Pariwisata Abrakadabra
Seorang pesulap berdiri di panggung, melepas topi tinggi yang ia kenakan, memegangnya di depan dada.
Di atas topi ia memainkan tongkat sihir, memutarnya beberapa kali dengan mimik sangat serius. Tiba-tiba ia berteriak, ‘Abrakadabra!’ Dan dari topi melesat terbang seekor merpati putih. Penonton bertepuk tangan.
Sulap, seperti juga pertunjukan sirkus, disukai banyak orang, segala umur. Ada ketegangan dalam hiburan ini, juga banyak hal yang ditunggu-tunggu. Sulap pun tidak pernah membosankan, kendati diulang-ulang, dan orang sudah tahu endingnya. Jika sesuatu yang baru, ajaib, muncul di akhir sulap, tepuk tangan bakal semakin riuh, dan berita itu cepat menyebar, sehingga tontonan sulap makin dikunjungi orang berbondong-bondong.
Tapi sulap tak cuma berarti hiburan, bukan melulu tontonan dengan trik mantra abrakadabra. Sulap juga acap muncul dalam kehidupan sehari-hari, dialami banyak orang, sulit dimengerti mengapa sampai terjadi, sehingga sering disebut sebagai keajaiban. Hidup yang mendadak berubah tiba-tiba sering disebut sebagai sulap, hidup abrakadabra.
Seorang pedagang sate ayam tiba-tiba punya uang beratus juta karena menang lotre, disebut hidupnya bak disulap. Seorang sekretaris dinikahi bosnya, jadi istri kedua, menerima banyak warisan, membangun rumah di kampung, itu juga hidup disulap. Seorang pengusaha kaya, punya banyak pabrik, tanah luas dan kebun di banyak tempat, tiba-tiba jatuh miskin karena bermain valas, disebut hidupnya bak disulap.
Hidup disulap, yang tidak ada menjadi ada, sering disebut hidup yang bimsalabim. Ini istilah sama untuk abrakadabra. Orang Bali menyebut ini sebagai manik sekecap. Semula tiada, lalu tampak. Atau barusan ada, tiba-tiba lenyap. Manik sekecap sering muncul dalam dongeng-dongeng Bali. Seorang anak gadis yang jujur, dikasihani seekor burung sakti, dan si burung berteriak, “Manik sekecap ada kalung di lehermu”. Maka benarlah leher si gadis berkalung emas berkilau. Atau orangtua mengutuk anaknya yang durhaka, “Bimsalabim, jadilah kamu batu.” Di hari-hari tertentu, selepas tengah malam, orang-orang yang bermukim di sekitar batu mendengar jeritan tangis anak memelas, “Tolongng… tolongng… ampunnn… ampunnn…”
Di Bali, kisah-kisah abrakadabra, peristiwa-peristiwa bim salabim, banyak bisa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pelaku abrakadabra ini adalah industri turisme. Seorang pedagang acung, yang menjual patung atau cinderamata di pantai, tiba-tiba kaya raya karena berkenalan dengan bule. Mereka bekerjasama berbisnis, sukses, usaha melebar ke bisnis penginapan, fashion, kuliner. Atau seorang wanita tukang pijat di sebuah spa, disunting bule, kebagian banyak harta setelah beranak pinak, punya travel biro. Kisah manik sekecap diperpanjang tak bakal habis-habis.
Pariwisata manik sekecap ini pernah menjadi bahasan menarik dalam diskusi bulanan Jumpa Ngopi di Warmadewa Research Centre, Kampus Universitas Warmadewa, Denpasar. Dalam diskusi itu I Ketut Satriawan memaparkan “Mantra Kamuflase Satria Baja Hitam dan Pariwisata di Nusa Penida”. Ketut mengungkap perihal Nusa Penida yang selalu bertekad berubah, berubah, berubah, demi pariwisata. Perubahan terus menerus ini seperti sosok-sosok transformer atau tokoh Satria Baja Hitam yang gampang berubah dalam tontonan televisi anak-anak.
Gubuk-gubuk petani rumput laut dibuldozer, berganti menjadi tempat bersenang-senang kaum plesir. Nusa Penida, pas dijadikan contoh pariwisata abrakadabra. Sebuah tempat yang gersang disulap menjadi penginapan dan tempat hiburan yang meriah.
Bali adalah contoh nyata pariwisata bimsalabim. Gara-gara pandemi Covid-19, pariwisata abrakadabra semakin jelas wujudnya. Yang lama berkutat dalam bisnis pariwisata pasti mengalami manik sekecap ini. Seorang pebisnis turisme tiba-tiba kehilangan rezeki sama sekali. Ubud, Nusa Dua, Sanur, Kuta, yang riuh, sunyi sepi, seperti wilayah kalah perang. Destinasi wisata ini seperti disulap. Bagai mimpi, turis yang berseliweran hilir mudik tiba-tiba lenyap raib bak ditelan bumi.
Banyak pelaku turisme, mulai bos, top manajer, pemilik, sampai pekerja-pekerja rendah, terpapar virus abrakadabra. Jika dulu turisme adalah sulap dan sihir membuat banyak orang kebanjiran uang, kini semua berbalik: meluluhlantakkan segala yang sudah dibangun dengan susah payah.
Kegigihan orang-orang menjadi kaya lewat pariwisata abrakadabra tak pernah pudar. Anak muda banyak bekerja di kapal pesiar. Alasan mereka, gaji besar, bisa keliling dunia, singgah di kota-kota terkenal di lima benua. Tak sedikit yang menjadikan bekerja di kapal pesiar sebagai kunci menuju sukses.
Tiga tahun bekerja, bisa punya banyak duit, ditabung, lalu bisa untuk mewujudkan rencana: membangun rumah, modal untuk berdagang, buka kios sembako, dan sudah tentu untuk ongkos menikah. Sekarang, gara-gara pandemi, mereka sadar, dan tak pernah menyangka, masuk perangkap sulap sihir pariwisata abakadabra. *
Aryantha Soethama
Komentar