Tampilkan Calonarang Horor Komedi
Biasanya calonarang penuh nuansa mistik hingga kulu kuduk merinding, tetapi kali ini penonton tergelitik hingga tertawa terbahak-bahak.
Pementasan Sanggar Gita Lestari di Panggung Mahalango III
DENPASAR, NusaBali
Sanggar Gita Lestari, Desa Petak Kaja, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, tampilkan calonarang inovasi di kalangan Angsoka, Taman Budaya Bali dalam pagelaran Bali Mandara Mahalango III, Minggu (31/7) malam. Sanggar pimpinan Anak Agung Gede Putrayasa mengambil lakon ’Gentola Gentoli’. Dalam inovasinya, Sanggar Gita Lestari mengubah image calonarang yang mistik menjadi menggelitik.
Pementasan calonarang yang biasanya tampil seram dan membuat bulu kuduk merinding, pada malam kemarin justru mengundang tawa hingga penonton terbahak-bahak. Meski lebih banyak unsur komedi di dalamnya, namun unsur mistik ketika lima orang penari yang menjadi simbol lenda-lendi hadir dan menari di atas panggung, hingga berteriak-teriak tak sadarkan diri, masih dipertahankan.
Koordinator Sanggar Gita Lestari, AA Gede Putrayasa mengatakan, unsur komedi yang coba dimasukkan dalam pementasannya bukan hanya pertimbangan melakukan inovasi, namun juga untuk menghibur penonton. Sesuai visi misi Mahalango, sebagai inovasi dan pengembangan seni budaya, pihaknya berusaha menampilkan pementasan yang inovatif. “Meski lebih banyak unsur inovasi dan komedi, namun kami tetap mempertahankan pakem. Salah satu yang kami lakukan dengan mengadopsi latar cerita, kemudian memodifikasinya, tapi tidak meninggalkan pakem yang selama ini diadopsi,” ujarnya.
Menurut Putrayasa, sebenarnya ada ruang yang cukup untuk menampilkan seni calonarang seperti yang digariskan pakem. Jika harus secara detail mengikuti pakem, maka itu disebut kesenian klasik yang lebih cocok dipentaskan pada ajang Pesta Kesenian Bali. Meski ada inovasi, namun seni calonarang yang ia pentaskan tak semuanya inovasi. “Saya melakukan penggalian dan pemahaman terhadap pakem utama, lalu melakukan adopsi sehingga bisa melakukan inovasi. Pelestarian dan penggalian itu tetap yang utama. Tapi kita tidak bisa menutup mata dari pengembangan dan inovasi dengan memperhatikan batas-batas toleransi,” tandasnya.
Lakon ‘Gentola Gentoli’mengisahkan tentang bayi kembar buncing yang kemudian terpisah karena kerusuhan. Gentoli tumbuh dewasa di Kerajaan Daha, sementara Gentola besar di Kerajaan Kediri. Gentoli mempelajari ilmu pangleakan menjadi rangda, sementara Gentola mempelajari ilmu barong. Saat bertemu pada usia dewasa, keduanya sempat jatuh cinta. Namun karena diketahui terlahir sebagai saudara kembar, cinta mereka kandas. Mereka akhirnya berperang dengan ilmu masing-masing. * i
DENPASAR, NusaBali
Sanggar Gita Lestari, Desa Petak Kaja, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, tampilkan calonarang inovasi di kalangan Angsoka, Taman Budaya Bali dalam pagelaran Bali Mandara Mahalango III, Minggu (31/7) malam. Sanggar pimpinan Anak Agung Gede Putrayasa mengambil lakon ’Gentola Gentoli’. Dalam inovasinya, Sanggar Gita Lestari mengubah image calonarang yang mistik menjadi menggelitik.
Pementasan calonarang yang biasanya tampil seram dan membuat bulu kuduk merinding, pada malam kemarin justru mengundang tawa hingga penonton terbahak-bahak. Meski lebih banyak unsur komedi di dalamnya, namun unsur mistik ketika lima orang penari yang menjadi simbol lenda-lendi hadir dan menari di atas panggung, hingga berteriak-teriak tak sadarkan diri, masih dipertahankan.
Koordinator Sanggar Gita Lestari, AA Gede Putrayasa mengatakan, unsur komedi yang coba dimasukkan dalam pementasannya bukan hanya pertimbangan melakukan inovasi, namun juga untuk menghibur penonton. Sesuai visi misi Mahalango, sebagai inovasi dan pengembangan seni budaya, pihaknya berusaha menampilkan pementasan yang inovatif. “Meski lebih banyak unsur inovasi dan komedi, namun kami tetap mempertahankan pakem. Salah satu yang kami lakukan dengan mengadopsi latar cerita, kemudian memodifikasinya, tapi tidak meninggalkan pakem yang selama ini diadopsi,” ujarnya.
Menurut Putrayasa, sebenarnya ada ruang yang cukup untuk menampilkan seni calonarang seperti yang digariskan pakem. Jika harus secara detail mengikuti pakem, maka itu disebut kesenian klasik yang lebih cocok dipentaskan pada ajang Pesta Kesenian Bali. Meski ada inovasi, namun seni calonarang yang ia pentaskan tak semuanya inovasi. “Saya melakukan penggalian dan pemahaman terhadap pakem utama, lalu melakukan adopsi sehingga bisa melakukan inovasi. Pelestarian dan penggalian itu tetap yang utama. Tapi kita tidak bisa menutup mata dari pengembangan dan inovasi dengan memperhatikan batas-batas toleransi,” tandasnya.
Lakon ‘Gentola Gentoli’mengisahkan tentang bayi kembar buncing yang kemudian terpisah karena kerusuhan. Gentoli tumbuh dewasa di Kerajaan Daha, sementara Gentola besar di Kerajaan Kediri. Gentoli mempelajari ilmu pangleakan menjadi rangda, sementara Gentola mempelajari ilmu barong. Saat bertemu pada usia dewasa, keduanya sempat jatuh cinta. Namun karena diketahui terlahir sebagai saudara kembar, cinta mereka kandas. Mereka akhirnya berperang dengan ilmu masing-masing. * i
Komentar