Prof Titib Divonis 1 Tahun, Tidak Ditahan karena Sakit
Belum genap empat bulan mendapat Pembebasan Bersayarat (PB) dari Lapas Kelas IIA Denpasar di Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, mantan Rektor Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Prof Made Titib, 68, kembali dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun dalam kasus korupsi dana punia.
DENPASAR, NusaBali
Dalam amar putusan yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar pimpinan Dewa Made Suardita, disebutkan, terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dua orang atau lebih dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
Terdakwa juga menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara. Atas perbuatannya terdakwa dipidana Pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang Tipikor jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.
“Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dengan pidana penjara selama satu tahun dikurangi masa penahanan. Menjatuhkan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan penjara,” tegas majelis hakim dalam putusan.
Sebelum membacakan putusan, majelis hakim juga membacakan hal memberatkan yaitu tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Serta hal meringankan, bersikap sopan, tidak menikmati kerugian negara, dan memerlukan perawatan karena sakit. Putusan yang dijatuhkan majelis hakim ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Gede Artana. Dalam tuntutan, Prof Titib dituntut hukuman 2 tahun penjara ditambah denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara.
Sementara itu, Prof Titib yang langsung dipapah keluar ruang sidang pasca– putusan tidak memberikan komentar apa-apa kepada wartawan terkait putusan ini.
Kuasa hukum Prof Titib, yaitu Komang Darmayasa dan Made Adi Seraya, menyatakan akan berkoordinasi dengan kliennya. “Kami masih pikir-pikir,” ujarnya.
Vonis bersalah dari majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar ini merupakan vonis kedua yang diterima. Sebelumnya, Prof Titib juga dinyatakan bersalah melakukan korupsi barang dan jasa IHDN Denpasar dan dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara bersama mantan Kabiro Umum, Praptini (vonis 7,5 tahun penjara), Drs I Nyoman Suweca (staf IHDN) diganjar hukuman 2 tahun, serta dua rekanan yaitu Ir Wayan Sudiasa dan Ni Putu Indra Martin ST yang masing-masing dihukum 2 tahun penjara.
Sementara terkait penahanan Prof Titib, JPU Gede Artana mengatakan saat menjalani persidangan Prof Titib mengajukan penangguhan penahanan karena sakit. Nah, dengan alasan itu pula majelis hakim menyatakan tidak ada penahanan karena Prof Titib sakit. “Tidak ditahan karena sakit,” jelas JPU Gede Artana.
Dalam dakwaan disebutkan kasus yang kini menjerat mantan Rektor IHDN, Prof Titib dan Praptini (berkas terpisah), yaitu kasus pungutan liar dalam bentuk dana punia terhadap calon mahasiswa baru pada IHDN Denpasar tahun 2011-2012.
Awalnya, Prof Titib sebagai rektor dan Praptini sebagai kepala biro umum, mengeluarkan biaya SDPP (Sumbangan Dana Penunjang Pendidikan) bagi calon mahasiswa baru dan mengalihkan selisih pengurangan biaya SDPP tersebut menjadi biaya dana punia. Namun mereka tidak mencantumkan SK penetapan PNBP, yang berakibat tidak disetornya dana punia ke kas negara oleh bendahara.
Selanjutnya Prof Titib selaku rektor menerbitkan SK tentang pembentukan panitia penerimaan mahasiwa baru tahun 2011. Kemudian melanjutkan rapat antara pimpinan dengan panitia, yakni soal teknis pelaksana kegiatan. Terdakwa Praptini menyampaikan pendapat bahwa kampus IHDN saat itu banyak kegiatan keagamaan seperti ngayah. Kegiatan itu memerlukan dana, sedangkan dana yang tersedia di IHDN tidak mencukupi.
Praptini mengatakan, uang SPP, SDPP, dan uang pendaftaran harus masuk kas negara. Dan jika seluruhnya disetor, maka kegiatan untuk ibadah tidak akan berjalan lancar. Untuk itu, Praptini mengusul supaya uang SDPP dikurangi dan mahasiswa baru dikenakan uang dana punia. Yakni untuk S1 Rp 1 juta, D3 Rp 800 ribu, S1 dari D3 Rp 200 ribu, dan S1 dari D2 sebesar Rp 500 ribu.
