Kemendikbud Tak Coba-coba Ganti Format UN
Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter sebagai pengganti UN itu menilai kemampuan literasi, numerasi dan karakter anak.
JAKARTA, NusaBali
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Balitbang-Kemendikbud), Totok Suprayitno, menegaskan penggantian Ujian Nasional dari pola sebelumnya bukan coba-coba.
"Penggantian format UN dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter bukan coba-coba, karena kami sudah mempunyai embrionya sejak lama," ujar Totok dalam diskusi di Jakarta, Selasa (17/12) lalu.
Totok mengatakan embrio yang sudah dibuat oleh Kemendikbud tersebut yakni Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI), yang sebelumnya digunakan untuk memantau mutu pendidikan secara nasional atau daerah. "Kami mempunyai keyakinan, bahwa penilaian seperti ini (Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter) sesuai dengan kaidah, karena pendidikan tidak hanya menguasai konten tetapi cara berpikir anak," terang Totok.
Penggantian format UN merupakan satu dari empat poin konsep pendidikan ‘Merdeka Belajar’, yang mana UN tidak lagi menggunakan pilihan ganda dan dilakukan pada akhir jenjang pendidikan.
Pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter itu akan dimulai pada 2021. Penyelenggarannya sendiri pada pertengahan jenjang seperti kelas 4 untuk SD, kelas VIII untuk SMP dan kelas XI untuk SMA. Untuk pelaksanaanya sendiri, Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter itu menilai kemampuan literasi, numerasi dan karakter anak.
Untuk UN pada 2020 akan tetap diselenggarakan seperti sebelum-sebelumnya. "Selama satu tahun ke depan, kami akan melakukan persiapan untuk menyiapkan model Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter ini," kata dia. Begitu juga sarana dan prasarana akan dibantu untuk dilengkapi, namun digunakan untuk pembelajaran bukan hanya sekedar untuk ujian.
Totok menambahkan pihaknya akan menetapkan standar untuk Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter dalam waktu dekat. "Nanti akan ada standar minimumnya, misalnya kelas empat sampai bilangan pecahan dan bagaimana aplikasi dalam kesehariannya," ujar Totok.
Totok memberi contoh bagaimana untuk pecahan diterapkan dalam sehari-hari, misalnya jika membeli minyak dengan berat bersih sekian liter dengan harga sekian, dibandingkan dengan berat berbeda dan harga yang berbeda pula. "Melalui penilaian tersebut, mereka melakukan penalaran. Tidak hanya sekedar menguji pengetahuan," terang dia.
Pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter merupakan perubahan dari format Ujian Nasional (UN) yang digunakan selama ini. Pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter tersebut berbeda dengan UN, yang diselenggarakan pada akhir jenjang. Untuk format penilaian baru tersebut, diselenggarakan pada pertengahan jenjang seperti kelas 4 untuk SD, kelas VIII untuk SMP dan kelas XI untuk SMA.
Sedangkan untuk gurunya, tambah Totok sedapat mungkin tidak ada petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis. Guru diberikan kepercayaan agar bisa merdeka dalam pengajaran. "Dengan kemerdekaan berpikir, akan melahirkan inovasi. Itu tujuannya kita memerdekakan guru dan murid," terang dia. *ant
"Penggantian format UN dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter bukan coba-coba, karena kami sudah mempunyai embrionya sejak lama," ujar Totok dalam diskusi di Jakarta, Selasa (17/12) lalu.
Totok mengatakan embrio yang sudah dibuat oleh Kemendikbud tersebut yakni Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI), yang sebelumnya digunakan untuk memantau mutu pendidikan secara nasional atau daerah. "Kami mempunyai keyakinan, bahwa penilaian seperti ini (Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter) sesuai dengan kaidah, karena pendidikan tidak hanya menguasai konten tetapi cara berpikir anak," terang Totok.
Penggantian format UN merupakan satu dari empat poin konsep pendidikan ‘Merdeka Belajar’, yang mana UN tidak lagi menggunakan pilihan ganda dan dilakukan pada akhir jenjang pendidikan.
Pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter itu akan dimulai pada 2021. Penyelenggarannya sendiri pada pertengahan jenjang seperti kelas 4 untuk SD, kelas VIII untuk SMP dan kelas XI untuk SMA. Untuk pelaksanaanya sendiri, Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter itu menilai kemampuan literasi, numerasi dan karakter anak.
Untuk UN pada 2020 akan tetap diselenggarakan seperti sebelum-sebelumnya. "Selama satu tahun ke depan, kami akan melakukan persiapan untuk menyiapkan model Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter ini," kata dia. Begitu juga sarana dan prasarana akan dibantu untuk dilengkapi, namun digunakan untuk pembelajaran bukan hanya sekedar untuk ujian.
Totok menambahkan pihaknya akan menetapkan standar untuk Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter dalam waktu dekat. "Nanti akan ada standar minimumnya, misalnya kelas empat sampai bilangan pecahan dan bagaimana aplikasi dalam kesehariannya," ujar Totok.
Totok memberi contoh bagaimana untuk pecahan diterapkan dalam sehari-hari, misalnya jika membeli minyak dengan berat bersih sekian liter dengan harga sekian, dibandingkan dengan berat berbeda dan harga yang berbeda pula. "Melalui penilaian tersebut, mereka melakukan penalaran. Tidak hanya sekedar menguji pengetahuan," terang dia.
Pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter merupakan perubahan dari format Ujian Nasional (UN) yang digunakan selama ini. Pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter tersebut berbeda dengan UN, yang diselenggarakan pada akhir jenjang. Untuk format penilaian baru tersebut, diselenggarakan pada pertengahan jenjang seperti kelas 4 untuk SD, kelas VIII untuk SMP dan kelas XI untuk SMA.
Sedangkan untuk gurunya, tambah Totok sedapat mungkin tidak ada petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis. Guru diberikan kepercayaan agar bisa merdeka dalam pengajaran. "Dengan kemerdekaan berpikir, akan melahirkan inovasi. Itu tujuannya kita memerdekakan guru dan murid," terang dia. *ant
Komentar