MUTIARA WEDA: Warisan ‘Menjadi’
Di manakah delusi, di manakah penderitaan, bagi orang bijaksana yang senantiasa melihat kesatuan eksistensi dan mengindra segala sesuatu sebagai dirinya sendiri?
Yasmin sarvāni bhutāni ātmā eva abhud vijānatah,
Tatra kah mohah kah sokah ekatvam anupasyatah.
(Isa Upanisad, 7)
KALAU kita renungkan, sepertinya tidak salah jika kita mencoba melihat bahwa segala sesuatu yang ada di luar diri itu sebagai diri kita sendiri. Jika kita melihat ada orang kaya, kita coba merasakan bahwa yang kaya itu adalah diri kita. Ketika melihat orang bahagia, kita mencoba juga merasakan bahwa yang bahagia itu adalah diri kita. Ketika mendengar lagu yang indah, kita rasakan bahwa yang indah itu adalah diri kita. Ketika kita mengecap rasa yang enak, kita rasakan bahwa yang enak itu adalah diri kita. Ketika kita meraba sesuatu yang lembut, yang lembut itu adalah diri kita. Apapun itu yang ada di dunia ini dirasakan sebagai diri kita. Apa jadinya?
Mungkin, jawaban dari ‘apa jadinya’ itulah yang menjadi mahavakya Upanisad ‘tat tvam asi’. Atau tidak salah jika kita mengatakan bahwa Upanisad mencoba mengajak orang-orang untuk meluaskan rasanya ke segala penjuru dunia, merasakan dunia, dan merasakan apapun yang eksis di semesta ini. Upanisad sepertinya ingin mengajak kita berpetualang ke seluruh penjuru dunia, bukan hanya untuk melihat keindahannya, tetapi menjadi keindahan itu sendiri. Upanisad ingin mengajak kita tidak saja mengecap rasa yang enak, tetapi menjadi rasa enak itu sendiri. Upanisad mengajak tidak saja ingin mendengar sesuatu yang merdu, tetapi menjadi kemerduan itu sendiri. Demikian juga Upanisad tidak saja ingin mengajak kita menyentuh sesuatu yang lembut, tetapi menjadi kelembutan itu sendiri.
Ini adalah sesuatu yang unik dan membuat kita tertantang. Sebagai orang yang dilahirkan untuk mewarisi kitab seperti di atas, sepertinya kita masih abai dan belum menunjukkan rasa tanggungjawab yang besar. Atau kalaupun kita merasa mewarisi tanggungjawab itu, yang kita lakukan bukanlah apa yang diajarkan. Kita tidak memperlakukan teks seperti di atas seperti apa yang diinginkan. Kita tidak menjalankan bahwa kita semestinya ‘menjadi’ atas apapun yang ada di alam semesta. Kita hanya mempercayai apa yang ada di dalamnya dan kemudian kita mendiskusikannya, dan kemudian kita memujanya, menghaturkan sesajen padanya setiap Hari Saraswati, atau kita hanya menyakralkannya, menaruhnya di gedong suci. Sementara diri kita berperilaku seperti apa alaminya kita tanpa sedikit pun mencoba mengurai apa yang dipesankan teks seperti di atas.
Memang, mengerjakan seperti apa yang dinyatakan oleh teks di atas itu sesuatu yang berat. Kita mewarisi sebuah tanggungjawab yang teramat besar, bahkan saking besarnya, kita sampai memiliki cara berpikir sendiri di dalam melaksanakan apa yang mesti terhadap teks itu. Memang, kita harus mengakui bahwa berupaya untuk ‘menjadi’ bukanlah perkara gampang, sebab ‘menjadi’ itu bukan sekadar melihat, merasa, meraba atau mengecap, tetapi menjadi satu dengan apa yang dilihat, diraba, didengar atau dikecap. Ini memerlukan upaya yang sangat besar. Selama ini kita hanya diajarkan untuk melihat, meraba, mengecap, mendengar saja, tetapi tidak pernah diajak untuk menyatu dengan apa yang dilihat, dengan apa yang diraba, dengan apa yang didengar, dan dengan apa yang dikecap.
Memang susah mewarisi teks seperti di atas, karena kemungkinan kemampuan kita dalam mempertanggungjawabkannya sangat kecil. Tetapi, jika bisa, itu adalah sesuatu yang luar biasa. Teks seperti di atas tidak pernah menuntut pewarisnya harus seperti itu, sebab kondiri yang diwariskan adalah kondiri yang paling ideal. Kalaupun pewaris belum bisa seperti itu, paling tidak mereka mau mendiskusikannya dan memikirkan tentang kebenarannya. Ini adalah sebuah evolusi panjang, dan apa yang diajarkan oleh teks adalah titik akhir dari evolusi itu sendiri. Kita diajak untuk mengikuti arus evolusi tersebut secara bertanggungjawab. Jika kita mampu berjalan pelan-pelan, maka kita tidak dituntut lari, demikian sebaliknya. Intinya, mari kita jujur pada diri, seberapa besar kita mampu mengerjakan proses evolusi yang disarankan itu. *
(Isa Upanisad, 7)
KALAU kita renungkan, sepertinya tidak salah jika kita mencoba melihat bahwa segala sesuatu yang ada di luar diri itu sebagai diri kita sendiri. Jika kita melihat ada orang kaya, kita coba merasakan bahwa yang kaya itu adalah diri kita. Ketika melihat orang bahagia, kita mencoba juga merasakan bahwa yang bahagia itu adalah diri kita. Ketika mendengar lagu yang indah, kita rasakan bahwa yang indah itu adalah diri kita. Ketika kita mengecap rasa yang enak, kita rasakan bahwa yang enak itu adalah diri kita. Ketika kita meraba sesuatu yang lembut, yang lembut itu adalah diri kita. Apapun itu yang ada di dunia ini dirasakan sebagai diri kita. Apa jadinya?
Mungkin, jawaban dari ‘apa jadinya’ itulah yang menjadi mahavakya Upanisad ‘tat tvam asi’. Atau tidak salah jika kita mengatakan bahwa Upanisad mencoba mengajak orang-orang untuk meluaskan rasanya ke segala penjuru dunia, merasakan dunia, dan merasakan apapun yang eksis di semesta ini. Upanisad sepertinya ingin mengajak kita berpetualang ke seluruh penjuru dunia, bukan hanya untuk melihat keindahannya, tetapi menjadi keindahan itu sendiri. Upanisad ingin mengajak kita tidak saja mengecap rasa yang enak, tetapi menjadi rasa enak itu sendiri. Upanisad mengajak tidak saja ingin mendengar sesuatu yang merdu, tetapi menjadi kemerduan itu sendiri. Demikian juga Upanisad tidak saja ingin mengajak kita menyentuh sesuatu yang lembut, tetapi menjadi kelembutan itu sendiri.
Ini adalah sesuatu yang unik dan membuat kita tertantang. Sebagai orang yang dilahirkan untuk mewarisi kitab seperti di atas, sepertinya kita masih abai dan belum menunjukkan rasa tanggungjawab yang besar. Atau kalaupun kita merasa mewarisi tanggungjawab itu, yang kita lakukan bukanlah apa yang diajarkan. Kita tidak memperlakukan teks seperti di atas seperti apa yang diinginkan. Kita tidak menjalankan bahwa kita semestinya ‘menjadi’ atas apapun yang ada di alam semesta. Kita hanya mempercayai apa yang ada di dalamnya dan kemudian kita mendiskusikannya, dan kemudian kita memujanya, menghaturkan sesajen padanya setiap Hari Saraswati, atau kita hanya menyakralkannya, menaruhnya di gedong suci. Sementara diri kita berperilaku seperti apa alaminya kita tanpa sedikit pun mencoba mengurai apa yang dipesankan teks seperti di atas.
Memang, mengerjakan seperti apa yang dinyatakan oleh teks di atas itu sesuatu yang berat. Kita mewarisi sebuah tanggungjawab yang teramat besar, bahkan saking besarnya, kita sampai memiliki cara berpikir sendiri di dalam melaksanakan apa yang mesti terhadap teks itu. Memang, kita harus mengakui bahwa berupaya untuk ‘menjadi’ bukanlah perkara gampang, sebab ‘menjadi’ itu bukan sekadar melihat, merasa, meraba atau mengecap, tetapi menjadi satu dengan apa yang dilihat, diraba, didengar atau dikecap. Ini memerlukan upaya yang sangat besar. Selama ini kita hanya diajarkan untuk melihat, meraba, mengecap, mendengar saja, tetapi tidak pernah diajak untuk menyatu dengan apa yang dilihat, dengan apa yang diraba, dengan apa yang didengar, dan dengan apa yang dikecap.
Memang susah mewarisi teks seperti di atas, karena kemungkinan kemampuan kita dalam mempertanggungjawabkannya sangat kecil. Tetapi, jika bisa, itu adalah sesuatu yang luar biasa. Teks seperti di atas tidak pernah menuntut pewarisnya harus seperti itu, sebab kondiri yang diwariskan adalah kondiri yang paling ideal. Kalaupun pewaris belum bisa seperti itu, paling tidak mereka mau mendiskusikannya dan memikirkan tentang kebenarannya. Ini adalah sebuah evolusi panjang, dan apa yang diajarkan oleh teks adalah titik akhir dari evolusi itu sendiri. Kita diajak untuk mengikuti arus evolusi tersebut secara bertanggungjawab. Jika kita mampu berjalan pelan-pelan, maka kita tidak dituntut lari, demikian sebaliknya. Intinya, mari kita jujur pada diri, seberapa besar kita mampu mengerjakan proses evolusi yang disarankan itu. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar