Siswi SMP Jadi Penjahit
Tidak pernah menjahit pakaian sampai malam hari karena khawatir ngantuk di sekolah.
AMLAPURA, NusaBali
Sejak ayahnya menderita lumpuh, Ni Luh Putu Gita Lestari, 15, mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Sepulang sekolah, Putu Gita bekerja sebagai penjahit pakaian. Penghasilannya sehari rata-rata Rp 20.000. Dia punya mesin jarit, yang dibelikan oleh orangtuanya sewaktu menamatkan kursus menjahit. Mesin itu dibeli dengan harga Rp 2,5 juta. Bermodalkan mesin jahit itu, siswa kelas IXC SMPN 2 Rendang, Karangasem ini berupaya membantu keluarga.
Putu Gita Lestari selama satu bulan kursus menjahit di Banjar Kubaka, Desa Pempatan. Mulai kerja sendiri di rumah setelah dibelikan mesin oleh orangtuanya I Nengah Juli dan Ni Wayan Suartini, 40, pada tahun 2017. Saat itu Putu Gita masih kelas VII SMPN 22 Rendang. Tugasnya menjahit saja berdasarkan order dari garmen. Menjahit celana pendek dapat ongkos Rp 500, celana panjang Rp 1.000, dan pakaian yang pekerjaannya tergolong berat ongkosnya Rp 5.000. Benang dibawakan dari pemilik garmen. Putu Gita tugasnya hanya menjahit kain yang telah dipotong.
Selama tahun 2017 hingga September 2019, Putu Gita menjahit pakaian tanpa beban. Hasilnya sebagai buruh menjahit dinikmati sendiri, baik untuk bekal sekolah, beli pakaian, beli sepatu, dan buku. Sesekali hasilnya dibagi kepada adiknya yang masih duduk di kelas V SDN 3 Pempatan, Ni Kadek Dwi Juli Antari. Menjahit pakaian dikerjakan sepulang sekolah, terlebih dahulu mengerjakan tugas-tugas sekolah seperti PR (pekerjaan rumah). Mulai menjahit pukul 15.00 Wita-18.00 Wita, mampu menyelesaikan 20 potong pakaian. Rata-rata mendapatkan imbalan Rp 20.000 per hari.
Setelah memasuki libur semester, menjahit dari pagi hingga sore mampu menuntaskan 50 potong pakaian. Upah yang didapatkan minimal Rp 50.000, tergantung jenis pakaian. Bebannya jadi semakin berat sejak sang ayah I Nengah Juli mengalami musibah, jatuh dari pohon nangka setinggi 6 meter pada September 2019. Ayahnya tidak bisa bergerak, bangun dari tempat tidur saja susah. Ibunya, Ni Wayan Suartini juga sebagai petani, belum mendatangkan penghasilan buat bekal sekolah.
Maka Putu Gita satu-satunya anggota keluarga sebagai tulang punggung keluarga. Setiap selesai menjahit, dia tidak buru-buru minta uang kepada pengepul. Menunggu sampai seminggu hingga dua minggu agar uangnya cukup terkumpul. Rata-rata seminggu dapat Rp 140.000. “Sebagian untuk biaya sekolah, sebagian untuk bekal sekolah adik, dan sebagian diberikan untuk ibu,” ucap Putu Gita saat ditemui di Banjar Alasngandang, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Karangasem, Sabtu (21/12).
Putu Gita tetap bertekad sekolah adalah yang utama. Setelah tuntas menyelesaikan tugas-tugas sekolah, barulah menjahit. Tetapi, tidak pernah menjahit sampai malam, khawatir ngantuk di sekolah. Prestasi di sekolah, tergolong siswa pintar, masuk 10 besar di kelas. Kasek SMPN 2 Rendang Ketut Suparjana mengapresiasi kerja keras siswinya itu. “Di sekolah tergolong siswa pintar, walau di rumahnya menanggung beban sebagai tulang punggung keluarga,” kata Ketut Suparjana. *k16
Putu Gita Lestari selama satu bulan kursus menjahit di Banjar Kubaka, Desa Pempatan. Mulai kerja sendiri di rumah setelah dibelikan mesin oleh orangtuanya I Nengah Juli dan Ni Wayan Suartini, 40, pada tahun 2017. Saat itu Putu Gita masih kelas VII SMPN 22 Rendang. Tugasnya menjahit saja berdasarkan order dari garmen. Menjahit celana pendek dapat ongkos Rp 500, celana panjang Rp 1.000, dan pakaian yang pekerjaannya tergolong berat ongkosnya Rp 5.000. Benang dibawakan dari pemilik garmen. Putu Gita tugasnya hanya menjahit kain yang telah dipotong.
Selama tahun 2017 hingga September 2019, Putu Gita menjahit pakaian tanpa beban. Hasilnya sebagai buruh menjahit dinikmati sendiri, baik untuk bekal sekolah, beli pakaian, beli sepatu, dan buku. Sesekali hasilnya dibagi kepada adiknya yang masih duduk di kelas V SDN 3 Pempatan, Ni Kadek Dwi Juli Antari. Menjahit pakaian dikerjakan sepulang sekolah, terlebih dahulu mengerjakan tugas-tugas sekolah seperti PR (pekerjaan rumah). Mulai menjahit pukul 15.00 Wita-18.00 Wita, mampu menyelesaikan 20 potong pakaian. Rata-rata mendapatkan imbalan Rp 20.000 per hari.
Setelah memasuki libur semester, menjahit dari pagi hingga sore mampu menuntaskan 50 potong pakaian. Upah yang didapatkan minimal Rp 50.000, tergantung jenis pakaian. Bebannya jadi semakin berat sejak sang ayah I Nengah Juli mengalami musibah, jatuh dari pohon nangka setinggi 6 meter pada September 2019. Ayahnya tidak bisa bergerak, bangun dari tempat tidur saja susah. Ibunya, Ni Wayan Suartini juga sebagai petani, belum mendatangkan penghasilan buat bekal sekolah.
Maka Putu Gita satu-satunya anggota keluarga sebagai tulang punggung keluarga. Setiap selesai menjahit, dia tidak buru-buru minta uang kepada pengepul. Menunggu sampai seminggu hingga dua minggu agar uangnya cukup terkumpul. Rata-rata seminggu dapat Rp 140.000. “Sebagian untuk biaya sekolah, sebagian untuk bekal sekolah adik, dan sebagian diberikan untuk ibu,” ucap Putu Gita saat ditemui di Banjar Alasngandang, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Karangasem, Sabtu (21/12).
Putu Gita tetap bertekad sekolah adalah yang utama. Setelah tuntas menyelesaikan tugas-tugas sekolah, barulah menjahit. Tetapi, tidak pernah menjahit sampai malam, khawatir ngantuk di sekolah. Prestasi di sekolah, tergolong siswa pintar, masuk 10 besar di kelas. Kasek SMPN 2 Rendang Ketut Suparjana mengapresiasi kerja keras siswinya itu. “Di sekolah tergolong siswa pintar, walau di rumahnya menanggung beban sebagai tulang punggung keluarga,” kata Ketut Suparjana. *k16
Komentar