Pembangunan Monumen Puputan Jagaraga Dimulai
Pembangunan Monumen Perang Puputan Jagaraga di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Buleleng mulai digarap, setelah diperjuangkan selama 30 tahun.
SINGARAJA, NusaBali
Pembangunan monumen bernilai Rp 15 miliar ini ditandai dengan peletakan batu pertama yang dulakukan Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, Senin (1/8) pagi.
Acara peletakan batu pertama pembangunan monumen Puputan Jagaraga kemarin pagi Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna, Ketua Komisi II DPRD Buleleng Putu Mangku Budiasa, Forum SKPD, para tokoh adat, tokoh masyarakat, dan warga Desa Jagaraga. Monumen Puputan Jagaraga ini dibangun di atas lahan seluas 55,5 are, yang lokasinya tidak jauh dari areal Pura Dalem Segara Madu, Desa Pakraman Jagaraga.
Total anggaran yang disiapkan untuk pembangunan monumen bersejarah ini mencapai Rp 15 miliar, bersumber dari APBD Buleleng 2016. Proyek Monumen Puputan Jagaraga dikerjakan PT Tunas Jaya Sanur (Denpasar Selatan) dengan masa kontrak selama 180 hari. Pembangunan ditarget sudah rampung per 26 Desember 2016 mendatang.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, I Gede Komang, menyebut Monumen Puputan Jagaraga akan berisikan patung dua tokoh pejuang Puputan Jagaraga, yakni I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring. Kedua tokoh dari trah Sameton Arya Pangalasan ini pegang peran penting dalam Perang Puputan Jagaraga melawan Belanda tahun 1849. Patung tersebut menjulang seti-nggi 15 meter menghadap ke utara.
“Nanti juga ada diorama yang menggambarkan kisah peperangan (melawan penjajah Belanda, Red) dari I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring. Di areal monumen nantinya ada taman, wantilan, dan tempat parkir yang luas,” jelas Gede Komang, Senin kemarin.
Menurut Gede Komang, patung dua tokoh pejuang heroik I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring kini tinggal pembuatan wajahnya. Sedangkan badan dan patungnya sudah ada. Pembuatan wajah harus dipadukan dengan beberapa dokumen yang ada. “Dari beberapa dokumen, kita sudah dapatkan bentuk wajahnya, tapi kita perlu koordinasi lagi ke Pak Gubernur. Katanya, Pak Gubernur juga punya dokumen berupa foto dari I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring,” tandas Gede Komang.
Sementara, warga Desa Jagaraga sangat bersyukur pembangunan Monumen Puputan Jagaraga akhirnya dimulai. Bagi warga Desa Jagaraga, pembangunan monumen ini sangatlah berarti. Sebab, hal ini telah diperjuangkan selama 30 tahun. Keberadaan Monumen Puputan Jagaraga nanti tentunya akan menggerakkan perekonomian masyarakat setempat.
“Bagi kami, monumen ini akan menggerakkan ekonomi masyarakat, paling tidak dari sisi kunjungan. Ini sudah cukup lama kami perjuangkan, kurang lebih 30 tahun. Kami sangat berterimakasih kepada Pemkab Buleleng dan Pemprov Bali yang sudah bisa mewujudkan usulan kami,” ungkap Kelian Desa Pakraman Jagaraga, Nyoman Parta, di sela acara peletakan batu pertama pembangunan Monumen Puputan Jagaraga, Senin kemarin.
Sementara itu, Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana minta agar masing-masing sekolah tingkat SMP dan SMA/SMK nantinya membuat jadwal kunjungan ke Monumen Puputan Jagaraga. Menurut Agus Suradnyana, di Buleleng nantinya akan ada tiga monumen perjuangan dan satu Taman Makam Pahlawan.
Dua monumen perjuangan yang sudah ada sebelumnya masing-masing Monumen Tri Yudha Sakti di Desa Sangket (Kecamatan Sukasada) dan Monumen Bhuana Kerta di Desa Panji (Kecamatan Sukasada). Kini, dibangun lagi Monumen Puputan Jagaraga di Desa Jagaraga (Kecamatan Sawan).
