ilmu kawisesan khususnya pangiwa. Salah satu yang merujuk hal tersebut adanya kosa kata Cambra Berag. Secara awam, Cambra Berag berarti sosok anjing yang kurus. Berag dalam bahasa Bali kepara atau lumrah berarti kurus. Namun Cambra Berag atau dalam teks Hindu tertulis I Cambra Berag yang dimaksud adalah salah satu tingkatan ilmu/kawisesan (kesaktian) tingkat tinggi.
I Wayan Turun,70, salah seorang penekun lontar di Bali merujuk naskah Panengen – Pangiwa yang telah dia salin dari aslinya berupa lempengan tembaga. “Cambra Berag bukan berarti anjing kurus. Tetapi anjing (sakti) agelung kurung (bermahkota),” papar ahli prasasti asal Banjar Kedaton, Desa Kesiman Petilan, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar ini, di rumahnya, Jumat (31/7).
Pria yang mendalami tulisan kuna (efigrafi) secara otodidak ini mengungkapkan, dalam salinan naskah Panengen dan Pangiwa tersebut tersurat sarana Pangiwa I Cambra Berag. Antara lain, kain kasa putih dengan rarajahan Cambra Berag Agelung Kurung. Dengan mantra : Om Sang Nirmalah, tan sang nungkuli I Cambra Berag, agelung kurung…….Apan I Cambra Berag kwehing kesaktiane ring mercapadha, tan hanya wanya apan aku saktining lewih pangleyakane, sing teka padha nembah ring awak sariranku, mijil I leyak putih ring aku, I leyak bang nembah ring aku….
“Itu antara lain kosa kata yang terkait dengan asu atau anjing yang berkaitan dengan kawisesan,” ucap penerima sejumlah penghargaan dari berbagai pihak terkait keahliannya.
Wayan Turun yang pelaku sejumlah kesenian ini memaparkan, ada juga istilah Cicing Gudig yang terungkap dalam mithologi asu (anjing) sebagai ancangan (pengiring) dari Bathari Durga. Dikisahkan, ada seekor anjing berguru atau menjadi sisya dari Bathari Durga. Setelah lama berguru, anjing tersebut diberikan kawisesan oleh Bathari Durga. Namun bukan berterimakasih setelah diberi panugrahan, si anjing malah berbalik memusuhi Bathari Durga. Karena ulah si anjing yang druwaka (berani melawan) tersebut, maka anjing ini dipastu (kutuk) menjadi Cicing Gudig (anjing gundul atau tak berbulu).
Papar Wayan Turun, kisah mithologi anjing ini memberikan pemaknaan bahwa perilaku sisya atau murid yang tidak berterimakasih kepada sang guru atau malah berperilaku druwaka/durhaka, pasti akan berakibat fatal. ‘’Perilaku melawan guru tentu saja tidak layak untuk ditiru,’’ pesannta. *k17
Namun dalam sastra Hindu Bali, anjing bagi orang Bali tentu bukan sekadar hewan atau satwa penjaga rumah. Satwa ini menjadi bagian penting dalam ranah niskala yakni ilmu kawisesan khususnya pangiwa. Salah satu yang merujuk hal tersebut adanya kosa kata Cambra Berag. Secara awam, Cambra Berag berarti sosok anjing yang kurus. Berag dalam bahasa Bali kepara atau lumrah berarti kurus. Namun Cambra Berag atau dalam teks Hindu tertulis I Cambra Berag yang dimaksud adalah salah satu tingkatan ilmu/kawisesan (kesaktian) tingkat tinggi.
I Wayan Turun,70, salah seorang penekun lontar di Bali merujuk naskah Panengen – Pangiwa yang telah dia salin dari aslinya berupa lempengan tembaga. “Cambra Berag bukan berarti anjing kurus. Tetapi anjing (sakti) agelung kurung (bermahkota),” papar ahli prasasti asal Banjar Kedaton, Desa Kesiman Petilan, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar ini, di rumahnya, Jumat (31/7).
Pria yang mendalami tulisan kuna (efigrafi) secara otodidak ini mengungkapkan, dalam salinan naskah Panengen dan Pangiwa tersebut tersurat sarana Pangiwa I Cambra Berag. Antara lain, kain kasa putih dengan rarajahan Cambra Berag Agelung Kurung. Dengan mantra : Om Sang Nirmalah, tan sang nungkuli I Cambra Berag, agelung kurung…….Apan I Cambra Berag kwehing kesaktiane ring mercapadha, tan hanya wanya apan aku saktining lewih pangleyakane, sing teka padha nembah ring awak sariranku, mijil I leyak putih ring aku, I leyak bang nembah ring aku….
“Itu antara lain kosa kata yang terkait dengan asu atau anjing yang berkaitan dengan kawisesan,” ucap penerima sejumlah penghargaan dari berbagai pihak terkait keahliannya.
Wayan Turun yang pelaku sejumlah kesenian ini memaparkan, ada juga istilah Cicing Gudig yang terungkap dalam mithologi asu (anjing) sebagai ancangan (pengiring) dari Bathari Durga. Dikisahkan, ada seekor anjing berguru atau menjadi sisya dari Bathari Durga. Setelah lama berguru, anjing tersebut diberikan kawisesan oleh Bathari Durga. Namun bukan berterimakasih setelah diberi panugrahan, si anjing malah berbalik memusuhi Bathari Durga. Karena ulah si anjing yang druwaka (berani melawan) tersebut, maka anjing ini dipastu (kutuk) menjadi Cicing Gudig (anjing gundul atau tak berbulu).
Papar Wayan Turun, kisah mithologi anjing ini memberikan pemaknaan bahwa perilaku sisya atau murid yang tidak berterimakasih kepada sang guru atau malah berperilaku druwaka/durhaka, pasti akan berakibat fatal. ‘’Perilaku melawan guru tentu saja tidak layak untuk ditiru,’’ pesannta. *k17
Komentar