Orang Bali Merdeka
Orang Bali merdeka tidak sama dengan Bali merdeka. Jika Bali merdeka lebih menuju pada kebebasan menentukan arah politik.
Lalu, apa pula itu orang Bali merdeka? Apakah mungkin o-rang Bali merdeka?
Di Bulan Agustus orang selalu berbincang tentang kemerdekaan. Bung Karno dengan jitu menggelorakan apa itu kemerdekaan. Ia menyebut kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kemakmuran.
Siapa yang tak butuh jembatan, tatkala kita ingin sampai di seberang dengan leluasa dan aman? Siapa tak suka emas, karena setiap orang senang serba gemerlap, sebab kemilau mudah membuat orang takjub dan terpana. Maka jika kemerdekaan itu jembatan emas, ini bukan sembarang jembatan, setiap orang harus membangun jembatan itu, harus menciptakannya, mewujudkan, karena setiap orang ingin sejahtera dan makmur.
Tapi emas bukan main mahal harganya. Ia, seperti juga mata uang, bisa menentukan arah perekonomian dunia. Demam emas di Amerika Serikat sekian abad silam membuat orang baku tembak di tanah suci orang-orang Indian, yang gunung dan bukit-bukitnya kaya bongkahan emas.
Emas membuat orang cemerlang, kaya, berkuasa, juga membuat mereka berkelahi dan mati. Maka jembatan emas itu mahal. Kemerdekaan itu tidak murah. Beruntunglah mereka yang bebas merdeka, karena mereka memiliki barang yang paling mahal.
Dalam urusan apakah orang Bali merdeka? Dalam hal apa orang Bali memiliki sesuatu yang paling mahal itu?
Ada yang berkomentar, dulu orang Bali jauh lebih merdeka dibanding kini. Dulu itu kapan? Pokoknya dulu, ketika mereka bebas menaruh padi di tepi jalan tak ada orang yang mencuri. Ketika ibu-ibu belanja ke pasar, menggenggam uang, dan tak ada copet. Ketika pintu rumah tak perlu dikunci, dan tak sepotong barang pun diambil orang.
Tapi dulu orang Bali tak cukup banyak punya barang. Senter pun mereka tak punya. Kalau bepergian malam, mereka menggunakan prakpak, daun kelapa kering dibakar. Mereka tak punya televisi, tak cukup punya gelas (diganti dengan bungbung, batang bambu), tak banyak piring (diganti kau-kau, tempurung kelapa). Karena sedikit punya barang, mereka pun jarang kehilangan, sebab untuk apa orang mencuri kau-kau atau bungbung yang sangat sepele harganya, dan tak laku dijual?
Karena itulah orang Bali di masa itu bebas merdeka, tidak terikat oleh barang dan benda. Mereka pun tak pernah cemas kehilangan, tidak stres memikirkan milik yang sedikit. Di zaman itu sedikit sudah cukup membuat bahagia dan sejahtera. Sekarang, punya banyak selalu ingin punya lagi berulang-ulang, sehingga bahagia tak kunjung datang, hidup sibuk mengejar, jauh dari merdeka.
Pemeluk Hindu diberi keyakinan, kalau ingin merdeka hendaklah menuju pada kehidupan tertinggi: jadilah seorang sanyasin, bebas dari ikatan duniawi. Rabindranath Tagore, pujangga India itu, menulis sebuah drama pendek yang sangat memikat dan menakjubkan, tentang seorang sanyasin yang hidup meminta-minta, berbekal kau-kau, mendatangi rumah ke rumah, meminta nasi dan lauk untuk makan sehari-hari.
Masyarakat modern masa kini tentu menyebutnya sebagai puncak kemelaratan hidup. Namun seorang sanyasin justru mengidamkannya, karena itulah kebahagiaan tertinggi, adalah kebebasan dan kemerdekaan yang sempurna.
Orang-orang Bali pemeluk Hindu tentu mustahil dan ajaib diminta menjadi sanyasin kalau ingin menjadi orang Bali yang merdeka. Mana mungkin mereka yang sudah susah payah bekerja di masa muda, menimbun uang dan tabungan, beli mobil, rumah bagus, sudi meninggalkan semua itu begitu saja, terlunta-lunta jadi peminta-minta? Lantas, orang Bali yang merdeka itu yang mana?
Agama mengajarkan, orang yang merdeka itu adalah mereka yang sudah mati, ketika senang tak lagi bisa dikecap, dan susah tak lagi terasakan. Orang Bali menyebutnya moksa, ketika badan kasar tak lagi dikendalikan oleh atman, karena jazad sangat sementara, begitu cepat tiada. Tubuh inilah yang membuat hidup terjajah, karena ia mengajukan begitu banyak tuntutan kenikmatan duniawi. Maka semasih hidup, siapa pun sebenarnya tak pernah merdeka.
Mereka yang terkapar sakit sekarat, menyedihkan banyak orang, tapi, orang-orang yang bersedih itu selalu berusaha keras menyembuhkannya. Kendati si sakit tua renta, tak punya peluang banyak buat menambah umur, toh sanak saudara, tetap berjuang mengurusnya. Beberapa justru menginginkan agar ia mati saja. Ketika ia benar-benar mati, semua lega. “Orangtua kami sudah terbebas dari derita,” komentar mereka. “Ia sudah bebas dari sakit.” Maka sesungguhnya, mati itu adalah kemerdekaan.
Lalu, apa makna kemerdekaan yang sering dipidatokan, direnungkan, di bulan Agustus? Itu cuma obrolan tentang kemerdekaan politik, kemerdekaan harkat, kemerdekaan yang ditilik dari sudut undang-undang dan peraturan, karena kita bisa menentukan arah sendiri, mandiri, menghirup penuh udara demokrasi. Yang diteriakkan Bung Karno pun, tentang jembatan emas kemerdekaan menuju kemakmuran itu, sebenarnya cuma retorika politik.
Di hari memperingati kemerdekaan, bangsa ini diajak mengheningkan cipta, diam tiga menit, tentu untuk menghormati para pahlawan. Juga untuk mensyukuri nikmat kemerdekaan yang sudah diraih.
Ada orang-orang Bali yang memaknai hening cipta tiga menit itu lebih dari sebuah syukur dan terimakasih buat para pejuang yang gugur. Orang-orang ini menilainya sebagai sebuah renungan untuk menghayati, bahwa kalau ingin benar-benar merdeka, manusia harus meninggalkan dunia ini, mesti mati. Kematian membebaskan orang dari derita kemelut jiwa dan raga. Itulah kemerdekaan. Mungkin itu sebabnya, teriakan yang membahana di bulan Agustus adalah ‘merdeka atau mati!’ *
Aryantha Soethama
Pengarang
Pengarang
Komentar