Agus Suradnyana menegaskan, dengan kunjungan dari masing-masing sekolah ke monumen perjuangan, otomatis akan memberikan edukasi bagi para siswa dan menumbuhkan rasa perjuangan terhadap tanah airnya. “Kalau Monumen Puputan Jagaraga rampung, anak-anak sekolah bisa diajak mengunjunginya. Saya minta Dinas Pendidikan mengatur agar masing-masing sekolah menjadwalkan kunjungannya. Ini akan memberikan spirit bagi generasi mendatang, agar mereka tahu perjuangan yang ada,” tandas Bupati asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng yang juga Ketua DPC PDIP Buleleng ini.
Berdasarkan catatan yang dirangkum dari berbagai sumber, perang Puputan Jagaraga sendiri berawal dari kandasnya kapal Belanda di perairan Buleleng tahun 1844. Kerajaan Buleleng kala itu memberlakukan adat Hak Tawan Karang, yang intinya menawan setiap kapal asing yang kandas di perairannya. Kapal dan harta bendanya pun dirampas, sedangkan anak buah kapalnya dijadikan budak karena dianggap sebagai miliknya.
Belanda menuntut Raja Buleleng (waktu itu) I Gusti Ngurah Made Karangasem untuk mengembalikan kapal dan segala isinya. Tuntutan itu ditolak oleh raja dan Patih I Gusti Ketut Jelantik. Maka, pada 1846 Belanda mengirimkan pasukannya untuk menyerang Buleleng.
Untuk menghadapi tentara Belanda, Buleleng dibantu Kerajaan Karangasem. Namun, kedua kerajaan ini kemudian dipaksa menandatangani suatu perjanjian. Isi perjanjian tersebut adalah pengakuan Kerajaan Buleleng dan Karangasem terhadap kekuasaan Belanda di Batavia. Belanda berhak memonopoli dagang, sementara Hak Tawan Karang dihapuskan.
Dengan perjanjian itu, Belanda mengira Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem telah dikuasai, sehingga tentaranya ditarik ke Batavia. Raja-raja di Bali tak pernah tunduk kepada Belanda. Lalu, dihimpunlah kekuatan dari Kerajaan Buleleng, Kerajaan Karangasem, dan Kerajaan Klungkung untuk menghadapi tentara Belanda.
Desa Jagaraga (kawasan Buleleng Timur) dijadikan pertahanan utama (benteng) pasukan Bali. Secara geografis, Desa Jagaraga memang berada pada tempat ketinggian, di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya. Desa Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk supit urang atau menyerupai jepitan udang. Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu untuk menghambat gerakan musuh.
Benteng Jagaraga ini dipertahankan oleh 15.000 orang, dengan 2.000 orang bersenjata senapan api dan sisanya bersenjatakan tombak. Tahun 1848, Belanda mengirim pasukannya ke Bali untuk menghancurkan perlawanan di Benteng Jagaraga. Namun, Belanda tidak mampu menghadapi perlawanan rakyat Bali di bawah pimpinan Patih I Gusti Ketut Jelantik.
Awalnya, kapal perang Belanda tiba di Pantai Sangsit (Desa sangsit, Kecamatan sawan, Buleleng) pada 7 Maret 1848, dengan kekuatan 2.265 orang. Serangan pertama ditujukan ke Desa Sangsit dan Desa Bunkulan di bawah pimpinan Mayor Jenderal Van der Wijck. Serangan kedua ditujukan langsung ke Benteng Jagaraga, 8 Juni 1848.
Namun, serangan tersebut gagal karena Belanda belum mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat pertahanan supit urang Laskar Jagaraga. Belanda pun mundur sampai ke Pantai Sangsit dan minta tambahan serdadu dari Batavia.
Pada 15 April 1849, pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Michiels mendarat lagi di Pantai Sangsit, dengan kekuatan 15.235 orang, terdiri atas pasukan infantri, kavaleri, artileri, zeni, dan kesehatan. Di samping itu, terdapat 29 kapal laut. Pantai Buleleng dan Sangsit benar-benar telah terkepung.
Jiendaral Michiels akhirnya mengetahui siasat pertahanan supit urang dari mata-mata yang dikirimnya ke Benteng Jagaraga. Setelah mengatur persiapan, mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga dari dua arah, yaitu depan dan belakang. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Namun, tidak ada seorang pun Laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur, lalu Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda pada 19 April 1849. Sejak saat itulah Belanda berhasil kuasai Bali Utara. * k19
Pembangunan monumen bernilai Rp 15 miliar ini ditandai dengan peletakan batu pertama yang dulakukan Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, Senin (1/8) pagi.
