Jadi Temuan BPK, Aset Pemkab Objek Air Panas Penatahan
Komisi III DPRD Tabanan menggelar rapat koordinasi dengan Badan Keuangan Daerah (Bakeuda) Tabanan di gedung dewan, Selasa (10/12).
TABANAN, NusaBali
Rapat diselenggarakan menyusul temuan BPK mengenai pengelolaan aset bangunan objek wisata air panas di Desa Penatahan, Kecamatan Penebel, Tabanan. Dimana aset yang dikelola pihak kedua PT Sentratirta Nugraha Sejati dinilai belum sesuai ketentuan dan terdapat pendapatan potensi daerah yang hilang.
Berdasarkan data yang didapat, temuan BPK RI bernomor 13.C/LHP/IXI.DPS/05/2019 tanggal 22 Mei 2019 tertulis Pemkab Tabanan agar segera melakukan renegosiasi dengan PT Sentratirta Nugraha Sejati selaku pihak pengelola wisata air panas yang berdiri di atas aset tanah Pemkab Tabanan seluas 1,5 hektare. Sebab, nilai kontrak aset dan kontribusi dari pihak pengelola kepada Pemkab Tabanan relatif kecil dan cenderung stagnan.
Adapun nilai perjanjian kontrak ada yang dilakukan antara Pemkab Tabanan dan pengelola. Kontrak perjanjian pertama dari 1990-2010 dibayar pengelola Rp 94,2 juta, dan perjanjian 2010-2030 yang sudah dibahas pada 1994 lalu dibayar pengelola senilai Rp 100,9 juta. Bahkan per tahunnya kontribusi pengelola ke Pemkab Tabanan senilai Rp 34 juta. Jumlah ini pun dinilai sangat kecil dan menjadi temuan BPK.
Rapat tersebut dipimpin Ketua Komisi III Anak Agung Dharma Putra alias Gung Baron, didampingi Sekretaris Komisi III DPRD Tabanan I Wayan Sudiana serta anggota Komisi III DPRD Tabanan. Rapat itu juga dihadiri Kepala Bakeuda Tabanan Dewa Ayu Sri Budiarti bersama bidang aset.
Gung Baron mengatakan aset tersebut dulu merupakan lahan kosong. Kemudian ada pihak kedua yang mengontrak aset tersebut. Atas persetujuan antara pengontrak dan Pemkab Tabanan, dibangun wisata air panas tersebut.
“Dulu itu ada perjanjian kontrak pertama senilai Rp 94 juta lebih, kemudian pada kontrak kedua tahun 1994 ternyata meningkat menjadi Rp 100,9 juta lebih. Kemudian untuk kontribusai ke Pemkab Tabanan sejak tahun 2010 hanya di angka Rp 34 juta per tahun,” bebernya.
Angka ini dinilai terlalu stagnan, sehingga ke depan harus dilakukan rembuk. Apalagi objek wisata tersebut sangat potensial. Pemkab Tabanan pun sudah terjebak dalam perjanjian lama hingga tahun 2030.
“Jadi kita harus rembuk dan menginginkan perjanjian itu dikaji per tiga tahun sekali,” tegas Gung Baron.
Kepala Bakeuda Tabanan I Dewa Ayu Sri Budiarti, mengatakan sesuai temuan BPK, pihaknya diminta untuk melakukan penilaian ulang atau appraisal terhadap kontribusi yang harus disetorkan ke daerah. Pihaknya tidak memiliki kewenangan, sebab untuk melakukan appraisal mesti bekerjasama dengan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
“Dari pemeriksaan tim appraisal ditemukan angka Rp 34 juta itu,” ujarnya sembari mengatakan ada dua kontrak yang dilakukan yakni perjanjian dari 1990-2010, kemudian 2010-2030 yang sudah dibahas pada 1994 lalu.
“Jadi kontribusi yang mereka setorkan adalah yang bayar di awal (sewa tanah). Awalnya tahun 1990 mereka (pengelola) bayar Rp 94,2 juta untuk kontrak 1990-2010, kemudian ada peninjauan di tahun 1994 menjadi Rp 100,9 juta. Inilah perjanjian tersebut menjadi berlaku hingga 2030 mendatang,” jelasnya.
