Omnivora, Pelahap Segala
Sejak pensiun sebagai dosen biologi, Wayan J Jiyestha sering berembug dengan temannya, Nyoman R Sudira, pensiunan guru bahasa Indonesia.
Nama asli Wayan sesungguhnya Wayan Jalu, nama pemberian orangtua. Kadang ia merasa nama itu terlalu ndeso, sehingga ia panjangkan menjadi Wayan Jalu Jiyestha. Biar kian tersamar ndesonya, dia singkat menjadi J Jiyestha. Jadi lumayan keren juga jadinya itu nama.
Rekannya, Nyoman Riug, ketika diberitahu kiat membuat nama kuno jadi mentereng, ikut-ikutan memperpanjang nama menjadi Riug Sudira, sering ia tulis Nyoman R Sudira, ikut menyamarkan nama, yang menurut mereka nama pemberian orangtua itu memang kolot. Boleh jadi karena mereka cocok, berteman pun seperti bersaudara kandung, sering ngobrol, sering bertukar cerita dan bertukar buku.
Gara-gara wabah Covid mereka membatasi waktu untuk bertemu pisik. “Kita ini tergolong makhluk berisiko tinggi terpapar Covid, karena sudah lansia,” ujar Jalu. Mereka pun sibuk ngobrol lewat telepon genggam, sering video call, sekali-sekali pakai aplikasi Zoom. “Tidak apa-apa kita seminar berdua,” gurau Riug. “Kita ini lansia milenial.”
Cucu-cucu mereka kadang merasa aneh melihat dua kakek itu bikin seminar berduaan. Para cucu itu menganggap kakek mereka lebih agresif menggunakan teknologi tinimbang remaja. Tapi mereka senang, karena kakek bahagia menikmati hari tua. Sekali-sekali anak-anak itu bergabung dalam Zoom, jadilah zominar dua generasi, kakek-cucu.
Lewat video call Jalu menghubungi Riug, mau ngerumpi tentang demo yang menentang Undang-undang Cipta Kerja. Yang dibahas Jalu bukan soal isi undang-undang itu, tapi mengapa namanya dipopulerkan dengan omnibus law. Menurut Jalu cukup disebut omni law, tanpa bus.
“Memangnya kenapa?” tanya Riug. “Kamu tahu arti omni? Kalau law aku paham.” “Setiap orang yang pernah belajar biologi pasti tahu arti omni. Kalau sudah sampai pada pelajaran pembagian makhluk hidup berdasarkan yang dimakan untuk meneruskan hidup dan keturunan, kita mengenal herbivora, karnivora dan omnivora,” jelas Jalu.
Di layar HP Jalu melihat dahi Riug berkerut. “Gak usah bingung,” pinta Jalu. “Aku paham kamu gak bisa segera menangkap apa itu omnivora.” Jalu menjelaskan, karnivora adalah makhluk hidup yang memperoleh gizi dan nutrisi dari makan daging. Macan, singa, tahunya cuma makan daging. Yang disantap pun daging mamalia gede-gede seperti kerbau, zebra atau kijang. Perutnya gak sanggup mengolah makanan dari tumbuh-tumbuhan.
Dalam zoologi, herbivora itu makhluk yang memakan tumbuh-tumbuhan, tidak makan daging. Sapi, kuda, kambing, cukup memamah rumput untuk hidup, tidak perlu makan daging. Mahluk ini gak bertaring seperti macan, serigala atau singa.
“Kalau omnivora?” tanya Riug tak sabar. “Omnivora itu pelahap segala. Memakan tumbuhan suka, menyantap daging juga oke. Gak peduli daging rebus atau daging mentah. Burung gagak, babi, adalah contoh omnivora.” “Babi? Wah pantesan orang Bali suka sama babi, karena babi bisa diberi apa saja. Makanya di Bali babi itu disebut tatakan banyu, penampung sisa-sisa dapur. Apa saja, daging, sayur, nasi, kacang, disantap babi jadi lemak dan daging. Setelah itu babi dipotong dan diguling, jadi santapan lezat. Dulu, memelihara babi itu tidak usah diberi makanan konsentrat seperti sekarang, cukup sisa-sisa dapur atau daun dagdag dan batang pisang.”
“Ya, tidak beda dengan manusia yang juga tergolong omnivora, melahap segala. Manusia itu suka sayur, doyan daging olahan dan daging mentah, terutama para penyuka lawar,” ujar Jalu.
“Kecuali yang vegetarian ya, mereka bukan lagi golongan omnivora. Tapi, siapa tahu mereka suka mencicipi daging mentah yang hidup. Kalau yang ini bisa digolongkan omnivora spesial, atau omnivora VIP. Hehehe….” “Karena itu menurut aku, omnibus law itu cukup ditulis omni law saja, karena bisa melahap segala undang-undang, menelan peraturan-peraturan apa pun.”
“Kalau cuma disebut omni law, itu bisa berarti melahap semua hukum, yang bisa diartikan hukum dari semua hukum. Omnibus law itu sebuah hukum baru yang menjadi penampung dari banyak peraturan. Hukum dari segala hukum itu kan undang-undang dasar.”
Sekarang giliran Jalu, guru biologi itu, yang mengerutkan dahi. Riug memang pernah kuliah di fakultas hukum, cuma tiga semester, sebelum pindah ke perguruan tinggi keguruan. Menurut Riug, manusia itu, selain makhluk omnivora, juga badan hukum, makhluk hukum, benar benar omnivora komplet, sungguh-sungguh pelahap sejati. Manusia itu pembuat undang-undang, juga sibuk melanggar peraturan yang mereka buat.