Untuk meyakinkan, Praptini mengatakan telah dikonsultasikan dan mendapat izin dari Kementerian Agama. Dari dana punia inilah didapat dana Rp 752.834.939 yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. * rez
Dalam amar putusan yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar pimpinan Dewa Made Suardita, disebutkan, terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dua orang atau lebih dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
Terdakwa juga menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara. Atas perbuatannya terdakwa dipidana Pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang Tipikor jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.
“Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dengan pidana penjara selama satu tahun dikurangi masa penahanan. Menjatuhkan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan penjara,” tegas majelis hakim dalam putusan.
Sebelum membacakan putusan, majelis hakim juga membacakan hal memberatkan yaitu tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Serta hal meringankan, bersikap sopan, tidak menikmati kerugian negara, dan memerlukan perawatan karena sakit. Putusan yang dijatuhkan majelis hakim ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Gede Artana. Dalam tuntutan, Prof Titib dituntut hukuman 2 tahun penjara ditambah denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara.
Sementara itu, Prof Titib yang langsung dipapah keluar ruang sidang pasca– putusan tidak memberikan komentar apa-apa kepada wartawan terkait putusan ini.
Kuasa hukum Prof Titib, yaitu Komang Darmayasa dan Made Adi Seraya, menyatakan akan berkoordinasi dengan kliennya. “Kami masih pikir-pikir,” ujarnya.
Vonis bersalah dari majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar ini merupakan vonis kedua yang diterima. Sebelumnya, Prof Titib juga dinyatakan bersalah melakukan korupsi barang dan jasa IHDN Denpasar dan dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara bersama mantan Kabiro Umum, Praptini (vonis 7,5 tahun penjara), Drs I Nyoman Suweca (staf IHDN) diganjar hukuman 2 tahun, serta dua rekanan yaitu Ir Wayan Sudiasa dan Ni Putu Indra Martin ST yang masing-masing dihukum 2 tahun penjara.
Sementara terkait penahanan Prof Titib, JPU Gede Artana mengatakan saat menjalani persidangan Prof Titib mengajukan penangguhan penahanan karena sakit. Nah, dengan alasan itu pula majelis hakim menyatakan tidak ada penahanan karena Prof Titib sakit. “Tidak ditahan karena sakit,” jelas JPU Gede Artana.
Dalam dakwaan disebutkan kasus yang kini menjerat mantan Rektor IHDN, Prof Titib dan Praptini (berkas terpisah), yaitu kasus pungutan liar dalam bentuk dana punia terhadap calon mahasiswa baru pada IHDN Denpasar tahun 2011-2012.
Awalnya, Prof Titib sebagai rektor dan Praptini sebagai kepala biro umum, mengeluarkan biaya SDPP (Sumbangan Dana Penunjang Pendidikan) bagi calon mahasiswa baru dan mengalihkan selisih pengurangan biaya SDPP tersebut menjadi biaya dana punia. Namun mereka tidak mencantumkan SK penetapan PNBP, yang berakibat tidak disetornya dana punia ke kas negara oleh bendahara.
Selanjutnya Prof Titib selaku rektor menerbitkan SK tentang pembentukan panitia penerimaan mahasiwa baru tahun 2011. Kemudian melanjutkan rapat antara pimpinan dengan panitia, yakni soal teknis pelaksana kegiatan. Terdakwa Praptini menyampaikan pendapat bahwa kampus IHDN saat itu banyak kegiatan keagamaan seperti ngayah. Kegiatan itu memerlukan dana, sedangkan dana yang tersedia di IHDN tidak mencukupi.
Praptini mengatakan, uang SPP, SDPP, dan uang pendaftaran harus masuk kas negara. Dan jika seluruhnya disetor, maka kegiatan untuk ibadah tidak akan berjalan lancar. Untuk itu, Praptini mengusul supaya uang SDPP dikurangi dan mahasiswa baru dikenakan uang dana punia. Yakni untuk S1 Rp 1 juta, D3 Rp 800 ribu, S1 dari D3 Rp 200 ribu, dan S1 dari D2 sebesar Rp 500 ribu.
Untuk meyakinkan, Praptini mengatakan telah dikonsultasikan dan mendapat izin dari Kementerian Agama. Dari dana punia inilah didapat dana Rp 752.834.939 yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. * rez
1
Komentar