Bali, Home Sweet Home
Setiap krama Bali yang mendengar kata Bali akan merindukannya sebagai home sweet home, rumah yang dirindukan.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Di tanah Bali inilah berdiri rumah sederhana bertiang bambu tua, atap ilalang dengan lantai tanah liat. Ketika hujan turun, banjir menerjang, dan angin melanda, rumah ini tidak roboh. Kenapa? Karena, rumah demikian didirikan di atas tanah leluhur yang asri. Bagi sebagian krama Bali yang paham budaya Bali akan gundah terhadap perubahan drastis tanah Bali. Tetapi, bagi sebagian lain yang baru belajar memahami budaya Bali, akan selalu antusias dengan kemajuan yang diraih Bali. Krama Bali yang memahami budaya Bali beranggapan perubahan adalah nestapa. Tetapi, yang kurang memahami beranggapan perubahan adalah kemajuan?
Bali memperoleh beragam konotasi. Misalnya, wisman memaknai Bali sebagai loci untuk meeting, incentive, conference and exhibition (MICE). Bagi wisatawan domestik, Bali adalah an island of gods and goddesses atau pulau seribu pura. Bagi sebagian krama Bali, Bali adalah tanah kelahiran fisiknya, tetapi sebagian lainnya Bali adalah emosi dan nuraninya. Bali dianalogkan sebagai mata uang logam, luarnya bertekstur halus dan licin, tetapi dalamnya bercorak kasar dan kotak-kotak. Perbedaan pandangan akan bermuara pada polarisasi sikap dan perilaku krama Bali terhadap tanah leluhurnya.
Secara emosional, Bali dikaitkan dengan keluarga, pakraman, dan pura. Keluarga dijadikan pondasi pembudayaan nilai-nilai kebalian. Di tanah Bali ada perasaan sukacita, ada damai, ada kasih, dan ada ketenteraman. Jadi, Bali sebagai home bukan house yang membuat orang ingin tinggal di dalamnya. Home bukan kos-kosan, di mana orang datang dan pergi tanpa ada interaksi. Apabila Bali dijadikan house, maka akan terjadi kekacauan. Seperti a broken home, suami lari dari tanggung jawab, istri ribut menuntut keadilan, dan anak-anak lari pada narkoba. Bali sebagai home bukan bicara fisik, tetapi bicara kebahagiaan, paras paros salulung sarpanaya, dan kenyamanan.
Desa dan banjar adat seharusnya menjadi home bukan house. Sementara ini, ada krama tued, krama tamiu, dan krama nyada. Tugas dan kewajibannya berbeda antara satu dengan lainnya. Sikapnya juga berbeda antara satu dengan lainnya. Krama tued dan nyada biasanya menganggap sebagai home, sedangkan krama tamiu beranggapan hanya sebagai tempat tinggal sementara untuk mengais rezeki.
Pura seharusnya juga dipandang sebagai home bukan house. Ada krama Hindu yang datang dan pergi seusai persembahyangan. Mereka datang dan pergi, tidak mau kenal siapa-siapa, bertegur sapa satu sama lainnya sesama krama Hindu. Ada juga yang memanfaatkan pura sebagai tempat pelarian. Mereka menganggap pura seperti bioskop. Pura sebagai home harus dimaknai sebagai renungan berikut: bukan bagunan dan juga bukan merunya, bukan candinya, tetapi lihat orangnya yang berkumpul di sana. Kalau pura dijadikan home, maka tidak ada yang sakit hati, beban terasa terangkat, sakit menjadi sembuh, gundah tergantikan dengan rasa bahagia.
Demikian juga dengan merajan atau sanggah Kawitan. Kalau ini dimaknai sebagai home, maka leluhur kita akan selalu dirindukan. Leluhur sebagai yang dirindukan akan memberkati selalu. Leluhur adalah persemaian jiwa, di dalamnya ada asih dan bakti. Mereka yang terlindungi leluhur berkata, puniki kawitan tiyange! Ada perasaan bangga, terlindungi, rindu dan merindukan, saling menyayangi, cinta kasih tak bertepi. Demikian hendaknya krama Bali memandang Bali sebagai home, bukan house. Bali bukan sekadar tempat lahir, bekerja, berwisata, berbisnis, tetapi Bali adalah sweet home sweet. Bali adalah badan sekaligus roh. Bali merupakan ekosistem badaniah dan rohaniah bagi krama Bali agar dapat melanjutkan bhisama leluhur, sehingga Bali terjaga kelestarian, kedamaian, kesejahteraan, dan keadilannya. Semoga. *
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Di tanah Bali inilah berdiri rumah sederhana bertiang bambu tua, atap ilalang dengan lantai tanah liat. Ketika hujan turun, banjir menerjang, dan angin melanda, rumah ini tidak roboh. Kenapa? Karena, rumah demikian didirikan di atas tanah leluhur yang asri. Bagi sebagian krama Bali yang paham budaya Bali akan gundah terhadap perubahan drastis tanah Bali. Tetapi, bagi sebagian lain yang baru belajar memahami budaya Bali, akan selalu antusias dengan kemajuan yang diraih Bali. Krama Bali yang memahami budaya Bali beranggapan perubahan adalah nestapa. Tetapi, yang kurang memahami beranggapan perubahan adalah kemajuan?
