MUTIARA WEDA: Dana Tanpa Tujuan, Mungkinkah?
Hendaknya yang memberikan dana jangan disertai tujuan akan pujian, jangan karena rasa takut, jangan mengharapkan balasan, dan jangan kepada pemain sandiwara.
Deyaning aweha dana, haywa maprayojana paleman, haywa dening wedi,
Haywa maphala pratyupakara, haywa ring bhandagina;
(Sarasamucchaya, 188)
Haywa maphala pratyupakara, haywa ring bhandagina;
(Sarasamucchaya, 188)
SETIAP agama mengajarkan tentang pentingnya melaksanakan dana. Dikatakan bahwa berdana adalah praktik agama yang sangat agung dan mulia, segala kebaikan akan datang oleh mereka, tidak ada halangan yang merintanginya, dan kehidupannya senantiasa dilindungi oleh-Nya secara langsung. Orang yang senang berdana adalah orang yang istimewa di hati Beliau. Jalan yang terang, dan sorga setelah kematiannya pasti menanti. Segala kesenangan akan menjadi bagian dirinya. Semua menderitaan pasti menjauh, seolah-olah penderitaan itu takut kepada mereka yang suka berdana. Atas dasar itulah mengapa berdana sangat dianjurkan bagi semua pemeluknya.
Masalahnya, berdana yang seperti apa jenisnya sehingga orang mampu mencapai kemuliaan seperti itu? Teks di atas mengatakan, berdana yang menghadirkan kemuliaan adalah berdana yang tidak memiliki tujuan utnuk dipuji, bukan karena rasa takut, dan yang tdak mengharapkan balasan. Berdana yang seperti itulah yang nantinya mendatangkan kemuliaan. Tetapi, apakah mungkin hal tersebut terjadi? Atau, adakah jenis dana yang seperti itu? Sepanjang yang diamati, memang banyak orang yang suka dan latah berdana, khususnya kalau menyangkut pembangunan pura atau piodalan. Mereka secara gampang mengeluarkan uangnya dan mendanakannya. Tetapi, apakah mereka benar-benar tanpa tujuan tertentu, tanpa rasa takut, tanpa menginginkan balasan?
Rasanya hampir tidak ada jenis madana punia yang seperti itu. Orang berdana itu biasanya bermotif, dan motifnya ada banyak. Jika tanpa ada motif sedikit pun, orang biasanya enggan berdana. Mereka pasti bilang, “untuk apa berdana jika tidak ada peruntukannya atau tidak menguntungkan”. Kalaupun orang itu dermawan dan sering berdana, paling tidak dia menginginkan bahwa dana yang dibagikannya itu bermanfaat untuk orang banyak. Artinya setulus apapun sebutannya orang melaksanakan dana punia, dia masih tetap memiliki tujuan, apapun tujuannya, apakah baik atau buruk. Jadi, kalau boleh dirombak sedikit pengertian berdana ‘tidak memiliki tujuan, tidak takut, dan tidak religius’, tidak persis seperti itu. Jika orang hendak berdana, pasti dia di awal harus mendapatkan penjelasan mengenai mengapa dia harus berdana. Minimal apa yang akan dilakukan dirinya tahu. Contoh, ada kesepakatan bersama untuk merenovasi pura. Para warga kemudian memberikan dana punia. Jadi, orang diajak untuk madana punia tersebut karena ada pekerja
an besar akan dilaksanakan. Sementara itu teks di atas menyerukan bahwa hendaknya berdana itu tanpa mesti diikuti oleh motif. Tetapi, maksudnya bukan melakukan dana sebegitu saja tanpa memikirkannya.
Orang berdana oleh karena dirinya tahu ada sesuatu yang hendak dikerjakan dan di hatinya hendaknya tidak memiliki kepentingan pribadi atas dana punia yang diberikannya tersebut. Jadi, tujuan pasti harus tetap ada, hanya saja pikiran orang yang berdana mesti tanpa perhitungan, dari dalam dirinya tulus. Seperti itu, mungkin maksudnya berdana dengan tanpa tujuan apapun. Tetapi, apapun itu, yang namanya tujuan akan tetap merupakan tujuan. Rasanya ketika dipertegas, kitab di atas pasti bermaksud seperti itu. Bukan berdana tanpa tujuan, sebab mengapa dana punia itu penting dilakukan juga sudah merupakan tujuan itu sendiri. Ketika ditanya mengapa melaksanakan punia? Pasti ada tujuannya, hanya saja, secara individu, orang berdana itu mesti ikhlas.
Tetapi adakah orang yang melakukan dana punia sepenuhnya untuk tujuan apa yang hendak dilaksanakan? Sepertinya susah, sebab secara individu, orang senang berdana oleh karena ada motif, baik halus maupun kasar. Orang mau berdana oleh karena ingin mendapat simpati, nama, atau ingin balasan apakah untuk perolehan suara dalam pemilihan dan lain-lain, jenis dana itu tergolong motif kasar. Sementara itu, berdana dengan motif untuk mendapatkan amal baik, mendapat ganjaran dari Tuhan, atau untuk mendapatkan pahala baik nantinya termasuk motif halus. Bahkan kita mapunia oleh karena kitab suci mengajarkannya demikian termasuk memiliki motif yang halus. Jika motif pribadi, baik kasar maupun halus itu hilang, maka itulah yang dimaksudkan teks di atas. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar