Arca Ganesha dari Abad 12 Sangat Unik, dan Satu-Satunya di Bali
Balar Denpasar Identifikasi Arca dan Artefak di Pura Agung Menasa, Desa Adat Sinabun, Sawan, Buleleng
Cikal bakal pembangunan Pura Agung Menasa diduga kuat berawal dari tiga buah onggokan batu dari zaman megalitikum yang ada di hulu palinggih Ganesha.
SINGARAJA, NusaBali
Tim Balai Arkeologi (Balar) Denpasar menyambangi Pura Agung Menasa pascarestorasi yang dilakukan krama Desa Adat Sinabun, Kecamatan Sawan, Buleleng pada Kamis (12/12). Dari hasil identifikasi sejumlah arca, artefak hingga relief di Pura Agung Menasa, tim Balar Denpasar menyatakan arca utama yakni arca Ganesha merupakan arca unik, dan baru ditemukan satu-satunya di Bali.
Kepala Balar Denpasar I Gusti Made Suarbawa, menyatakan timnya yang menyambangi langsung Pura Agung Menasa menemukan banyak keunikan peninggalan sejarah yang diperkirakan bersumber dari akhir abad ke-12 hingga awal abad ke-13. Yang paling menarik perhatian tim Balar adalah arca Ganesha yang menjadi palinggih dan sasuhunan utama di Pura Agung Menasa di mandala utama.
“Keunikan Pura Agung Menasa, salah satunya ada pada arca Ganesha yang tampak menggendong lingga, duduk di padma ganda dengan mahkota gelungan rambut pusungan ke atas, belum ada di tempat lain,” ucap Suarbawa ketika dikonfirmasi, Jumat (13/12).
Dari gaya arca Ganesha itu, Suarbawa meyakini bahwa tinggalan sejarah tersebut berasal dari masa Bali Kuno yang berkembang di akhir abad ke-12 atau awal abad ke-13.
Selain itu, tim Balar Denpasar juga mengamankan arca Lingga Yoni yang tidak utuh yang diletakkan di samping arca Ganesha. Krama setempat menyebutnya pasucian tidak utuh dan kurang pas, karena hanya ada bagian yoni yang diisikan jaladwara, sedangkan bagian lingganya belum ditemukan.
Suarbawa menyebutkan jika merujuk pada sejumlah prasasti yang menyebut daerah Menasa, seperti prasasti Julah, Kintamani, Bulian, dan Tamblingan, diperkirakan kawasan Menasa yang diduga merupakan kota pesisir pada zamannya sudah ada sekitar abad ke-10.
Cikal bakal pembangunan Pura Agung Menasa diduga kuat berawal dari tiga buah onggokan batu dari zaman megalitikum yang ada di hulu palinggih Ganesha. “Tiga buah onggokan batu berdiri tampaknya adalah tonggak awal keberadaan tempat suci ini. Dalam perjalanannya dibuat palinggih dan arca Ganesha dan lingga yoni, berjalannya waktu juga dilakukan perluasan dan penambahan,” imbuh Suarbawa.
Perluasan dan pengembangan bangunan Pura Agung Menasa pada masa itu telah mengadopsi pengaruh Eropa, China yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. Hal tersebut tergambar jelas pada beberapa temuan seperti batu padas bertuliskan sifat Budhis, gambaran kuda terbang di sisi paduraksa atau gelung kori sebelah kiri (barat), serta ujung gelung kori menyerupai mahkota. Meski mengadopsi arsitektur pengaruh Eropa dan China, relief atau ukiran yang ada tetap lebih menonjolkan ciri khas Bali Utara. Sedangkan bangunan gelung kori yang memisahkan mandala utama dengan madya mandala dibangun bertahap sekitar abad ke-17, seiring dengan perkembangan pengaruh luar seperti penjajahan Belanda masuk ke Buleleng pada masa itu.
