UN Dihapus, Zonasi Dilonggarkan
Mendikbud Nadiem Gulirkan Empat Kebijakan Perubahan
Nantinya, ujian siswa SD akan dilakukan saat Kelas IV, ujian SMP saat Kelas VIII, dan ujian SMA ketika Kelas XI
JAKARTA, NusaBali
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, gulirkan empat perubahan dalam kebijakannya: hapus Ujian Nasional (UN), ganti Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), sederhanakan Dokumen Rencana Pembelajaran menjadi cukup hanya 1 halaman, dan longgarkan sistem jalur zonasi.
Rencana ini disampaikan Mendikbud Nadiem Makarim dalam Rapat Koordinasi Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota se-Indonesia, di Hotel Bida-kara Jakarta, Rabu (11/12). "Ada empat inisiatif ‘merdeka belajar’ yang akan kita laksanakan, empat jenis kebijakan perubahan yang sangat penting," kata Nadiem dikutip detikcom. "Ini adalah ronde pertama merdeka belajar. Tidak ada perubahan yang nyaman-nyaman saja, semua perubahan itu pasti ada tantangannya," lanjut Nadiem.
Khusus untuk UN, rencananya akan dihapus tahun 2021 nanti. UN nantinya akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Ujian itu akan digelar bukan di ujung jenjang sekolah seperti UN selama ini, melainkan di tengah jenjang. Misalnya, dilakukan saat Kelas IV SD, bukan Kelas VI. Demikian pula untuk SMP dilakukan saat Kelas VIII, bukan Kelas IX. Sementara ujian SMA dilakukan saat Kelas XI, bukan Kelas XII.
Kenapa di tengah jenjang? Menurut Nadiem, dengan ujian di tengah jenjang, maka pendidik punya waktu untuk memperbaiki kualitas siswa sebelum lulus SD, SMP, dan SMA/SMK. Perbaikan berdasarkan hasil asesmen dan survei tidak akan bisa dilakukan bila hasilnya baru diketahui di akhir jenjang pendidikan. Hasil dari ujian itu bakal menunjukkan kepada guru-guru, siswa mana saja yang membutuhkan bantuan ekstra, supaya kualitasnya bisa sesuai target.
Selain itu, asesmen di tengah jenjang diterapkan agar tak ada lagi ujian akhir yang bikin stres siswa dan orangtua. Asesmen kompetensi minimum dan survei karakter nantinya akan dilakukan dengan bantuan organisasi dalam negeri dan luar negeri, termasuk Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Bank Dunia (World Bank).
Menurut Nadiem, keputusan mengganti format UN ini dilakukan berdasarkan survei dan diskusi dengan orangtua, siswa, para guru, hingga kepala sekolah. Dari situ disimpulkan materi UN dinilai terlalu padat, sehingga fokusnya justru mengajarkan dan menghafal materi, bukan terkait kompetensi pelajaran.
"Kedua, isunya adalah ini jadi beban stres bagi banyak sekali siswa, guru, dan orangtua. Karena sebenarnya ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu. Padahal, maksudnya ujian berstandar nasional adalah untuk mengakses sistem pendidikan, yaitu sekolahnya maupun geografinya maupun sistem penduduknya secara nasional," papar Nadiem.
Selain itu, kata Nadiem, UN hanya menilai satu aspek, yaitu kognitif. "Belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," katanya. Karena itu, Nadiem mengambil keputusan untuk mengubah format UN menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, yang bakal diberlakukan mulai 2021. Untuk tahun 2020, siswa tetap mengikuti UN seperti biasa.
Dalam perubahan yang digulirkan Nadiem, USBN juga akan diganti. USBN selama ini menentukan kelulusan siswa sekolah. Nadiem akan mengganti USBN dengan membebaskan tiap-tiap sekolah untuk membikin ujian secara otonom. Namun, belum bersifat wajib bagi sekolah.
"Ini kita memberikan kemerdekaan bagi guru-guru penggerak di seluruh Indonesia untuk menciptakan konsep-konsep penilaian yang lebih holistik, yang benar-benar menguji kompetensi dasar kurikulum kita. Bukan hanya pengetahuan atau hafalan saja," kata Nadiem. Nantinya, anggaran yang selama ini digunakan untuk penyelenggaraan USBN akan dialihkan buat peningkatan kualitas guru.
Kendati demikian, kata Nadiem, kebijakan ini tidak memaksa sekolah untuk langsung mengubah sistem kelulusannya. Sekolah dipersilakan untuk tetap memakai format USBN tahun lalu. "Ini harus ditekankan. Ini tidak memaksakan sekolah harus berubah tes kelulusannya. Kalau sekolah itu belum siap untuk melakukan perubahan, kalau ingin menggunakan format seperti USBN yang tahun lalu, itu dipersilakan."
Nadiem menjelaskan, tiap sekolah yang ingin mengubah sistem USBN juga dibolehkan. Ujian untuk menilai kompetensi siswa ini dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya). "Tetapi bagi sekolah-sekolah yang ingin melakukan perubahan, bagi sekolah-sekolah yang ingin melakukan penilaian dengan cara lebih holistik, itu diperbolehkan,” beber owner Gojek ini.
Perubahan ketiga yang digulirkan Mendikbud Nadiem adalah penyederhanaan Dokumen Rencana Pembelajaran, yang nantinya cukup 1 halaman saja. Selama ini, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) memuat 11 komponen meliputi identitas mata pelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, materi dasar, hingga alokasi waktu. Dokumennya tentu saja tebal.
"Kita akan mengubahnya menjadi format yang jauh lebih sederhana, cukup 1 halaman saja untuk RPP," tegas Nadiem. Nadiem mengakui, esensi pembelajaran yang terkandung dalam RPP lebih penting ketimbang dokumen RPP itu sendiri. Dengan penyederhanaan penyusunan RPP, dia berharap beban guru berkurang.
Sedangkan perubahan keempat yang digulirkan Mendikbud Nadiem adalah melongarkan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Selain itu, kuota penerimaan siswa berprestasi juga dinaikkan dua kali lipat ketimbang sebelumnya, yakni dari 15 persen menjadi 30 persen.
Prosentase kuota untuk siswa dalam zona sekolah, diturunkan dari yang tadinya 80 persen menjadi 50 persen. Alasannya, tidak semua daerah mampu menerapkan sistem zonasi secara kaku. Kecuali itu, siswa berprestasi juga perlu untuk diakomodasi supaya bisa masuk ke sekolah favorit.
"Zonasi masih bisa mengakomodir anak-anak berprestasi. Kita memberi langkah pertama kemerdekaan belajar di Indonesia," tegas Nadiem. Format kuota sistem zonasi sekolah versi Nadiem nantinya akan seperti berikut: 50 persen untuk jalur zonasi, 30 persen untuk jalur prestasi, 15 persen untuk jalur afirmasi, dan 5 persen untuk jalur perpindahan domisili orangtua. *
Rencana ini disampaikan Mendikbud Nadiem Makarim dalam Rapat Koordinasi Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota se-Indonesia, di Hotel Bida-kara Jakarta, Rabu (11/12). "Ada empat inisiatif ‘merdeka belajar’ yang akan kita laksanakan, empat jenis kebijakan perubahan yang sangat penting," kata Nadiem dikutip detikcom. "Ini adalah ronde pertama merdeka belajar. Tidak ada perubahan yang nyaman-nyaman saja, semua perubahan itu pasti ada tantangannya," lanjut Nadiem.
Khusus untuk UN, rencananya akan dihapus tahun 2021 nanti. UN nantinya akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Ujian itu akan digelar bukan di ujung jenjang sekolah seperti UN selama ini, melainkan di tengah jenjang. Misalnya, dilakukan saat Kelas IV SD, bukan Kelas VI. Demikian pula untuk SMP dilakukan saat Kelas VIII, bukan Kelas IX. Sementara ujian SMA dilakukan saat Kelas XI, bukan Kelas XII.
Kenapa di tengah jenjang? Menurut Nadiem, dengan ujian di tengah jenjang, maka pendidik punya waktu untuk memperbaiki kualitas siswa sebelum lulus SD, SMP, dan SMA/SMK. Perbaikan berdasarkan hasil asesmen dan survei tidak akan bisa dilakukan bila hasilnya baru diketahui di akhir jenjang pendidikan. Hasil dari ujian itu bakal menunjukkan kepada guru-guru, siswa mana saja yang membutuhkan bantuan ekstra, supaya kualitasnya bisa sesuai target.
Selain itu, asesmen di tengah jenjang diterapkan agar tak ada lagi ujian akhir yang bikin stres siswa dan orangtua. Asesmen kompetensi minimum dan survei karakter nantinya akan dilakukan dengan bantuan organisasi dalam negeri dan luar negeri, termasuk Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Bank Dunia (World Bank).
Menurut Nadiem, keputusan mengganti format UN ini dilakukan berdasarkan survei dan diskusi dengan orangtua, siswa, para guru, hingga kepala sekolah. Dari situ disimpulkan materi UN dinilai terlalu padat, sehingga fokusnya justru mengajarkan dan menghafal materi, bukan terkait kompetensi pelajaran.
"Kedua, isunya adalah ini jadi beban stres bagi banyak sekali siswa, guru, dan orangtua. Karena sebenarnya ini berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu. Padahal, maksudnya ujian berstandar nasional adalah untuk mengakses sistem pendidikan, yaitu sekolahnya maupun geografinya maupun sistem penduduknya secara nasional," papar Nadiem.
Selain itu, kata Nadiem, UN hanya menilai satu aspek, yaitu kognitif. "Belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," katanya. Karena itu, Nadiem mengambil keputusan untuk mengubah format UN menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, yang bakal diberlakukan mulai 2021. Untuk tahun 2020, siswa tetap mengikuti UN seperti biasa.
Dalam perubahan yang digulirkan Nadiem, USBN juga akan diganti. USBN selama ini menentukan kelulusan siswa sekolah. Nadiem akan mengganti USBN dengan membebaskan tiap-tiap sekolah untuk membikin ujian secara otonom. Namun, belum bersifat wajib bagi sekolah.
"Ini kita memberikan kemerdekaan bagi guru-guru penggerak di seluruh Indonesia untuk menciptakan konsep-konsep penilaian yang lebih holistik, yang benar-benar menguji kompetensi dasar kurikulum kita. Bukan hanya pengetahuan atau hafalan saja," kata Nadiem. Nantinya, anggaran yang selama ini digunakan untuk penyelenggaraan USBN akan dialihkan buat peningkatan kualitas guru.
Kendati demikian, kata Nadiem, kebijakan ini tidak memaksa sekolah untuk langsung mengubah sistem kelulusannya. Sekolah dipersilakan untuk tetap memakai format USBN tahun lalu. "Ini harus ditekankan. Ini tidak memaksakan sekolah harus berubah tes kelulusannya. Kalau sekolah itu belum siap untuk melakukan perubahan, kalau ingin menggunakan format seperti USBN yang tahun lalu, itu dipersilakan."
Nadiem menjelaskan, tiap sekolah yang ingin mengubah sistem USBN juga dibolehkan. Ujian untuk menilai kompetensi siswa ini dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya). "Tetapi bagi sekolah-sekolah yang ingin melakukan perubahan, bagi sekolah-sekolah yang ingin melakukan penilaian dengan cara lebih holistik, itu diperbolehkan,” beber owner Gojek ini.
Perubahan ketiga yang digulirkan Mendikbud Nadiem adalah penyederhanaan Dokumen Rencana Pembelajaran, yang nantinya cukup 1 halaman saja. Selama ini, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) memuat 11 komponen meliputi identitas mata pelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, materi dasar, hingga alokasi waktu. Dokumennya tentu saja tebal.
"Kita akan mengubahnya menjadi format yang jauh lebih sederhana, cukup 1 halaman saja untuk RPP," tegas Nadiem. Nadiem mengakui, esensi pembelajaran yang terkandung dalam RPP lebih penting ketimbang dokumen RPP itu sendiri. Dengan penyederhanaan penyusunan RPP, dia berharap beban guru berkurang.
Sedangkan perubahan keempat yang digulirkan Mendikbud Nadiem adalah melongarkan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Selain itu, kuota penerimaan siswa berprestasi juga dinaikkan dua kali lipat ketimbang sebelumnya, yakni dari 15 persen menjadi 30 persen.
Prosentase kuota untuk siswa dalam zona sekolah, diturunkan dari yang tadinya 80 persen menjadi 50 persen. Alasannya, tidak semua daerah mampu menerapkan sistem zonasi secara kaku. Kecuali itu, siswa berprestasi juga perlu untuk diakomodasi supaya bisa masuk ke sekolah favorit.
"Zonasi masih bisa mengakomodir anak-anak berprestasi. Kita memberi langkah pertama kemerdekaan belajar di Indonesia," tegas Nadiem. Format kuota sistem zonasi sekolah versi Nadiem nantinya akan seperti berikut: 50 persen untuk jalur zonasi, 30 persen untuk jalur prestasi, 15 persen untuk jalur afirmasi, dan 5 persen untuk jalur perpindahan domisili orangtua. *
Komentar