Tanpa Gelungan Sakral, Joged Pingitan Tampil di Mahalango
Jika biasanya tari joged dikenal sebagai tari pergaulan, namun tidak demikian dengan joged yang satu ini.
DENPASAR, NusaBali
Kesenian Joged Pingitan Dharma Kusuma dari Banjar Pakuwudan, Desa Sukawati, Gianyar, ini berbeda karena tak ada satu pun yang mengibing. Kesenian ini ditampilkan dalam rangka mengisi Bali Mandara Mahalango III di Kalangan Ayodya Taman Budaya Bali, Senin (1/8) malam.
Joged Pingitan ini sejatinya merupakan tari sakral. Karena sakral, semestinya mengenakan gelungan (hiasan kepala) khusus yang disakralkan lantaran menyungsung Ida Dedari. Namun saat tampil kemarin gelungan tersebut tidak dipakai. Sebaliknya, sang penari hanya mengenakan gelungan duplikat. Koordinator sekaa Ketut Gede Suaryadala mengatakan, gelungan asli Joged Pingitan ini biasanya hanya dipergunakan saat upacara agama di Pura Banjar di banjar setempat.
“Biasanya saat penyineban upacara yang digelar setiap 21 hari sebelum Hari Raya Galungan. Jadi seharusnya pakai gelungan yang disakralkan, tapi malam ini (kemarin) kami pakai duplikat gelungannya saja,” katanya. Selain memiliki gelungan khusus, Tari Joged Pingitan juga sangat unik. Sebenarnya, Joged Pingitan ditampilkan tanpa pengibing. Saat pentas Senin malam lalu pun, Joged Pingitan ini tidak ada pengibingnya. Meski demikian, penonton juga tetap antusias menyaksikan joged ini.
Meski tak ada pengibing, namun jika ada yang berminat mengibing, harus menari dengan sopan. Khusus jika ingin mengibing, para pengibing justru dituntut menandingi kemampuan dan kepiawaian sang penari. “Boleh ada pengibing, tapi harus adu kepiawaian menari. Penonton yang nantinya jadi juri siapa yang lebih bagus, apakah penari atau pengibingnya. Tidak ada istilah saling colek antara penari dan pengibing. Semua harus sopan,” beber Suaryadala.
Tari Joged Pingitan di Desa Sukawati sebenarnya memiliki sejarah panjang. Bahkan perjalanannya sudah sejak abad ke-19 Masehi. Di masa-masa itu, pementasan tari sakral sangat dinantikan oleh masyarakat. Ketika pementasan Calonarang, tiba-tiba penari rebah menyentuh tanah. Di saat seluruh penonton ketakutan, seorang tokoh bernama I Wayan Dana justru memerintahkan agar bunga-bunga pada gelungan para penari dicabut. Jika setelah disimbuh (disemprot) dengan bunga para penari sembuh, maka sekaa joged akan disucikan.
Sebaliknya, jika mereka meninggal, maka sekaa akan dibubarkan. Ajaibnya, para penari justru sembuh dan sejak itu Sekaa Joged Pingitan ini kian dikenal. Kemudian di tahun 1973, Sekaa Joged Banjar Pakuwudan memperoleh pembinaan dari Listibiya Provinsi Bali. Selain mementaskan tari sakral Joged Pingitan, panggung juga dilengkapi dengan Sanggah Cucuk dan gedang renteng, layaknya sarana-sarana dalam pementasan Calonarang.
Pengamat seni Prof Made Bandem, menambahkan, Joged Pingitan ini termasuk banyak di Bali, namun namanya terkadang berbeda. Ada menyebutnya gandrung, ada juga joged pingitan. “Tabuh yang mengiringi joged pingitan ini juga berbeda dengan joged bumbung, yang biasanya diiringi tabuh grantangan. Iringin tabuh joged pingitan adalah rindik. Repertoirnya palegongan,” jelasnya. * i
Kesenian Joged Pingitan Dharma Kusuma dari Banjar Pakuwudan, Desa Sukawati, Gianyar, ini berbeda karena tak ada satu pun yang mengibing. Kesenian ini ditampilkan dalam rangka mengisi Bali Mandara Mahalango III di Kalangan Ayodya Taman Budaya Bali, Senin (1/8) malam.
Joged Pingitan ini sejatinya merupakan tari sakral. Karena sakral, semestinya mengenakan gelungan (hiasan kepala) khusus yang disakralkan lantaran menyungsung Ida Dedari. Namun saat tampil kemarin gelungan tersebut tidak dipakai. Sebaliknya, sang penari hanya mengenakan gelungan duplikat. Koordinator sekaa Ketut Gede Suaryadala mengatakan, gelungan asli Joged Pingitan ini biasanya hanya dipergunakan saat upacara agama di Pura Banjar di banjar setempat.
“Biasanya saat penyineban upacara yang digelar setiap 21 hari sebelum Hari Raya Galungan. Jadi seharusnya pakai gelungan yang disakralkan, tapi malam ini (kemarin) kami pakai duplikat gelungannya saja,” katanya. Selain memiliki gelungan khusus, Tari Joged Pingitan juga sangat unik. Sebenarnya, Joged Pingitan ditampilkan tanpa pengibing. Saat pentas Senin malam lalu pun, Joged Pingitan ini tidak ada pengibingnya. Meski demikian, penonton juga tetap antusias menyaksikan joged ini.
Meski tak ada pengibing, namun jika ada yang berminat mengibing, harus menari dengan sopan. Khusus jika ingin mengibing, para pengibing justru dituntut menandingi kemampuan dan kepiawaian sang penari. “Boleh ada pengibing, tapi harus adu kepiawaian menari. Penonton yang nantinya jadi juri siapa yang lebih bagus, apakah penari atau pengibingnya. Tidak ada istilah saling colek antara penari dan pengibing. Semua harus sopan,” beber Suaryadala.
Tari Joged Pingitan di Desa Sukawati sebenarnya memiliki sejarah panjang. Bahkan perjalanannya sudah sejak abad ke-19 Masehi. Di masa-masa itu, pementasan tari sakral sangat dinantikan oleh masyarakat. Ketika pementasan Calonarang, tiba-tiba penari rebah menyentuh tanah. Di saat seluruh penonton ketakutan, seorang tokoh bernama I Wayan Dana justru memerintahkan agar bunga-bunga pada gelungan para penari dicabut. Jika setelah disimbuh (disemprot) dengan bunga para penari sembuh, maka sekaa joged akan disucikan.
Sebaliknya, jika mereka meninggal, maka sekaa akan dibubarkan. Ajaibnya, para penari justru sembuh dan sejak itu Sekaa Joged Pingitan ini kian dikenal. Kemudian di tahun 1973, Sekaa Joged Banjar Pakuwudan memperoleh pembinaan dari Listibiya Provinsi Bali. Selain mementaskan tari sakral Joged Pingitan, panggung juga dilengkapi dengan Sanggah Cucuk dan gedang renteng, layaknya sarana-sarana dalam pementasan Calonarang.
Pengamat seni Prof Made Bandem, menambahkan, Joged Pingitan ini termasuk banyak di Bali, namun namanya terkadang berbeda. Ada menyebutnya gandrung, ada juga joged pingitan. “Tabuh yang mengiringi joged pingitan ini juga berbeda dengan joged bumbung, yang biasanya diiringi tabuh grantangan. Iringin tabuh joged pingitan adalah rindik. Repertoirnya palegongan,” jelasnya. * i
1
Komentar