“Salah satu kekuatan dasar Bali Utara adalah memiliki motif (desain, Red) tersendiri. Bagaimana terbuka dengan pengaruh luar seperti China, Eropa, dan lainnya, namun tetap menunjukkan identitas Bali Utara, Den Bukit-nya itu. Kelihatan motifnya dinamis, terbuka, dan tegas, kesannya motif di sana cermin dan identitas Bali Utara,” jelas dia.
Dalam ukiran gelung kori yang menjadi maskot Pura Agung Menasa bergaya khas Bali Utara, juga ada sejumlah ukiran unik yang ditemukan tim Balar Denpasar. Pada sayap paduraksa kiri dan kanan terdapat cronogram berupa aksara Bali yang dilengkapi dengan angka tahun berupa gambar. Terukir seorang tokoh pewayangan yang diduga adalah sosok Sang Rama dalam epos Ramayana sedang membentangkan panah duduk di atas gajah dan di sebelahnya ada burung (paksi). Menurut ilmu arkeologi, gambar itu menunjukkan angka tahun yakni 1581 Saka atau 1659 Masehi.
Sementara itu dalam proses restorasi yang dilakukan krama Desa Adat Sinabun, sempat ditemukan sejumlah artefak seperti pecahan keramik yang diduga berasal dari Dinasti Yuan abad ke-13 dan pecahan keramik dinasti Ming di abad ke-14. Pecahan keramik yang ditemukan di wilayah hutan Menasa sebelah timur pura, menurut Kepala Balar Denpasar I Gusti Made Suarbawa, merupakan harta kekayaan masyarakat setempat pada zamannya. Berdasar temuan tersebut, disebutnya pada masa itu masyarakat Menasa tua sudah ada kontak perdagangan dengan China.
Dari hasil temuan arca serta relief yang ditemukan di Pura Agung Menasa, Suarbawa mengatakan kawasan Menasa bukan merupakan kerajaan, melainkan adalah kota pesisir pada zamannya. Hal itu ditegaskan melalui isi sejumlah prasasti di Bali yang menyebut keberadaan daerah Menasa dengan aktivitas kelautan atau bahari yang sangat tinggi. Menasa tua pada abad ke-13 menjadi kota pesisir mewilayahi Desa Kerobokan hingga Sangsit di Kecamatan Sawan, yang dalam perkembangannya mengalami pemekaran wilayah dan administrasi.
Balar Denpasar, lanjut Suarbawa, mengapresiasi upaya restorasi oleh krama Desa Adat Sinabun, yang tetap berupaya melestarikan dan menghormati tinggalan leluhurnya. Termasuk penggunaan batu paras warna-warni khas produksi Buleleng yang juga digunakan di sejumlah pura tua di Buleleng. “Dulu masalah transportasi mereka memanfaatkan sumber daya alam (SDA) yang ada. Kearifan lokal yang ramah lingkungan dan mencerminkan daerah setempat. Semestinya memang kearifan lokal dan SDA itu yang kita manfaatkan sebagai materi. Untuk itu kami sangat mengapresiasi krama dan pengurus adat di sini,” ucap Suarbawa.
Pura Agung Menasa di Banjar Menasa, Desa Sinabun, Kecamatan Sawan, Buleleng termasuk salah satu pura tua warisan abad ke-9. Pura tersebut diempon tiga desa adat yang tersebar di dua kecamatan wilayah Buleleng. Rinciannya, Desa Adat Sinabun (Desa Sinabun, Kecamatan Sawan), Desa Adat Suwug (Desa Suwug, Kecamatan Sawan), dan Desa Adat Bengkala (Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan).
Menurut Ketua Panitia Restorasi Pura Agung Menasa Putu Wahyu Pertama, 43, tiga desa adat wilayah Buleleng Timur ini memiliki keterikatan asal-usul leluhur di zaman silam. Mitos yang berkembang, daerah sekitar Pura Agung Menasa dulunya sempat diserang pasukan semut merah. Itu sebabnya, sebagian penduduk pilih hijrah ke Desa Suwug dan Desa Bengkala.