“Manusia itu organisme omnivora hukum,” jelas Riug. “Mereka melahap hukum, mengunyahnya, memuntahkannya, untuk bersiasat, berpolitik, berkelit, membela, dan juga buat menghukum.” “Kalau begitu kita harus waspada dengan makhluk omnivora,” ujar Jalu. “Karena mereka bisa melahap apa saja, menyikat semua.” *
Aryantha Soethama
Pengarang
Rekannya, Nyoman Riug, ketika diberitahu kiat membuat nama kuno jadi mentereng, ikut-ikutan memperpanjang nama menjadi Riug Sudira, sering ia tulis Nyoman R Sudira, ikut menyamarkan nama, yang menurut mereka nama pemberian orangtua itu memang kolot. Boleh jadi karena mereka cocok, berteman pun seperti bersaudara kandung, sering ngobrol, sering bertukar cerita dan bertukar buku.
Gara-gara wabah Covid mereka membatasi waktu untuk bertemu pisik. “Kita ini tergolong makhluk berisiko tinggi terpapar Covid, karena sudah lansia,” ujar Jalu. Mereka pun sibuk ngobrol lewat telepon genggam, sering video call, sekali-sekali pakai aplikasi Zoom. “Tidak apa-apa kita seminar berdua,” gurau Riug. “Kita ini lansia milenial.”
Cucu-cucu mereka kadang merasa aneh melihat dua kakek itu bikin seminar berduaan. Para cucu itu menganggap kakek mereka lebih agresif menggunakan teknologi tinimbang remaja. Tapi mereka senang, karena kakek bahagia menikmati hari tua. Sekali-sekali anak-anak itu bergabung dalam Zoom, jadilah zominar dua generasi, kakek-cucu.
Lewat video call Jalu menghubungi Riug, mau ngerumpi tentang demo yang menentang Undang-undang Cipta Kerja. Yang dibahas Jalu bukan soal isi undang-undang itu, tapi mengapa namanya dipopulerkan dengan omnibus law. Menurut Jalu cukup disebut omni law, tanpa bus.
“Memangnya kenapa?” tanya Riug. “Kamu tahu arti omni? Kalau law aku paham.” “Setiap orang yang pernah belajar biologi pasti tahu arti omni. Kalau sudah sampai pada pelajaran pembagian makhluk hidup berdasarkan yang dimakan untuk meneruskan hidup dan keturunan, kita mengenal herbivora, karnivora dan omnivora,” jelas Jalu.
Di layar HP Jalu melihat dahi Riug berkerut. “Gak usah bingung,” pinta Jalu. “Aku paham kamu gak bisa segera menangkap apa itu omnivora.” Jalu menjelaskan, karnivora adalah makhluk hidup yang memperoleh gizi dan nutrisi dari makan daging. Macan, singa, tahunya cuma makan daging. Yang disantap pun daging mamalia gede-gede seperti kerbau, zebra atau kijang. Perutnya gak sanggup mengolah makanan dari tumbuh-tumbuhan.
Dalam zoologi, herbivora itu makhluk yang memakan tumbuh-tumbuhan, tidak makan daging. Sapi, kuda, kambing, cukup memamah rumput untuk hidup, tidak perlu makan daging. Mahluk ini gak bertaring seperti macan, serigala atau singa.
“Kalau omnivora?” tanya Riug tak sabar. “Omnivora itu pelahap segala. Memakan tumbuhan suka, menyantap daging juga oke. Gak peduli daging rebus atau daging mentah. Burung gagak, babi, adalah contoh omnivora.” “Babi? Wah pantesan orang Bali suka sama babi, karena babi bisa diberi apa saja. Makanya di Bali babi itu disebut tatakan banyu, penampung sisa-sisa dapur. Apa saja, daging, sayur, nasi, kacang, disantap babi jadi lemak dan daging. Setelah itu babi dipotong dan diguling, jadi santapan lezat. Dulu, memelihara babi itu tidak usah diberi makanan konsentrat seperti sekarang, cukup sisa-sisa dapur atau daun dagdag dan batang pisang.”
“Ya, tidak beda dengan manusia yang juga tergolong omnivora, melahap segala. Manusia itu suka sayur, doyan daging olahan dan daging mentah, terutama para penyuka lawar,” ujar Jalu.
“Kecuali yang vegetarian ya, mereka bukan lagi golongan omnivora. Tapi, siapa tahu mereka suka mencicipi daging mentah yang hidup. Kalau yang ini bisa digolongkan omnivora spesial, atau omnivora VIP. Hehehe….” “Karena itu menurut aku, omnibus law itu cukup ditulis omni law saja, karena bisa melahap segala undang-undang, menelan peraturan-peraturan apa pun.”
“Kalau cuma disebut omni law, itu bisa berarti melahap semua hukum, yang bisa diartikan hukum dari semua hukum. Omnibus law itu sebuah hukum baru yang menjadi penampung dari banyak peraturan. Hukum dari segala hukum itu kan undang-undang dasar.”
Sekarang giliran Jalu, guru biologi itu, yang mengerutkan dahi. Riug memang pernah kuliah di fakultas hukum, cuma tiga semester, sebelum pindah ke perguruan tinggi keguruan. Menurut Riug, manusia itu, selain makhluk omnivora, juga badan hukum, makhluk hukum, benar benar omnivora komplet, sungguh-sungguh pelahap sejati. Manusia itu pembuat undang-undang, juga sibuk melanggar peraturan yang mereka buat.
“Manusia itu organisme omnivora hukum,” jelas Riug. “Mereka melahap hukum, mengunyahnya, memuntahkannya, untuk bersiasat, berpolitik, berkelit, membela, dan juga buat menghukum.” “Kalau begitu kita harus waspada dengan makhluk omnivora,” ujar Jalu. “Karena mereka bisa melahap apa saja, menyikat semua.” *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar