Perempuan Lintas Agama Diajak Rawat Kerukunan dari Kelompok Terkecil
Perempuan adalah anggota masyarakat yang sehari-hari relatif dekat dengan kehidupan bermasyarakat. Karena itu, Forum Perempuan Lintas Agama (Forpela) Provinsi Bali, diajak terus membangun dan merawat kerukunan beragama mulai dari kelompok terkecil.
DENPASAR, NusaBali
Mulai dari mengedukasi keluarga tentang pentingnya kerukunan hidup beragama, menggalang kerukunan dengan tetangga, hingga kelompok masyarakat yang lebih luas.
Ajakan tersebut disampaikan Ketua Forum Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB) Provinsi Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet saat tampil sebagai pembicara dalam acara talk show yang diselenggarakan dalam rangkaian HUT Forum Perempuan Lintas Agama Provinsi Bali, di gedung Kerta Sabha rumah jabatan Gubernur Bali, Sabtu (30/11). Acara yang dihadiri para tokoh wanita Bali, dan pengurus Forpela se-Bali tersebut bertajuk ‘Peran Aktif Perempuan Dalam Merawat Kerukunan Masyarakat’. Talk Show yang dipandu Dr Luh Riniti Rahayu tersebut juga menampilkan narasumber dari Polda Bali, AKBP Ni Wayan Sri.
Menurut Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, Negara Indonesia ini memang negara religius, dimana berbagai agama besar tumbuh subur. Namun beberapa tahun belakangan, persisnya sejak era reformasi bergulir, kerukunan beragama di Indonesia terus menjadi sorotan berbagai negara. Itu karena seringnya terjadi aksi terorisme di Indonesia yang hampir semuanya berawal dari banyaknya oknum umat beragama tertentu yang terpapar paham radikalisme. “Beberapa Negara lain yang benar-benar sekuler, seperti Singapura dan Finlandia, aman aja kok. Maka menurut saya, yang terjadi di negeri kita ini adalah kurang pahamnya masyarakat kita akan pentingnya toleransi beragama dibangun. Panduan kita jelas, yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Jadi dari Sabang sampai Merauke, dari Nias sampai Rote, itu harga mati,” ujarnya.
Selain kurangnya pemahaman yang holistik akan toleransi beragama, ia juga melihat ada semacam degradasi pemahaman terhadap era reformasi dan demokrasi. Bahwa masyarakat saat ini, kata Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, sudah kebablasan memahami arti reformasi, juga sudah kebablasan memahami arti kebebabasan dalam demokrasi. “Beda dengan zaman Orde Baru. Apakah Orde baru salah semua? Tidak. Ada banyak nilai-nilai dari Orde Baru yang baik. Coba kita refleksi, pengamalan Pancasila dan kerukunan hidup beragama pada zaman Orde Baru sangat dikedepankan, sehingga masyarakat hidup damai, jauh dari ketakutan dan rasa terancam oleh terorisme. Kita sadari itu hari ini. Maka saya mengajak kaum ibu-ibu yang pergaulannya membaur dengan masyarakat sehar-hari, agar terus menebar ajaran-ajaran toleransi kepada sesama. Cegah paham radikalisme dengan peduli terhadap hal-hal yang aneh-aneh tentang idelogi atau ajaran agama yang disalahtafsirkan dalam masyrakat,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan AKBP Ni Wayan Sri dari Polda Bali. Ia juga mengajak kaum ibu, baik yang tergabung dalam organisasi maupun yang tidak, untuk terus peduli terhadap lingkungan masing-masing. Jika ditemukan masyarakat yang sudah mulai menunjukan ciri-ciri radikal, seperti melarang anaknya hormat bendera, atau tingkah laku lain yang cenderung menjurus pada radikalisme, harus dicegah. Bangun komunikasi dengan orang-orang seperti itu agar mereka kembali pada nasionalisme Indonesia.
“Kita sadar bahwa era globalisasi apalagi sekarang masuk era digitalisasi, begitu banyak tantangan hidup bermasyarakat muncul. Masih banyak radikalisme yang bila tidak dicegah akan berubah menjadi terorisme. Masih banyak penistaan dan intoleransi. Mungkin ibu-ibu awam dalam mengidentifikasi radikalisme dan terorisme, minimal ibu-ibu bisa melapor kepada kami, untuk diambil langkah-langkah seperlunya,’ kata Ni Wayan Sri.
Sementara Ketua Forum Perempuan Lintas Agama, Ni Nyoman Nilawati berpendapat, perempuan Bali sesungguhnya telah banyak berperan dalam merawat toleransi umat beragama di Bali khususnya. Meski ia mengaku peran itu masih perlu ditingkatkan karena tantangan yang ada juga terus bertambah. “Perempuan Bali sudah berbuat banyak. Tapi masih perlu ditingkatkan, dengan dialog-dialog untuk menambah wawasan Kamtibmas. Karena kalau ga ngerti Kamtibmas, bagaimana perempuan bisa mawas diri. Jadi dialog-dialog seperti ini menurut saya perlu terus dipupuk, apalagi di Forum Perempuan Lintas Agama ini, ibu-ibu dari semua agama ada. Ini peluang,” pungkas Nilawati. *isu
Mulai dari mengedukasi keluarga tentang pentingnya kerukunan hidup beragama, menggalang kerukunan dengan tetangga, hingga kelompok masyarakat yang lebih luas.