Bali memperoleh beragam konotasi. Misalnya, wisman memaknai Bali sebagai loci untuk meeting, incentive, conference and exhibition (MICE). Bagi wisatawan domestik, Bali adalah an island of gods and goddesses atau pulau seribu pura. Bagi sebagian krama Bali, Bali adalah tanah kelahiran fisiknya, tetapi sebagian lainnya Bali adalah emosi dan nuraninya. Bali dianalogkan sebagai mata uang logam, luarnya bertekstur halus dan licin, tetapi dalamnya bercorak kasar dan kotak-kotak. Perbedaan pandangan akan bermuara pada polarisasi sikap dan perilaku krama Bali terhadap tanah leluhurnya.
Secara emosional, Bali dikaitkan dengan keluarga, pakraman, dan pura. Keluarga dijadikan pondasi pembudayaan nilai-nilai kebalian. Di tanah Bali ada perasaan sukacita, ada damai, ada kasih, dan ada ketenteraman. Jadi, Bali sebagai home bukan house yang membuat orang ingin tinggal di dalamnya. Home bukan kos-kosan, di mana orang datang dan pergi tanpa ada interaksi. Apabila Bali dijadikan house, maka akan terjadi kekacauan. Seperti a broken home, suami lari dari tanggung jawab, istri ribut menuntut keadilan, dan anak-anak lari pada narkoba. Bali sebagai home bukan bicara fisik, tetapi bicara kebahagiaan, paras paros salulung sarpanaya, dan kenyamanan.
Desa dan banjar adat seharusnya menjadi home bukan house. Sementara ini, ada krama tued, krama tamiu, dan krama nyada. Tugas dan kewajibannya berbeda antara satu dengan lainnya. Sikapnya juga berbeda antara satu dengan lainnya. Krama tued dan nyada biasanya menganggap sebagai home, sedangkan krama tamiu beranggapan hanya sebagai tempat tinggal sementara untuk mengais rezeki.
Pura seharusnya juga dipandang sebagai home bukan house. Ada krama Hindu yang datang dan pergi seusai persembahyangan. Mereka datang dan pergi, tidak mau kenal siapa-siapa, bertegur sapa satu sama lainnya sesama krama Hindu. Ada juga yang memanfaatkan pura sebagai tempat pelarian. Mereka menganggap pura seperti bioskop. Pura sebagai home harus dimaknai sebagai renungan berikut: bukan bagunan dan juga bukan merunya, bukan candinya, tetapi lihat orangnya yang berkumpul di sana. Kalau pura dijadikan home, maka tidak ada yang sakit hati, beban terasa terangkat, sakit menjadi sembuh, gundah tergantikan dengan rasa bahagia.
Demikian juga dengan merajan atau sanggah Kawitan. Kalau ini dimaknai sebagai home, maka leluhur kita akan selalu dirindukan. Leluhur sebagai yang dirindukan akan memberkati selalu. Leluhur adalah persemaian jiwa, di dalamnya ada asih dan bakti. Mereka yang terlindungi leluhur berkata, puniki kawitan tiyange! Ada perasaan bangga, terlindungi, rindu dan merindukan, saling menyayangi, cinta kasih tak bertepi. Demikian hendaknya krama Bali memandang Bali sebagai home, bukan house. Bali bukan sekadar tempat lahir, bekerja, berwisata, berbisnis, tetapi Bali adalah sweet home sweet. Bali adalah badan sekaligus roh. Bali merupakan ekosistem badaniah dan rohaniah bagi krama Bali agar dapat melanjutkan bhisama leluhur, sehingga Bali terjaga kelestarian, kedamaian, kesejahteraan, dan keadilannya. Semoga. *
1
Komentar