Acara peletakan batu pertama pembangunan monumen Puputan Jagaraga kemarin pagi Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna, Ketua Komisi II DPRD Buleleng Putu Mangku Budiasa, Forum SKPD, para tokoh adat, tokoh masyarakat, dan warga Desa Jagaraga. Monumen Puputan Jagaraga ini dibangun di atas lahan seluas 55,5 are, yang lokasinya tidak jauh dari areal Pura Dalem Segara Madu, Desa Pakraman Jagaraga.
Total anggaran yang disiapkan untuk pembangunan monumen bersejarah ini mencapai Rp 15 miliar, bersumber dari APBD Buleleng 2016. Proyek Monumen Puputan Jagaraga dikerjakan PT Tunas Jaya Sanur (Denpasar Selatan) dengan masa kontrak selama 180 hari. Pembangunan ditarget sudah rampung per 26 Desember 2016 mendatang.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, I Gede Komang, menyebut Monumen Puputan Jagaraga akan berisikan patung dua tokoh pejuang Puputan Jagaraga, yakni I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring. Kedua tokoh dari trah Sameton Arya Pangalasan ini pegang peran penting dalam Perang Puputan Jagaraga melawan Belanda tahun 1849. Patung tersebut menjulang seti-nggi 15 meter menghadap ke utara.
“Nanti juga ada diorama yang menggambarkan kisah peperangan (melawan penjajah Belanda, Red) dari I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring. Di areal monumen nantinya ada taman, wantilan, dan tempat parkir yang luas,” jelas Gede Komang, Senin kemarin.
Menurut Gede Komang, patung dua tokoh pejuang heroik I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring kini tinggal pembuatan wajahnya. Sedangkan badan dan patungnya sudah ada. Pembuatan wajah harus dipadukan dengan beberapa dokumen yang ada. “Dari beberapa dokumen, kita sudah dapatkan bentuk wajahnya, tapi kita perlu koordinasi lagi ke Pak Gubernur. Katanya, Pak Gubernur juga punya dokumen berupa foto dari I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring,” tandas Gede Komang.
Sementara, warga Desa Jagaraga sangat bersyukur pembangunan Monumen Puputan Jagaraga akhirnya dimulai. Bagi warga Desa Jagaraga, pembangunan monumen ini sangatlah berarti. Sebab, hal ini telah diperjuangkan selama 30 tahun. Keberadaan Monumen Puputan Jagaraga nanti tentunya akan menggerakkan perekonomian masyarakat setempat.
“Bagi kami, monumen ini akan menggerakkan ekonomi masyarakat, paling tidak dari sisi kunjungan. Ini sudah cukup lama kami perjuangkan, kurang lebih 30 tahun. Kami sangat berterimakasih kepada Pemkab Buleleng dan Pemprov Bali yang sudah bisa mewujudkan usulan kami,” ungkap Kelian Desa Pakraman Jagaraga, Nyoman Parta, di sela acara peletakan batu pertama pembangunan Monumen Puputan Jagaraga, Senin kemarin.
Sementara itu, Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana minta agar masing-masing sekolah tingkat SMP dan SMA/SMK nantinya membuat jadwal kunjungan ke Monumen Puputan Jagaraga. Menurut Agus Suradnyana, di Buleleng nantinya akan ada tiga monumen perjuangan dan satu Taman Makam Pahlawan.
Dua monumen perjuangan yang sudah ada sebelumnya masing-masing Monumen Tri Yudha Sakti di Desa Sangket (Kecamatan Sukasada) dan Monumen Bhuana Kerta di Desa Panji (Kecamatan Sukasada). Kini, dibangun lagi Monumen Puputan Jagaraga di Desa Jagaraga (Kecamatan Sawan).
