Gereja Katolik Tritunggal Mahakudus, Konsisten Lestarikan Budaya Bali
Penggunaan penjor dan gebogan pada altar, merupakan salah satu bentuk penghormatan Gereja kepada budaya Bali.
MANGUPURA, NusaBali.com
Pohon Natal menjadi salah satu atribut yang wajib ada saat perayaan Natal. Di hari raya bagi umat Kristiani ini, umat memasang pohon Natal di rumah-rumah dan gereja. Apalagi, pohon Natal yang dipasang di pusat-pusat perbelanjaan turut memberikan semangat keceriaan dan kemeriahan suasana Natal.
Namun di beberapa tempat di Bali, terdapat tradisi unik yang melibatkan budaya Bali dalam perayaan Natal, seperti pada peringatan Hari Raya Natal yang berlangsung di Gereja Katolik Tritunggal Mahakudus pada Rabu (25/12/2019). Di gereja yang berlokasi di Desa Adat Tuka Dalung, tampak penjor khas Bali menghiasi bagian gapura dan pintu masuk gereja.
Penggunaan penjor ini, merupakan salah satu bentuk penghormatan gereja kepada budaya Bali. “Jadi ini sebagai wujud pelestarian kami terhadap budaya, kebudayaan Bali terutama. Karena, akar kami adalah dari Bali sendiri. Jadi kami tidak berakar dari Eropa, tapi dari Bali kami lestarikan,” ujar Ketua Pelaksana Natal Gereja Katolik Tritunggal Mahakudus Paroki Tuka-Dalung, I Wayan Edi Yudiyana.
Bedanya, penjor yang digunakan dalam perayaan Natal ini tentu saja tak menggunakan sanggah cucuk seperti penjor yang digunakan umat Hindu saat perayaan Hari Raya Galungan. Penggunaan penjor ini, jelas Edi yudiyana, juga lebih memiliki fungsi estetika daripada simbolisme. “Ini sebagai tanda bahwa kami ada di Bali juga punya tradisi seperti ini. Hanya saja kami tidak menggunakan sanggahnya, jadi lebih kepada hiasan dan penanda bahwa di sini kami punya kerja, seperti orang Bali,” lanjutnya.
Tak hanya penjor yang menghiasi bagian depan gereja, namun ada juga gebogan yang menghiasi meja altar gereja sebagai persembahan. Gebogan ini pun menyerupai gebongan Bali, yakni terbuat dari susunan buah dan kue apem khas Bali yang ditumpuk tinggi. “Nah gebogan itu kan sebagai bentuk persembahan kami juga. Kalau orang Bali kan menyebutnya aturan, nah itu juga bentuk persembahan kami tapi tidak ada canangnya. Gebogan itu kan manifestasi dari tubuh kita sebenarnya kan, itu sama, kita juga buat persembahan seperti itu, bedanya tidak pakai canang,” jelas Edi Yudiyana.
Tradisi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun ini mendukung suasana gereja yang memiliki arsitektur khas Bali. Bangunan gereja yang berdiri sejak 1987 ini memiliki arsitektur yang menyerupai bangunan wantilan Bali lengkap dengan ukiran-ukiran Bali yang menghiasi gapura dan pintu masuk gereja. Pengaruh arsitektur dari gereja yang merupakan cikal bakal Katolik di Bali ini kemudian dibawa ke daerah-daerah lain, seperti gereja yang terdapat di wilayah Gumbrih dan Palasari di Jembrana.
Hingga kini, Gereja Katolik Tritunggal Mahakudus ini masih eksis melestarikan budaya Bali yang juga diwujudkan dengan mengimbau umat untuk menggunakan pakaian adat Bali pada hari raya. Tak hanya itu, nantinya pada rangkaian perayaan Natal yang dikhususkan bagi para lansia pada 27 Desember 2019, Gereja juga akan turut menampilkan tarian dan tabuh tradisional Bali.
“Setelah hari raya ini nanti, akan ada perayaan untuk lansia. Jadi kami punya panglingsir-panglingsir, sesepuh-sesepuh kami biasanya kami istimewakan untuk kita adakan perayaan tersendiri. Tetap dilaksanakan dengan misa, karena itu merupakan puncak kehidupan umat Katolik terutama, lalu akan ada juga hiburan dari sanggar anak-anak yang dibina oleh gereja, untuk seni tari dan tabuhnya,” tuntas Edi Yudiyana.*yl
Komentar