“Keterikatan garis keturunan itu masih bertahan hingga sekarang, dengan keberadaan Pura Agung Menasa. Ketiga desa adat ini ngempon bersama Pura Agung Menasa,” ungkap Putu Wahyu Pertama saat ditemui di areal Pura Agung Menasa, Desa Adat Sinabun, Rabu (4/12).
Putu Wahyu menyebutkan, namanya juga pura tua, beberapa bagian Pura Agung Menasa sudah dalam kondisi rapuh, sehingga kini dilakukan restorasi. Namun, dalam restorasi ini, krama pangempon hanya memperbaiki dan mengembalikan bangunan yang sudah rapuh di bagian pagar dan paduraksa yang keropos. Sementara bentuk dan arsitektur bangunan kuno tetap dilestarikan.
Berdasarkan catatan Desa Adat Sinabun, kata Putu Wahyu, perbaikan Pura Agung Menasa kali ini merupakan restorasi kelima yang pernah dilakukan. Restorasi pertama kali tercatat dilakukan tahun 1922-1923, di mana data tahunnya terpahat berhuruf Latin pada paduraksa sisi kiri. Pura Agung Menasa sempat direstorasi lagi pada 1976 dan 1984.
Perbaikan pura pertama tahun 1922-1923 diperkirakan dilakukan oleh penjajah Belanda, karena huruf yang dipahat menggunakan huruf Latin dan ejaan lama. Kuat diduga ada unsur politis Belanda di bagian atas paduraksa. Pasalnya, ujung atas bangunan terlihat jelas memiliki puncak berbentuk mahkota raja.
“Kalau dari beberapa kali tim ahli datang ke sini, diprediksi bangunan asli padukara hanya dari bagian tengah ke bawah. Kalau yang bagian atas mungkin dulu pernah rusak dan kemudian diganti bangunan baru, sehingga berisi mahkota di atasnya, yang memperlihatkan unsur sentuhan Belanda,” ucap Putu Wahyu, yang juga menjabat Ketua Saba Desa Adat Sinabun.
Meski demikian, paduraksa menuju Mandala Utama Pura Agung Menasa memiliki ciri khas. Bentuk ukirannya adalah khas Buleleng. Hal tersebut dilihat dari segi bentuk ukiran yang besar-besar, menyerupai bentuk daun dan bunga semangka yang merambat.
Ukiran di paduraksa Pura Agung Menasa pun banyak menyimpan relief unik. Ukiran Boma di bagian tengah atas paduraksa, tidak seperti ukiran umumnya. Ukiran Boma itu tidak simeteris dan menghadap ke depan, melainkan seperti menengok ke arah kiri. Keunikan relief paduraksa Pura Agung Menasa juga terlihat pada pahatan bentuk bintang, seperti cicak, kadal, burung, hingga kuda terbang.
Keunikan lainnya yang tampak mencolok adalah warna batu paras yang digunakan sebagai tembok panyengker pura. Setelah dibongkar dan dibersihkan untuk dipasang kembali, batu paras tembok panyengker ini ternyata memiliki 9 warna berbeda. “Awalnya karena sudah lama dibersihkan dan digosok kembali, ternyata batu paras itu warna-warni,” tandas Putu Wahyu.
Putu Wahyu pun meyakini ukiran di paduraksa Pura Agung Menasa memang ukiran asli, bukan merupakan bagian dari restorasi yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Pintu kayu yang terpasang di tengah-tengah paduraksa juga tidak kalah menarik. Pintu kayu ini ditaksir berusia ratusan tahun, karena engsel pintunya menjadi satu dengan tembok paduraksa yang berbahan batu paras.
“Para tetua kami sejak dulu memang komitmen mempertahankan apa yang sudah ada dan apa yang menjadi keyakinan kami. Hingga saat ini, proses restorasi Pura Agung Menasa masih mempertahankan bentuk aslinya, karena ini merupakan kekayaan kami di Banjar Menasa,” jelas Putu Wahyu.
