Anak Pekaseh, Sempat Bercita-cita Jadi Gubernur Bali
Meski harapannya tipis, Letjen TNI I Wayan Midhio M Phil masih punya peluang promosi menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), bersaing dengan 7 Perwira Tinggi TNI AD lainnya
Letjen TNI I Wayan Midhio, Jenderal Asal Gianyar yang Kini Rektor Universitas Pertahanan
GIANYAR, NusaBali
Pemkab Gianyar kedatangan tamu penting, Jumat (29/7) pagi sekitar pukul 09.00 Wita. Dia adalah Letjen TNI I Wayan Midhio M Phil, 67, Jenderal Bintang Tiga asal Banjar Serongga Kelod, Desa Serongga, Kecamatan Gianyar yang kini menjabat sebagai Rektor Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia. Perwira Tinggi TNI AD yang putra Pekaseh ini pernah berangan bisa menjadi Gubernur Bali.
Kedatangan Letjen TNI I Wayan Midhio ke Pemkab Gianyar, Jumat kemarin, diterima Wakil Bupati Made Agus Mahayastra dan Sekda Gianyar, Ida Bagus Gaga Adisaputra, di Ruangan Bupati Gianyar. Semula, Letjen Midhio rencananya bertemu Bupati Gianyar AA Gde Agung Bharata. Namun, Bupati asal Puri Agung Gianyar ini kemarin tak ada di tempat, karena urusan dinas ke Jakarta, sehingga Letjen Midhio diterima Wabup dan Sekda.
Letjen Midhio pulang ke tanah leluhur serangkaian tugas untuk memperkenalkan dan mengajak generasi muda Bali melanjutkan studi ke Unhan Indonesia di mana dia menjabat Rektor. Letjen Midhio pun menyempatkan diri bertamu ke Pemkab Gianyar. “Saya ke Bali bertugas sekaligus menengok keluarga di Desa Serongga,” jelas Perwira Tinggi TNI alumnus Akabri 1983 ini.
Sebelum bertamu ke Pemkab Gianyar, Letjen Midhio juga sudah sempat menemui Gubernur Bali Komjen Pol (Purn) Made Mangku Pastika, Kamis (28/7) lalu. Tujuannya pun sama: untuk mensosialisasikan Unhan Indonesia.Seusai menemui Pimpinan Pemkab Ganyar, Jumat kemarin, Letjen Midhio langsung makan siang di kawasan wisata Ubud, Gianyar. Selanjutnya, ayah tiga anak dari pernikahannya dengan Susiyati ini berkenan menerima kedatangan NusaBali di rumah asalnya di Desa Serongga, Kecamatan Gianyar.
Kepada NusaBali, Letjen Wayan Midhio menceritakan sepenggal kisahnya hingga meraih pangkat Jenderal Bintang Tida TNI AD. Dia merupakan anak sulung dari pasangan I Wayan Mungkrig (almarhum) dan Ni Wayan Menter, 80. Sang ayah, Wayan Mungkrig, dulunya seorang Pekaseh (Kelian Subak).
Letjen Midhio lahir dan dibesarkan di tengah-tengah lingkugan keluarga petani di Banjar Serongga Kelod, Desa Seroingga. Setelah tamat SMAN 1 Gianyar tahun 1979, dia merantau karena menempuh pendidikan Akabri (kini Akademi Militer) hingga lulus tahun 1983. Begitu tamat Akabri, dia bertugas mulai dari Ujung Pandang (Makassar), Bandung, dan Kalimantan. Kemudian, Letjen Midhio sempat jadi Asisten Atase Pertahanan RI di Tokyo, Jepang periode 1994-1998 dan di India periode 2003-2006.
Sempat menempuh pendidikan Lemhanas di India tahun 2008, Letjen Midhio selanjutnya bertugas di Kementerian Pertahanan RI sampai sekarang. Perwira Tinggi TNI kelahiran Gianyar, 27 Desember 1959 ini bahkan kini dipercaya memimpin Unhan Indonesia sebagai Rektor. Sebelum jadi Rektor Unhan, dia lebih dulu menduduki jabatan Wakil Rektor dan Wakil Rektor III.
Sedangkan di Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Letjen Midhio pernah menjabat sebagai Kepala Biro Humas, Kepala Pusat Komunikasi Publik, Direktur Kebijakan Strategis, Adses Dirjen Strategi Pertahanan, hingga Sekretaris Direktur Jenderal Potensi Pertahanan. “Saya pulang ke Gianyar jika ada penugasan saja. Biasanya, dari Bandara Internasional Ngurah Rai Tuban saya langsung pulang ke Gianyar, lanjut sembahyang ke Pura Besakih dan tempat suci lainnya,” beber Letjen Midhio.
Meski tinggal jauh bersama keluarga inti karena tugas di Jakarta, Letjen Midhio mengaku sangat terikat dengan keberadaan keluarga besar di Desa Serongga. Selain karena ibundanya, Ni Waya Menter, masih ada, dirinya sejak kecil sudah ditanamkan untuk taat tradisi adat dan budaya Hindu Bali. Maklum, ayahnya yakni almarhum Wayan Mungkrig adalah seorang petani panutan yang sempat menjabat sebagai Pekaseh (Kelian Subak) Serongga. Sedangkan kakeknya, almarhum I Wayan Lendes, juga sempat jadi Pekaseh.
“Saya ingat betul bagaimana hidup kami sama adik-adik dulu membantu orangtua magae di carik (bekerja di sawah---membajak sawah, Red). Saya sangat menikmati masa kecil dan remaja di kampung,” kenang ayah dari Gede Cadhu Wibawa, 27 (kini bertugas sebagai Paspampres), Oka Kartikasari, 25 (lulusan Master Teknik ITB), dan Rai Sudha Prabawa, 19 (Mahasiswa Semester V Fakultas Pertambangan ITB) ini.
Letjen Midhio mengakui semangat hidupnya sejak kecil banyak dilecut oleh ajaran agama Hindu. Dia ingat dengan salah seorang guru agama Hindu di SMPN 1 Gianyar, AA Gde Rai Sudadnya. Kata dia, guru asal Puri Abianbase, Gianyar itu sangat enak mengajarnya. Materi ajarnya sangat mudah dipahami.
“Saya suka pelajaran agama Hindu. Saya suka tampil apa adanya, polos dan disiplin, hingga bisa seperti sekarang. Jadi tentara juga harus polos pada kesetiaannya. Loyalitasnya harus tunduk kepada atasan. Kalau tentara tidak polos dan main politik, itu tentara yang salah,” katanya.
Menurut Letjen Midhio, agama Hindu adalah semangat hidup dirinya dan keluarga. Karen itu, sejak remaja dia bercita-cita berisitrikan perempuan beragama Hindu. “Saya sangat paham tentang olok-olok orang dengan analogi muani paid bangkung (laki-laki diseret kemauan istri, Red). Ini tentu dalam meneguhkan keyakinan diri sebagai orang Bali.”
Sedangkan kitab Bhagawadgita diakuinya sebagai penyemangat hidup dan modal diri sampai sekarang. Letjen Midhio pun dengan fasih menyebutkan Bab II Sloka 47 Bhagawadgita; Karmany eva dhikaras te, ma phaleshu kadachana (Hakmu ada pada kewajibanmu bukan pada hasilmu). “Kami bekerja tulus saja, karena sebagai pegawai negeri apalagi tentara kan sudah dinilai dengan gaji dan prestasi. Lebih dari itu kita bekerja saja,” paparnya.
Letjen Midhio menyebutkan, dalam Bhagawadgita juga dijelaskan bagian dari hidup, yakni ma karma phala hetur bhur, ma te sango ‘stv akarmani. Artinya, bahkan engkau pun tidak berhak untuk tidak melakukan kewajibanmu. Jadi kita harus bekerja terus.
Menurut Letjen Midhio, ketika masih menempuh pendidikan di Akabri, dia bercita-cita suatu saat bisa menjadi Gubernur Bali dan Panglima TNI. Setelah bertugas, cita-citanya naik lagi ingin menjadi Presiden RI. “Cita-cita ini penting untuk mendorong semangat tugas, kerja, dan prestasi. Masalahnya, apa cita-cita itu bisa singgah atau tidak. Nyatanya saya tidak pernah jadi Panglima TNI, tapi malah jadi Rektor Unhan,” cerita Letjen Midhio.