Ajakan tersebut disampaikan Ketua Forum Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB) Provinsi Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet saat tampil sebagai pembicara dalam acara talk show yang diselenggarakan dalam rangkaian HUT Forum Perempuan Lintas Agama Provinsi Bali, di gedung Kerta Sabha rumah jabatan Gubernur Bali, Sabtu (30/11). Acara yang dihadiri para tokoh wanita Bali, dan pengurus Forpela se-Bali tersebut bertajuk ‘Peran Aktif Perempuan Dalam Merawat Kerukunan Masyarakat’. Talk Show yang dipandu Dr Luh Riniti Rahayu tersebut juga menampilkan narasumber dari Polda Bali, AKBP Ni Wayan Sri.
Menurut Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, Negara Indonesia ini memang negara religius, dimana berbagai agama besar tumbuh subur. Namun beberapa tahun belakangan, persisnya sejak era reformasi bergulir, kerukunan beragama di Indonesia terus menjadi sorotan berbagai negara. Itu karena seringnya terjadi aksi terorisme di Indonesia yang hampir semuanya berawal dari banyaknya oknum umat beragama tertentu yang terpapar paham radikalisme. “Beberapa Negara lain yang benar-benar sekuler, seperti Singapura dan Finlandia, aman aja kok. Maka menurut saya, yang terjadi di negeri kita ini adalah kurang pahamnya masyarakat kita akan pentingnya toleransi beragama dibangun. Panduan kita jelas, yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Jadi dari Sabang sampai Merauke, dari Nias sampai Rote, itu harga mati,” ujarnya.
Selain kurangnya pemahaman yang holistik akan toleransi beragama, ia juga melihat ada semacam degradasi pemahaman terhadap era reformasi dan demokrasi. Bahwa masyarakat saat ini, kata Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, sudah kebablasan memahami arti reformasi, juga sudah kebablasan memahami arti kebebabasan dalam demokrasi. “Beda dengan zaman Orde Baru. Apakah Orde baru salah semua? Tidak. Ada banyak nilai-nilai dari Orde Baru yang baik. Coba kita refleksi, pengamalan Pancasila dan kerukunan hidup beragama pada zaman Orde Baru sangat dikedepankan, sehingga masyarakat hidup damai, jauh dari ketakutan dan rasa terancam oleh terorisme. Kita sadari itu hari ini. Maka saya mengajak kaum ibu-ibu yang pergaulannya membaur dengan masyarakat sehar-hari, agar terus menebar ajaran-ajaran toleransi kepada sesama. Cegah paham radikalisme dengan peduli terhadap hal-hal yang aneh-aneh tentang idelogi atau ajaran agama yang disalahtafsirkan dalam masyrakat,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan AKBP Ni Wayan Sri dari Polda Bali. Ia juga mengajak kaum ibu, baik yang tergabung dalam organisasi maupun yang tidak, untuk terus peduli terhadap lingkungan masing-masing. Jika ditemukan masyarakat yang sudah mulai menunjukan ciri-ciri radikal, seperti melarang anaknya hormat bendera, atau tingkah laku lain yang cenderung menjurus pada radikalisme, harus dicegah. Bangun komunikasi dengan orang-orang seperti itu agar mereka kembali pada nasionalisme Indonesia.
“Kita sadar bahwa era globalisasi apalagi sekarang masuk era digitalisasi, begitu banyak tantangan hidup bermasyarakat muncul. Masih banyak radikalisme yang bila tidak dicegah akan berubah menjadi terorisme. Masih banyak penistaan dan intoleransi. Mungkin ibu-ibu awam dalam mengidentifikasi radikalisme dan terorisme, minimal ibu-ibu bisa melapor kepada kami, untuk diambil langkah-langkah seperlunya,’ kata Ni Wayan Sri.
Sementara Ketua Forum Perempuan Lintas Agama, Ni Nyoman Nilawati berpendapat, perempuan Bali sesungguhnya telah banyak berperan dalam merawat toleransi umat beragama di Bali khususnya. Meski ia mengaku peran itu masih perlu ditingkatkan karena tantangan yang ada juga terus bertambah. “Perempuan Bali sudah berbuat banyak. Tapi masih perlu ditingkatkan, dengan dialog-dialog untuk menambah wawasan Kamtibmas. Karena kalau ga ngerti Kamtibmas, bagaimana perempuan bisa mawas diri. Jadi dialog-dialog seperti ini menurut saya perlu terus dipupuk, apalagi di Forum Perempuan Lintas Agama ini, ibu-ibu dari semua agama ada. Ini peluang,” pungkas Nilawati. *isu
1
Komentar