Dalam proses restorasi Pura Agung Menasa, juga ditemukan pecahan keramik dan paras bertuliskan huruf Latin dan Bahasa Pali, yang terdiri dari tiga bagian. Keramik dan paras bertuliskan Bahasa Pali ini ditemukan di bawah tanah pada kedalaman 1,5 meter. *k23
Kepala Balar Denpasar I Gusti Made Suarbawa, menyatakan timnya yang menyambangi langsung Pura Agung Menasa menemukan banyak keunikan peninggalan sejarah yang diperkirakan bersumber dari akhir abad ke-12 hingga awal abad ke-13. Yang paling menarik perhatian tim Balar adalah arca Ganesha yang menjadi palinggih dan sasuhunan utama di Pura Agung Menasa di mandala utama.
“Keunikan Pura Agung Menasa, salah satunya ada pada arca Ganesha yang tampak menggendong lingga, duduk di padma ganda dengan mahkota gelungan rambut pusungan ke atas, belum ada di tempat lain,” ucap Suarbawa ketika dikonfirmasi, Jumat (13/12).
Dari gaya arca Ganesha itu, Suarbawa meyakini bahwa tinggalan sejarah tersebut berasal dari masa Bali Kuno yang berkembang di akhir abad ke-12 atau awal abad ke-13.
Selain itu, tim Balar Denpasar juga mengamankan arca Lingga Yoni yang tidak utuh yang diletakkan di samping arca Ganesha. Krama setempat menyebutnya pasucian tidak utuh dan kurang pas, karena hanya ada bagian yoni yang diisikan jaladwara, sedangkan bagian lingganya belum ditemukan.
Suarbawa menyebutkan jika merujuk pada sejumlah prasasti yang menyebut daerah Menasa, seperti prasasti Julah, Kintamani, Bulian, dan Tamblingan, diperkirakan kawasan Menasa yang diduga merupakan kota pesisir pada zamannya sudah ada sekitar abad ke-10.
Cikal bakal pembangunan Pura Agung Menasa diduga kuat berawal dari tiga buah onggokan batu dari zaman megalitikum yang ada di hulu palinggih Ganesha. “Tiga buah onggokan batu berdiri tampaknya adalah tonggak awal keberadaan tempat suci ini. Dalam perjalanannya dibuat palinggih dan arca Ganesha dan lingga yoni, berjalannya waktu juga dilakukan perluasan dan penambahan,” imbuh Suarbawa.
Perluasan dan pengembangan bangunan Pura Agung Menasa pada masa itu telah mengadopsi pengaruh Eropa, China yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. Hal tersebut tergambar jelas pada beberapa temuan seperti batu padas bertuliskan sifat Budhis, gambaran kuda terbang di sisi paduraksa atau gelung kori sebelah kiri (barat), serta ujung gelung kori menyerupai mahkota. Meski mengadopsi arsitektur pengaruh Eropa dan China, relief atau ukiran yang ada tetap lebih menonjolkan ciri khas Bali Utara. Sedangkan bangunan gelung kori yang memisahkan mandala utama dengan madya mandala dibangun bertahap sekitar abad ke-17, seiring dengan perkembangan pengaruh luar seperti penjajahan Belanda masuk ke Buleleng pada masa itu.
“Salah satu kekuatan dasar Bali Utara adalah memiliki motif (desain, Red) tersendiri. Bagaimana terbuka dengan pengaruh luar seperti China, Eropa, dan lainnya, namun tetap menunjukkan identitas Bali Utara, Den Bukit-nya itu. Kelihatan motifnya dinamis, terbuka, dan tegas, kesannya motif di sana cermin dan identitas Bali Utara,” jelas dia.
