Petik Laut, Wujud Syukur Nelayan Atas Kemurahan Samudera
NEGARA, NusaBali
Setiap tahun, sejumlah nelayan di pesisir Desa/Kecamatan Pekutatan, Jembrana, rutin menggelar tradisi petik laut.
Tradisi dengan melarung sesajen berupa kepala sapi atau kepala kerbau ke laut ini, bertujuan memohon keselamatan sekaligus wujud syukur kepada Tuhan atas hasil laut yang diterima nelayan.
Tradisi petik laut tersebut biasa dilakukan pada bulan Muharam, yakni bulan pertama dalam penanggalan Hijriyah atau Tahun Baru Islam. Khusus tahun 2020 ini, tradisi Petik Laut di Pantai Pekutatan, dilaksanakan pada Sabtu (22/8). Selain nelayan dari Desa Pekutatan, tradisi ritual di pantai Pekutatan ini, sekalian dilaksankan bersama para nelayan dari Desa Pulukan, yang juga biasa melaut di pantai setempat.
Ketua Kelompok Nelayan Sumber Sari Karya di Desa Pekutatan, Misnadi, 45, mengatakan, tradisi petik laut yang biasa juga disebut syukuran nelayan ini, sudah menjadi tradisi turun menurun nelayan. Selain di Desa Pekutatan, tradisi petik laut ini, juga masih biasa digelar beberapa masyarakat nelayan di Jembrana. "Sudah turun menurun dari nenek moyang kita. Kita sendiri, tidak tahu dari kapan mulai dilaksankan," ucapnya.
Rangkaian acara petik laut di Pekutatan sendiri, sambung Misnadi, diawali nelayan berkumpul untuk gotong-royong. Ada yang berugas mendirikan terob dan menyemblih sapi. Sore harinya, barulah dilakukan prosesi ngelarung kepala sapi ke laut. "Kalau di sini, kami selalu pakai kepala sapi. Yang ke tengah, biasanya dua jukung. Sedangkan masyarakat nelayan kumpul di pinggir. Setelah ngelarung selesai, malamnya kita syukuran, kumpul makan-makan," ucapnya.
Dalam pelaksanaan ritual Petik Laut ini, kata Misnadi, tidak mengenal suku, ras ataupun agama. Seluruh nelayan, termasuk anggota kelompok yang beragama Hindu, bersama-sama ikut saat membuat olahan makanan atau pun saat acara syukuran pada malam hari setelah prosesi ngerarung. Saat syukuran itu, selain hidangan daging sapi, para istri nelayan juga biasa membawa berbagai hidangan olahan daging ayam, ikan, termasuk berbagai jajanan.
"Saat syukuran malam setelah ngelarung, biasanya diisi hiburan. Seperti dangdut, tari-tarian. Tetapi karena tahun ini situasi Covid-19, pas acara hari Sabtu (22/8) lalu, tidak ada hiburan. Tetapi kita kumpul sesama nelayan bersama keluarga. Pas kumpul-kumpul itu, juga datang saudara-saudara kita yang dari umat Hindu," ujarnya.
Keesokan hari setelah prosesi ngelarung dan makan-makan itu, dari para kelompok nelayan, khususnya yang umat Muslim melaksanakan doa bersama. Saat acara doa bersama itu, biasanya khusus mengundang tokoh kiyai, dan kembali menyediakan berbagai hidangan. Di sela-sela acara itu, juta mengundang para jajaran aparat desa serta Pemkab Jembrana.
"Kalau pas acara hari kedua, tidak begitu lama. Paling biasa sampai jam 10 pagi. Tetapi kalau hari pertama, dari menyembelih sapi, ngelarung, sampai syukuran, baru sampai malam. Tetapi kembali, karena situasi Covid-19, waktu syukuran setelah ngelarung, kita tetapi patuhi protokol kesehatan, kita batas acara tidak sampai tengah malam," kata Misnadi.
Selama ini, Misnadi menegaskan, para masyarakat nelayan di Pekutatan, tidak pernah sampai meniadakan tradisi Petik Laut. Setiap tahun, selalu digelar. "Kita tetap jalankan setiap tahun. Intinya, kita memanjat syukur atas berkah yang sudah diberikan, memohon agar selalu diberikan rejeki, dan selalu memohon keselamatan di laut," pungkasnya. *ode
Komentar