Agus Suradnyana menegaskan, dengan kunjungan dari masing-masing sekolah ke monumen perjuangan, otomatis akan memberikan edukasi bagi para siswa dan menumbuhkan rasa perjuangan terhadap tanah airnya. “Kalau Monumen Puputan Jagaraga rampung, anak-anak sekolah bisa diajak mengunjunginya. Saya minta Dinas Pendidikan mengatur agar masing-masing sekolah menjadwalkan kunjungannya. Ini akan memberikan spirit bagi generasi mendatang, agar mereka tahu perjuangan yang ada,” tandas Bupati asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng yang juga Ketua DPC PDIP Buleleng ini.
Berdasarkan catatan yang dirangkum dari berbagai sumber, perang Puputan Jagaraga sendiri berawal dari kandasnya kapal Belanda di perairan Buleleng tahun 1844. Kerajaan Buleleng kala itu memberlakukan adat Hak Tawan Karang, yang intinya menawan setiap kapal asing yang kandas di perairannya. Kapal dan harta bendanya pun dirampas, sedangkan anak buah kapalnya dijadikan budak karena dianggap sebagai miliknya.
Belanda menuntut Raja Buleleng (waktu itu) I Gusti Ngurah Made Karangasem untuk mengembalikan kapal dan segala isinya. Tuntutan itu ditolak oleh raja dan Patih I Gusti Ketut Jelantik. Maka, pada 1846 Belanda mengirimkan pasukannya untuk menyerang Buleleng.
Untuk menghadapi tentara Belanda, Buleleng dibantu Kerajaan Karangasem. Namun, kedua kerajaan ini kemudian dipaksa menandatangani suatu perjanjian. Isi perjanjian tersebut adalah pengakuan Kerajaan Buleleng dan Karangasem terhadap kekuasaan Belanda di Batavia. Belanda berhak memonopoli dagang, sementara Hak Tawan Karang dihapuskan.
Dengan perjanjian itu, Belanda mengira Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem telah dikuasai, sehingga tentaranya ditarik ke Batavia. Raja-raja di Bali tak pernah tunduk kepada Belanda. Lalu, dihimpunlah kekuatan dari Kerajaan Buleleng, Kerajaan Karangasem, dan Kerajaan Klungkung untuk menghadapi tentara Belanda.
Desa Jagaraga (kawasan Buleleng Timur) dijadikan pertahanan utama (benteng) pasukan Bali. Secara geografis, Desa Jagaraga memang berada pada tempat ketinggian, di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya. Desa Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk supit urang atau menyerupai jepitan udang. Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu untuk menghambat gerakan musuh.
Benteng Jagaraga ini dipertahankan oleh 15.000 orang, dengan 2.000 orang bersenjata senapan api dan sisanya bersenjatakan tombak. Tahun 1848, Belanda mengirim pasukannya ke Bali untuk menghancurkan perlawanan di Benteng Jagaraga. Namun, Belanda tidak mampu menghadapi perlawanan rakyat Bali di bawah pimpinan Patih I Gusti Ketut Jelantik.
Awalnya, kapal perang Belanda tiba di Pantai Sangsit (Desa sangsit, Kecamatan sawan, Buleleng) pada 7 Maret 1848, dengan kekuatan 2.265 orang. Serangan pertama ditujukan ke Desa Sangsit dan Desa Bunkulan di bawah pimpinan Mayor Jenderal Van der Wijck. Serangan kedua ditujukan langsung ke Benteng Jagaraga, 8 Juni 1848.
Namun, serangan tersebut gagal karena Belanda belum mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat pertahanan supit urang Laskar Jagaraga. Belanda pun mundur sampai ke Pantai Sangsit dan minta tambahan serdadu dari Batavia.
Pada 15 April 1849, pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Michiels mendarat lagi di Pantai Sangsit, dengan kekuatan 15.235 orang, terdiri atas pasukan infantri, kavaleri, artileri, zeni, dan kesehatan. Di samping itu, terdapat 29 kapal laut. Pantai Buleleng dan Sangsit benar-benar telah terkepung.
Jiendaral Michiels akhirnya mengetahui siasat pertahanan supit urang dari mata-mata yang dikirimnya ke Benteng Jagaraga. Setelah mengatur persiapan, mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga dari dua arah, yaitu depan dan belakang. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Namun, tidak ada seorang pun Laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur, lalu Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda pada 19 April 1849. Sejak saat itulah Belanda berhasil kuasai Bali Utara. * k19
Komentar