Dalam ukiran gelung kori yang menjadi maskot Pura Agung Menasa bergaya khas Bali Utara, juga ada sejumlah ukiran unik yang ditemukan tim Balar Denpasar. Pada sayap paduraksa kiri dan kanan terdapat cronogram berupa aksara Bali yang dilengkapi dengan angka tahun berupa gambar. Terukir seorang tokoh pewayangan yang diduga adalah sosok Sang Rama dalam epos Ramayana sedang membentangkan panah duduk di atas gajah dan di sebelahnya ada burung (paksi). Menurut ilmu arkeologi, gambar itu menunjukkan angka tahun yakni 1581 Saka atau 1659 Masehi.
Sementara itu dalam proses restorasi yang dilakukan krama Desa Adat Sinabun, sempat ditemukan sejumlah artefak seperti pecahan keramik yang diduga berasal dari Dinasti Yuan abad ke-13 dan pecahan keramik dinasti Ming di abad ke-14. Pecahan keramik yang ditemukan di wilayah hutan Menasa sebelah timur pura, menurut Kepala Balar Denpasar I Gusti Made Suarbawa, merupakan harta kekayaan masyarakat setempat pada zamannya. Berdasar temuan tersebut, disebutnya pada masa itu masyarakat Menasa tua sudah ada kontak perdagangan dengan China.
Dari hasil temuan arca serta relief yang ditemukan di Pura Agung Menasa, Suarbawa mengatakan kawasan Menasa bukan merupakan kerajaan, melainkan adalah kota pesisir pada zamannya. Hal itu ditegaskan melalui isi sejumlah prasasti di Bali yang menyebut keberadaan daerah Menasa dengan aktivitas kelautan atau bahari yang sangat tinggi. Menasa tua pada abad ke-13 menjadi kota pesisir mewilayahi Desa Kerobokan hingga Sangsit di Kecamatan Sawan, yang dalam perkembangannya mengalami pemekaran wilayah dan administrasi.
Balar Denpasar, lanjut Suarbawa, mengapresiasi upaya restorasi oleh krama Desa Adat Sinabun, yang tetap berupaya melestarikan dan menghormati tinggalan leluhurnya. Termasuk penggunaan batu paras warna-warni khas produksi Buleleng yang juga digunakan di sejumlah pura tua di Buleleng. “Dulu masalah transportasi mereka memanfaatkan sumber daya alam (SDA) yang ada. Kearifan lokal yang ramah lingkungan dan mencerminkan daerah setempat. Semestinya memang kearifan lokal dan SDA itu yang kita manfaatkan sebagai materi. Untuk itu kami sangat mengapresiasi krama dan pengurus adat di sini,” ucap Suarbawa.
Pura Agung Menasa di Banjar Menasa, Desa Sinabun, Kecamatan Sawan, Buleleng termasuk salah satu pura tua warisan abad ke-9. Pura tersebut diempon tiga desa adat yang tersebar di dua kecamatan wilayah Buleleng. Rinciannya, Desa Adat Sinabun (Desa Sinabun, Kecamatan Sawan), Desa Adat Suwug (Desa Suwug, Kecamatan Sawan), dan Desa Adat Bengkala (Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan).
Menurut Ketua Panitia Restorasi Pura Agung Menasa Putu Wahyu Pertama, 43, tiga desa adat wilayah Buleleng Timur ini memiliki keterikatan asal-usul leluhur di zaman silam. Mitos yang berkembang, daerah sekitar Pura Agung Menasa dulunya sempat diserang pasukan semut merah. Itu sebabnya, sebagian penduduk pilih hijrah ke Desa Suwug dan Desa Bengkala.
“Keterikatan garis keturunan itu masih bertahan hingga sekarang, dengan keberadaan Pura Agung Menasa. Ketiga desa adat ini ngempon bersama Pura Agung Menasa,” ungkap Putu Wahyu Pertama saat ditemui di areal Pura Agung Menasa, Desa Adat Sinabun, Rabu (4/12).
Putu Wahyu menyebutkan, namanya juga pura tua, beberapa bagian Pura Agung Menasa sudah dalam kondisi rapuh, sehingga kini dilakukan restorasi. Namun, dalam restorasi ini, krama pangempon hanya memperbaiki dan mengembalikan bangunan yang sudah rapuh di bagian pagar dan paduraksa yang keropos. Sementara bentuk dan arsitektur bangunan kuno tetap dilestarikan.
Berdasarkan catatan Desa Adat Sinabun, kata Putu Wahyu, perbaikan Pura Agung Menasa kali ini merupakan restorasi kelima yang pernah dilakukan. Restorasi pertama kali tercatat dilakukan tahun 1922-1923, di mana data tahunnya terpahat berhuruf Latin pada paduraksa sisi kiri. Pura Agung Menasa sempat direstorasi lagi pada 1976 dan 1984.
Perbaikan pura pertama tahun 1922-1923 diperkirakan dilakukan oleh penjajah Belanda, karena huruf yang dipahat menggunakan huruf Latin dan ejaan lama. Kuat diduga ada unsur politis Belanda di bagian atas paduraksa. Pasalnya, ujung atas bangunan terlihat jelas memiliki puncak berbentuk mahkota raja.
“Kalau dari beberapa kali tim ahli datang ke sini, diprediksi bangunan asli padukara hanya dari bagian tengah ke bawah. Kalau yang bagian atas mungkin dulu pernah rusak dan kemudian diganti bangunan baru, sehingga berisi mahkota di atasnya, yang memperlihatkan unsur sentuhan Belanda,” ucap Putu Wahyu, yang juga menjabat Ketua Saba Desa Adat Sinabun.
Meski demikian, paduraksa menuju Mandala Utama Pura Agung Menasa memiliki ciri khas. Bentuk ukirannya adalah khas Buleleng. Hal tersebut dilihat dari segi bentuk ukiran yang besar-besar, menyerupai bentuk daun dan bunga semangka yang merambat.
Ukiran di paduraksa Pura Agung Menasa pun banyak menyimpan relief unik. Ukiran Boma di bagian tengah atas paduraksa, tidak seperti ukiran umumnya. Ukiran Boma itu tidak simeteris dan menghadap ke depan, melainkan seperti menengok ke arah kiri. Keunikan relief paduraksa Pura Agung Menasa juga terlihat pada pahatan bentuk bintang, seperti cicak, kadal, burung, hingga kuda terbang.
Keunikan lainnya yang tampak mencolok adalah warna batu paras yang digunakan sebagai tembok panyengker pura. Setelah dibongkar dan dibersihkan untuk dipasang kembali, batu paras tembok panyengker ini ternyata memiliki 9 warna berbeda. “Awalnya karena sudah lama dibersihkan dan digosok kembali, ternyata batu paras itu warna-warni,” tandas Putu Wahyu.
Putu Wahyu pun meyakini ukiran di paduraksa Pura Agung Menasa memang ukiran asli, bukan merupakan bagian dari restorasi yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Pintu kayu yang terpasang di tengah-tengah paduraksa juga tidak kalah menarik. Pintu kayu ini ditaksir berusia ratusan tahun, karena engsel pintunya menjadi satu dengan tembok paduraksa yang berbahan batu paras.
“Para tetua kami sejak dulu memang komitmen mempertahankan apa yang sudah ada dan apa yang menjadi keyakinan kami. Hingga saat ini, proses restorasi Pura Agung Menasa masih mempertahankan bentuk aslinya, karena ini merupakan kekayaan kami di Banjar Menasa,” jelas Putu Wahyu.
Dalam proses restorasi Pura Agung Menasa, juga ditemukan pecahan keramik dan paras bertuliskan huruf Latin dan Bahasa Pali, yang terdiri dari tiga bagian. Keramik dan paras bertuliskan Bahasa Pali ini ditemukan di bawah tanah pada kedalaman 1,5 meter. *k23
Komentar