Letjen Midhio mengaku kini dirnya hanya berbuat yang terbaik, apa pun hasilnya, karena peluang selalu ada di depan mata. “Seperti saya kini Jenderal Bintang Tiga, saya berpeluang jadi KSAD. Tapi, saya tahu peluang saya kecil sekali di antara tujuh calon lainnya. Hanya saja, kalau ditunjuk, saya siap berkerja. Kalau tidak, juga tak apa,” katanya. * lsa
GIANYAR, NusaBali
Pemkab Gianyar kedatangan tamu penting, Jumat (29/7) pagi sekitar pukul 09.00 Wita. Dia adalah Letjen TNI I Wayan Midhio M Phil, 67, Jenderal Bintang Tiga asal Banjar Serongga Kelod, Desa Serongga, Kecamatan Gianyar yang kini menjabat sebagai Rektor Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia. Perwira Tinggi TNI AD yang putra Pekaseh ini pernah berangan bisa menjadi Gubernur Bali.
Kedatangan Letjen TNI I Wayan Midhio ke Pemkab Gianyar, Jumat kemarin, diterima Wakil Bupati Made Agus Mahayastra dan Sekda Gianyar, Ida Bagus Gaga Adisaputra, di Ruangan Bupati Gianyar. Semula, Letjen Midhio rencananya bertemu Bupati Gianyar AA Gde Agung Bharata. Namun, Bupati asal Puri Agung Gianyar ini kemarin tak ada di tempat, karena urusan dinas ke Jakarta, sehingga Letjen Midhio diterima Wabup dan Sekda.
Letjen Midhio pulang ke tanah leluhur serangkaian tugas untuk memperkenalkan dan mengajak generasi muda Bali melanjutkan studi ke Unhan Indonesia di mana dia menjabat Rektor. Letjen Midhio pun menyempatkan diri bertamu ke Pemkab Gianyar. “Saya ke Bali bertugas sekaligus menengok keluarga di Desa Serongga,” jelas Perwira Tinggi TNI alumnus Akabri 1983 ini.
Sebelum bertamu ke Pemkab Gianyar, Letjen Midhio juga sudah sempat menemui Gubernur Bali Komjen Pol (Purn) Made Mangku Pastika, Kamis (28/7) lalu. Tujuannya pun sama: untuk mensosialisasikan Unhan Indonesia.Seusai menemui Pimpinan Pemkab Ganyar, Jumat kemarin, Letjen Midhio langsung makan siang di kawasan wisata Ubud, Gianyar. Selanjutnya, ayah tiga anak dari pernikahannya dengan Susiyati ini berkenan menerima kedatangan NusaBali di rumah asalnya di Desa Serongga, Kecamatan Gianyar.
Kepada NusaBali, Letjen Wayan Midhio menceritakan sepenggal kisahnya hingga meraih pangkat Jenderal Bintang Tida TNI AD. Dia merupakan anak sulung dari pasangan I Wayan Mungkrig (almarhum) dan Ni Wayan Menter, 80. Sang ayah, Wayan Mungkrig, dulunya seorang Pekaseh (Kelian Subak).
Letjen Midhio lahir dan dibesarkan di tengah-tengah lingkugan keluarga petani di Banjar Serongga Kelod, Desa Seroingga. Setelah tamat SMAN 1 Gianyar tahun 1979, dia merantau karena menempuh pendidikan Akabri (kini Akademi Militer) hingga lulus tahun 1983. Begitu tamat Akabri, dia bertugas mulai dari Ujung Pandang (Makassar), Bandung, dan Kalimantan. Kemudian, Letjen Midhio sempat jadi Asisten Atase Pertahanan RI di Tokyo, Jepang periode 1994-1998 dan di India periode 2003-2006.
Sempat menempuh pendidikan Lemhanas di India tahun 2008, Letjen Midhio selanjutnya bertugas di Kementerian Pertahanan RI sampai sekarang. Perwira Tinggi TNI kelahiran Gianyar, 27 Desember 1959 ini bahkan kini dipercaya memimpin Unhan Indonesia sebagai Rektor. Sebelum jadi Rektor Unhan, dia lebih dulu menduduki jabatan Wakil Rektor dan Wakil Rektor III.
Sedangkan di Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Letjen Midhio pernah menjabat sebagai Kepala Biro Humas, Kepala Pusat Komunikasi Publik, Direktur Kebijakan Strategis, Adses Dirjen Strategi Pertahanan, hingga Sekretaris Direktur Jenderal Potensi Pertahanan. “Saya pulang ke Gianyar jika ada penugasan saja. Biasanya, dari Bandara Internasional Ngurah Rai Tuban saya langsung pulang ke Gianyar, lanjut sembahyang ke Pura Besakih dan tempat suci lainnya,” beber Letjen Midhio.
Meski tinggal jauh bersama keluarga inti karena tugas di Jakarta, Letjen Midhio mengaku sangat terikat dengan keberadaan keluarga besar di Desa Serongga. Selain karena ibundanya, Ni Waya Menter, masih ada, dirinya sejak kecil sudah ditanamkan untuk taat tradisi adat dan budaya Hindu Bali. Maklum, ayahnya yakni almarhum Wayan Mungkrig adalah seorang petani panutan yang sempat menjabat sebagai Pekaseh (Kelian Subak) Serongga. Sedangkan kakeknya, almarhum I Wayan Lendes, juga sempat jadi Pekaseh.
“Saya ingat betul bagaimana hidup kami sama adik-adik dulu membantu orangtua magae di carik (bekerja di sawah---membajak sawah, Red). Saya sangat menikmati masa kecil dan remaja di kampung,” kenang ayah dari Gede Cadhu Wibawa, 27 (kini bertugas sebagai Paspampres), Oka Kartikasari, 25 (lulusan Master Teknik ITB), dan Rai Sudha Prabawa, 19 (Mahasiswa Semester V Fakultas Pertambangan ITB) ini.
Letjen Midhio mengakui semangat hidupnya sejak kecil banyak dilecut oleh ajaran agama Hindu. Dia ingat dengan salah seorang guru agama Hindu di SMPN 1 Gianyar, AA Gde Rai Sudadnya. Kata dia, guru asal Puri Abianbase, Gianyar itu sangat enak mengajarnya. Materi ajarnya sangat mudah dipahami.
“Saya suka pelajaran agama Hindu. Saya suka tampil apa adanya, polos dan disiplin, hingga bisa seperti sekarang. Jadi tentara juga harus polos pada kesetiaannya. Loyalitasnya harus tunduk kepada atasan. Kalau tentara tidak polos dan main politik, itu tentara yang salah,” katanya.
Menurut Letjen Midhio, agama Hindu adalah semangat hidup dirinya dan keluarga. Karen itu, sejak remaja dia bercita-cita berisitrikan perempuan beragama Hindu. “Saya sangat paham tentang olok-olok orang dengan analogi muani paid bangkung (laki-laki diseret kemauan istri, Red). Ini tentu dalam meneguhkan keyakinan diri sebagai orang Bali.”
Sedangkan kitab Bhagawadgita diakuinya sebagai penyemangat hidup dan modal diri sampai sekarang. Letjen Midhio pun dengan fasih menyebutkan Bab II Sloka 47 Bhagawadgita; Karmany eva dhikaras te, ma phaleshu kadachana (Hakmu ada pada kewajibanmu bukan pada hasilmu). “Kami bekerja tulus saja, karena sebagai pegawai negeri apalagi tentara kan sudah dinilai dengan gaji dan prestasi. Lebih dari itu kita bekerja saja,” paparnya.
Letjen Midhio menyebutkan, dalam Bhagawadgita juga dijelaskan bagian dari hidup, yakni ma karma phala hetur bhur, ma te sango ‘stv akarmani. Artinya, bahkan engkau pun tidak berhak untuk tidak melakukan kewajibanmu. Jadi kita harus bekerja terus.
Menurut Letjen Midhio, ketika masih menempuh pendidikan di Akabri, dia bercita-cita suatu saat bisa menjadi Gubernur Bali dan Panglima TNI. Setelah bertugas, cita-citanya naik lagi ingin menjadi Presiden RI. “Cita-cita ini penting untuk mendorong semangat tugas, kerja, dan prestasi. Masalahnya, apa cita-cita itu bisa singgah atau tidak. Nyatanya saya tidak pernah jadi Panglima TNI, tapi malah jadi Rektor Unhan,” cerita Letjen Midhio.
Letjen Midhio mengaku kini dirnya hanya berbuat yang terbaik, apa pun hasilnya, karena peluang selalu ada di depan mata. “Seperti saya kini Jenderal Bintang Tiga, saya berpeluang jadi KSAD. Tapi, saya tahu peluang saya kecil sekali di antara tujuh calon lainnya. Hanya saja, kalau ditunjuk, saya siap berkerja. Kalau tidak, juga tak apa,” katanya. * lsa
1
Komentar