MUTIARA WEDA: Orangtua dan Hegemoni
Seorang anak harus selalu melakukan apa yang disetujui oleh kedua orangtuanya dan apa yang menyenangkan gurunya; kalau ketiga orang itu senang, dia mendapatkan segala pahala dari tapa bratanya.
Tayornityam priam kuryad acaryasya ca sarvada,
Tesveva trisu tustesu tapah sarvam samapyate.
(Manavadharmasastra, II.228)
Jika teks di atas dimaknai sepenggal-penggal, tentu bisa mengarah pada ujung yang berbeda-beda. Seperti misalnya, ‘Seorang anak harus selalu melakukan apa yang disetujui oleh kedua orangtuanya’, akan memiliki arti yang berbeda jika diterjemahkan secara utuh atas keseluruhan teks. Penggalan tersebut bisa bermakna; 1) Orangtua adalah penentu keberhasilan anak; 2) Anak mesti mengikuti apapun yang dikatakan dan diperintahkan oleh orangtuanya jika ingin sukses; 3) Anak tidak memiliki kebebasan sama sekali dalam hal bertindak, karena semua mesti mendapat pertimbangan orangtua; 4) Anak yang baik adalah anak yang sepenuhnya dituntun oleh orangtuanya; 5) Anak tidak memiliki kebenaran apapun jika itu tidak di-iya-kan oleh orangtuanya. Demikian seterusnya, dan mungkin ada banyak lagi interpretasi yang mengindikasikan bahwa anak adalah ‘properti’ orangtua atau orangtua secara sah bisa ‘menghegemoni’ anaknya.
Anggap kesimpulan atas makna di atas benar, dan kebenarannya bisa dijustifikasi dengan beberapa alasan. Pertama, justifikasi teologis, yakni teks telah menyatakannya demikian, sehingga ini tidak bisa diganggu-gugat kebenarannya. Kedua, justifikasi geneologis, kelahiran anak disebabkan oleh kedua orangtuanya. Tanpa orangtua, anak tidak mungkin ada, sehingga benar anak mesti menuruti orangtuanya. Ketiga, justifikasi duplikatif, menghasilkan keturunan adalah masalah regenerasi, apa masanya menuruti dan ada masanya dituruti nantinya. Artinya, pa yang pernah diperlakukan oleh orangtua, pada saat nanti, ketika punya anak kelak, juga akan memperlakukan hal yang sama. Demikian seterusnya, mungkin ada banyak lagi ditemukan justifikasinya, yang mengindikasikan bahwa hegemoni orangtua kepada anak adalah benar. Hal ini juga sepenuhnya bisa diberlakukan kepada guru yang mengajarinya. Ada masanya menuruti kata guru, dan ada masanya nanti dituruti ketika menjadi guru.
Makna di atas, tentu akan berbeda maknanya jika digabungkan dengan penggalan berikutnya: ‘kalau ketiga orang itu senang, dia mendapatkan segala pahala dari tapa bratanya’. Apa yang dilakukan oleh ketiga orang tersebut (Ayah, Ibu, dan Guru) seperti itu adalah dalam rangka memperoleh pahala tapa brata. Tapa artinya hidup sederhana, secara sadar menikmati penderitaan. Brata artinya menahan diri atau menahan keinginan sampai batas maksimal, seperti mencoba memasukkan sesuatu ke dalam diri secara terbatas, apakah itu makanan, objek yang didengar, yang diraba, dikecap maupun dicium, di mana keinginan menginginkan semua itu tanpa batas. Artinya tapa brata ini adalah olah sadhana dengan upaya menundukkan ego dan keinginan. Jadi, agar orang sukses menundukkan keinginan dan egonya, di awal dia harus melakukan apapun bukan atas keinginannya sendiri, melainkan sesuatu itu dilakukan atas perintah orang lain (dalam hal ini orangtua dan gurunya), baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Biasanya melakukan sesuatu yang bukan atas keinginan kita adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Inilah latihan tapa brata awal yang nantinya diajak untuk terbiasa berdamai dengan penderitaan.
Penekanannya terletak pada sadhananya berupa tapa brata. Jika tidak demikian, tentu hegemoni orangtua tersebut akan berdampak buruk pada anak. Contoh; sejak kecil anak menunjukkan bakatnya dalam olah musik dan vokal. Tetapi, orangtuanya menginginkan anaknya kelak menjadi seorang dokter spesialis, di mana anaknya sama sekali tidak menyukainya. Oleh karena orangtua merasa kaya dan merasa berhak menekan, mereka memaksakan anaknya untuk melanjutkan kuliah di kedokteran. Anaknya tentu mengalami dilema. Pertama dia tidak menyukai pelajaran di bidang kedokteran; kedua, dia harus menghormati orangtuanya. Banyak dari anak akhirnya mengalah dan mengikuti apa yang dikatakan orangtuanya. Namun, apa yang terjadi, apapun yang dilakukan oleh anak akan dirasakan terpaksa. Jika pun tamat sebagai dokter, fia tidak pernah merasakan kegembiraannya karena dirinya tidak ada di sana. Kasus seperti ini tentu bertentangan dengan penggalan pertama teks di atas. Semoga teks di atas tidak memiliki makna hegemoni seperi itu, atau sengaja dimaknai seperti itu. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Manavadharmasastra, II.228)
Jika teks di atas dimaknai sepenggal-penggal, tentu bisa mengarah pada ujung yang berbeda-beda. Seperti misalnya, ‘Seorang anak harus selalu melakukan apa yang disetujui oleh kedua orangtuanya’, akan memiliki arti yang berbeda jika diterjemahkan secara utuh atas keseluruhan teks. Penggalan tersebut bisa bermakna; 1) Orangtua adalah penentu keberhasilan anak; 2) Anak mesti mengikuti apapun yang dikatakan dan diperintahkan oleh orangtuanya jika ingin sukses; 3) Anak tidak memiliki kebebasan sama sekali dalam hal bertindak, karena semua mesti mendapat pertimbangan orangtua; 4) Anak yang baik adalah anak yang sepenuhnya dituntun oleh orangtuanya; 5) Anak tidak memiliki kebenaran apapun jika itu tidak di-iya-kan oleh orangtuanya. Demikian seterusnya, dan mungkin ada banyak lagi interpretasi yang mengindikasikan bahwa anak adalah ‘properti’ orangtua atau orangtua secara sah bisa ‘menghegemoni’ anaknya.
Anggap kesimpulan atas makna di atas benar, dan kebenarannya bisa dijustifikasi dengan beberapa alasan. Pertama, justifikasi teologis, yakni teks telah menyatakannya demikian, sehingga ini tidak bisa diganggu-gugat kebenarannya. Kedua, justifikasi geneologis, kelahiran anak disebabkan oleh kedua orangtuanya. Tanpa orangtua, anak tidak mungkin ada, sehingga benar anak mesti menuruti orangtuanya. Ketiga, justifikasi duplikatif, menghasilkan keturunan adalah masalah regenerasi, apa masanya menuruti dan ada masanya dituruti nantinya. Artinya, pa yang pernah diperlakukan oleh orangtua, pada saat nanti, ketika punya anak kelak, juga akan memperlakukan hal yang sama. Demikian seterusnya, mungkin ada banyak lagi ditemukan justifikasinya, yang mengindikasikan bahwa hegemoni orangtua kepada anak adalah benar. Hal ini juga sepenuhnya bisa diberlakukan kepada guru yang mengajarinya. Ada masanya menuruti kata guru, dan ada masanya nanti dituruti ketika menjadi guru.
Makna di atas, tentu akan berbeda maknanya jika digabungkan dengan penggalan berikutnya: ‘kalau ketiga orang itu senang, dia mendapatkan segala pahala dari tapa bratanya’. Apa yang dilakukan oleh ketiga orang tersebut (Ayah, Ibu, dan Guru) seperti itu adalah dalam rangka memperoleh pahala tapa brata. Tapa artinya hidup sederhana, secara sadar menikmati penderitaan. Brata artinya menahan diri atau menahan keinginan sampai batas maksimal, seperti mencoba memasukkan sesuatu ke dalam diri secara terbatas, apakah itu makanan, objek yang didengar, yang diraba, dikecap maupun dicium, di mana keinginan menginginkan semua itu tanpa batas. Artinya tapa brata ini adalah olah sadhana dengan upaya menundukkan ego dan keinginan. Jadi, agar orang sukses menundukkan keinginan dan egonya, di awal dia harus melakukan apapun bukan atas keinginannya sendiri, melainkan sesuatu itu dilakukan atas perintah orang lain (dalam hal ini orangtua dan gurunya), baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Biasanya melakukan sesuatu yang bukan atas keinginan kita adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Inilah latihan tapa brata awal yang nantinya diajak untuk terbiasa berdamai dengan penderitaan.
Penekanannya terletak pada sadhananya berupa tapa brata. Jika tidak demikian, tentu hegemoni orangtua tersebut akan berdampak buruk pada anak. Contoh; sejak kecil anak menunjukkan bakatnya dalam olah musik dan vokal. Tetapi, orangtuanya menginginkan anaknya kelak menjadi seorang dokter spesialis, di mana anaknya sama sekali tidak menyukainya. Oleh karena orangtua merasa kaya dan merasa berhak menekan, mereka memaksakan anaknya untuk melanjutkan kuliah di kedokteran. Anaknya tentu mengalami dilema. Pertama dia tidak menyukai pelajaran di bidang kedokteran; kedua, dia harus menghormati orangtuanya. Banyak dari anak akhirnya mengalah dan mengikuti apa yang dikatakan orangtuanya. Namun, apa yang terjadi, apapun yang dilakukan oleh anak akan dirasakan terpaksa. Jika pun tamat sebagai dokter, fia tidak pernah merasakan kegembiraannya karena dirinya tidak ada di sana. Kasus seperti ini tentu bertentangan dengan penggalan pertama teks di atas. Semoga teks di atas tidak memiliki makna hegemoni seperi itu, atau sengaja dimaknai seperti itu. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar