Indef Minta Transparansi Stok Gula
Cegah Penimbunan
JAKARTA, NusaBali
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai pemerintah harus bertindak tegas terhadap perusahaan yang nakal menimbun gula.
Terlebih Penimbunan ini terjadi saat kebutuhan gula meningkat pada Ramadan dan jelang Lebaran.
Hal ini menyusul adanya temuan 15 ribu ton gula rafinasi dan 22 ribu ton gula kristal di gudang sebuah perusahaan di Jawa Timur oleh Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polda Jawa Timur (Jatim).
Bhima mengatakan, aksi dugaan penimbunan ini merupakan kejahatan kemanusiaan karena menimbun gula untuk mencari rente keuntungan maksimal di tengah daya beli yang sedang lemah.
"Solusi bukan sekadar penindakan tapi juga pencegahan. Misalnya dalam pemberian izin impor gula harus dicek dulu apakah stok gula di dalam negeri memang terbatas," kata dia dalam keterangannya, seperti dilansir kontan, Selasa (4/5).
Selain itu, lanjut Bhima, pemerintah juga bisa memaksa importir, produsen maupun distributor gula untuk memberikan data akurat terkait produksi dan stok gula yang dimiliki. Hal ini dinilai penting agar stok gula ada saat dibutuhkan dan tidak berlebihan.
"Kemudian juga transparansi terkait stok yang dimiliki oleh gudang dan importir. Selama ini masalahnya adalah pendataan yang lemah sehingga bisa dimanfaatkan oleh rente impor gula," ungkap dia.
Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi VI DPR RI Nusron Wahid. Menurut Nusron, kuota impor raw sugar yang diberikan kepada PG seharusnya seimbang dengan penyerapan tebu petani yang mampu dilakukan oleh PG tersebut. Dengan demikian, tebu petani juga bisa terserap dengan baik. Sehingga petani tidak merasa terancam setiap kali ada gula mentah impor masuk ke Indonesia.
"Harusnya alokasi kuota disesuaikan dengan jumlah seberapa besar dia menyerap tebu petani. Sehingga petani menjadi tertarik dan semangat untuk budidaya tebu, karena secara ekonomis menjanjikan. Faktanya sekarang banyak pabrik yang hanya menyerap tebu petani 2 persen dari kuota impor yang diperoleh. Ini sungguh terlalu," jelas dia.
Untuk memberikan efek jera kepada importir dan perusahaan yang berani melakukan penimbunan, pemerintah harus segera menghentikan proses dan izin impor dari perusahaan tersebut. Ini agar menjadi pelajaran bagi importir lain agar tidak bermain-main dengan kuota impor yang diberikan oleh pemerintah.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Supriadi menegaskan bahwa, ijin impor raw sugar tidak didikte oleh tuntutan perusahaan tertentu, namun ditentukan oleh adanya defisit dan kebutuhan yang diajukan oleh industri makanan minuman setahun sebelumnya, sehingga dengan adanya importasi terjadi keseimbangan neraca gula. *
Bhima mengatakan, aksi dugaan penimbunan ini merupakan kejahatan kemanusiaan karena menimbun gula untuk mencari rente keuntungan maksimal di tengah daya beli yang sedang lemah.
"Solusi bukan sekadar penindakan tapi juga pencegahan. Misalnya dalam pemberian izin impor gula harus dicek dulu apakah stok gula di dalam negeri memang terbatas," kata dia dalam keterangannya, seperti dilansir kontan, Selasa (4/5).
Selain itu, lanjut Bhima, pemerintah juga bisa memaksa importir, produsen maupun distributor gula untuk memberikan data akurat terkait produksi dan stok gula yang dimiliki. Hal ini dinilai penting agar stok gula ada saat dibutuhkan dan tidak berlebihan.
"Kemudian juga transparansi terkait stok yang dimiliki oleh gudang dan importir. Selama ini masalahnya adalah pendataan yang lemah sehingga bisa dimanfaatkan oleh rente impor gula," ungkap dia.
Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi VI DPR RI Nusron Wahid. Menurut Nusron, kuota impor raw sugar yang diberikan kepada PG seharusnya seimbang dengan penyerapan tebu petani yang mampu dilakukan oleh PG tersebut. Dengan demikian, tebu petani juga bisa terserap dengan baik. Sehingga petani tidak merasa terancam setiap kali ada gula mentah impor masuk ke Indonesia.
"Harusnya alokasi kuota disesuaikan dengan jumlah seberapa besar dia menyerap tebu petani. Sehingga petani menjadi tertarik dan semangat untuk budidaya tebu, karena secara ekonomis menjanjikan. Faktanya sekarang banyak pabrik yang hanya menyerap tebu petani 2 persen dari kuota impor yang diperoleh. Ini sungguh terlalu," jelas dia.
Untuk memberikan efek jera kepada importir dan perusahaan yang berani melakukan penimbunan, pemerintah harus segera menghentikan proses dan izin impor dari perusahaan tersebut. Ini agar menjadi pelajaran bagi importir lain agar tidak bermain-main dengan kuota impor yang diberikan oleh pemerintah.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Supriadi menegaskan bahwa, ijin impor raw sugar tidak didikte oleh tuntutan perusahaan tertentu, namun ditentukan oleh adanya defisit dan kebutuhan yang diajukan oleh industri makanan minuman setahun sebelumnya, sehingga dengan adanya importasi terjadi keseimbangan neraca gula. *
Komentar