Dan terkait adanya desakan dewan agar setiap tiga tahun dilakukan peninjauan ulang untuk kontribusi ke kas daerah, menurutnya akan dikoordinasikan lagi.
“Kalau soal peninjauan ulang perjanjian setiap tiga tahun, kami akan koordinasikan dengan rekanan,” tandasnya. *des
Berdasarkan data yang didapat, temuan BPK RI bernomor 13.C/LHP/IXI.DPS/05/2019 tanggal 22 Mei 2019 tertulis Pemkab Tabanan agar segera melakukan renegosiasi dengan PT Sentratirta Nugraha Sejati selaku pihak pengelola wisata air panas yang berdiri di atas aset tanah Pemkab Tabanan seluas 1,5 hektare. Sebab, nilai kontrak aset dan kontribusi dari pihak pengelola kepada Pemkab Tabanan relatif kecil dan cenderung stagnan.
Adapun nilai perjanjian kontrak ada yang dilakukan antara Pemkab Tabanan dan pengelola. Kontrak perjanjian pertama dari 1990-2010 dibayar pengelola Rp 94,2 juta, dan perjanjian 2010-2030 yang sudah dibahas pada 1994 lalu dibayar pengelola senilai Rp 100,9 juta. Bahkan per tahunnya kontribusi pengelola ke Pemkab Tabanan senilai Rp 34 juta. Jumlah ini pun dinilai sangat kecil dan menjadi temuan BPK.
Rapat tersebut dipimpin Ketua Komisi III Anak Agung Dharma Putra alias Gung Baron, didampingi Sekretaris Komisi III DPRD Tabanan I Wayan Sudiana serta anggota Komisi III DPRD Tabanan. Rapat itu juga dihadiri Kepala Bakeuda Tabanan Dewa Ayu Sri Budiarti bersama bidang aset.
Gung Baron mengatakan aset tersebut dulu merupakan lahan kosong. Kemudian ada pihak kedua yang mengontrak aset tersebut. Atas persetujuan antara pengontrak dan Pemkab Tabanan, dibangun wisata air panas tersebut.
“Dulu itu ada perjanjian kontrak pertama senilai Rp 94 juta lebih, kemudian pada kontrak kedua tahun 1994 ternyata meningkat menjadi Rp 100,9 juta lebih. Kemudian untuk kontribusai ke Pemkab Tabanan sejak tahun 2010 hanya di angka Rp 34 juta per tahun,” bebernya.
Angka ini dinilai terlalu stagnan, sehingga ke depan harus dilakukan rembuk. Apalagi objek wisata tersebut sangat potensial. Pemkab Tabanan pun sudah terjebak dalam perjanjian lama hingga tahun 2030.
“Jadi kita harus rembuk dan menginginkan perjanjian itu dikaji per tiga tahun sekali,” tegas Gung Baron.
Kepala Bakeuda Tabanan I Dewa Ayu Sri Budiarti, mengatakan sesuai temuan BPK, pihaknya diminta untuk melakukan penilaian ulang atau appraisal terhadap kontribusi yang harus disetorkan ke daerah. Pihaknya tidak memiliki kewenangan, sebab untuk melakukan appraisal mesti bekerjasama dengan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
“Dari pemeriksaan tim appraisal ditemukan angka Rp 34 juta itu,” ujarnya sembari mengatakan ada dua kontrak yang dilakukan yakni perjanjian dari 1990-2010, kemudian 2010-2030 yang sudah dibahas pada 1994 lalu.
“Jadi kontribusi yang mereka setorkan adalah yang bayar di awal (sewa tanah). Awalnya tahun 1990 mereka (pengelola) bayar Rp 94,2 juta untuk kontrak 1990-2010, kemudian ada peninjauan di tahun 1994 menjadi Rp 100,9 juta. Inilah perjanjian tersebut menjadi berlaku hingga 2030 mendatang,” jelasnya.
Dan terkait adanya desakan dewan agar setiap tiga tahun dilakukan peninjauan ulang untuk kontribusi ke kas daerah, menurutnya akan dikoordinasikan lagi.
“Kalau soal peninjauan ulang perjanjian setiap tiga tahun, kami akan koordinasikan dengan rekanan,” tandasnya. *des
Komentar