Politik Identitas, Goresan Lukanya Masih Membekas hingga Kini
PROYEKSI 2020 Bidang POLITIK
Fenomena kemerosotan demokrasi global terjadi akibat menguatnya politik identitas dan nasionalisme sempit dalam demokrasi liberal modern. Politik identitas juga sebagai ancaman terhadap demokrasi dan martabat manusia (Francis Fukuyama, 2018 dalam buku Identity: Contemporary Identity Politics and the Struggle for Recognition).
RIUH dan gaduh politik di awal 2019, bahkan terjadi sejak tahun sebelumnya, berakhir cukup manis. Agenda besar negeri ini telah berlalu, yakni Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) yang digelar, 17 April 2019. Suhu politik sudah mereda. Di tataran elite politik, dua ikon Pilpres 2014 dan 2019, yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, kini sudah bersatu dalam satu wadah Kabinet Indonesia Maju (KIM) pimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Namun, harus diakui dan dirasakan bersama, drama politik Pilpres 2019 telah menguras begitu banyak energi dan emosi. Tensi tinggi politik yang sudah berlangsung sejak 2017 itu seperti menggoreskan luka yang dalam. Sangat perih dan terlihat jelas bekas-bekas lukanya. Bahkan, luka itu bisa kambuh dan membesar kapan saja. Sebagian orang juga menyebut jika ‘luka’ pasca Pilpres 2019 belumlah sembuh benar, perihnya masih terasa hingga kini.
Masyarakat seperti terbelah alias terpolarisasi dalam aksi dukung mendukung. Luka anak bangsa ini makin perih, sebab aksi dukung mendukung tak hanya berlatarbelakang fanatisme figur, tapi sudah meluas menjadi fanatisme ideologi. Tak salah kemudian, walau Prabowo dan Gerindra akhirnya masuk dalam barisan koalisi pemerintah, riak-riak ketidakpuasan atas keterpilihan Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019 masih kerap terdengar.
Penggunaan politik identitas dalam aksi dukung mendukung Pilpres inilah yang membuat luka itu sulit disembuhkan secara permanen. Seolah menunggu momentum, luka itu akan gampang tergores kembali kapan saja, bahkan bisa saja saat pemerintahan hasil Pilpres 2019 ini belum berakhir masa jabatannya.
Masih terngiang dalam ingatan, menguatnya politik identitas berlatar sentimen keyakinan ini berawal dari Pilgub DKI Jakarta 2017. Sang Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama (BTP) sebagai Cagub incumbent kala itu yang di awal memiliki tingkat elektabilitas (keterpilihan) tanpa tanding, harus menelan pil pahit kekalahan. Masifnya serangan sentimen agama yang dipicu salah ucap Ahok pada sebuah acara, sukses membuatnya tumbang.
Gerakan sosial politik secara massal melibatkan jutaan orang digalang berjilid-jilid, tanpa henti hingga target akhir tercapai. Sukses menciptakan turbulensi politik di Pilgub DKI 2017 inilah yang ingin dibawa kelompok-kelompok tertentu ke Pilpres 2019. Serangan terhadap Capres Jokowi dengan cap terlalu ‘Kiri’, dekat dengan ‘Asing-Aseng’, menindas kaum agamawan tertentu dan lainnya, begitu gencar dilancarkan. Bahkan, ada yang memaksa mengaitkan Capres Jokowi dengan Ahok, yang pernah menjadi tandemnya saat memimpin Provinsi DKI Jakarta (2012-2014).
Serangan bertubi-tubi tentu saja membuahkan aksi berbalas. Berbagai serangan balasan pun digencarkan, mulai tudingan anti Pancasila, anti NKRI, hingga tudingan lainnya kepada kelompok-kelompok tertentu yang berada di kubu berbeda. Aksi saling serang ini makin menjadi-jadi dan kian masif saat mendekati hari H Pilpres, 17 April 2019. Hingga akhirnya episode Pilpres 2019 berakhir dengan terpilihnya kembali Jokowi sebagai Presiden RI 2019-2024.
Tapi, meredakan suhu politik pasca Pilpres 2019 ternyata tak mudah. Berbagai kepentingan, baik yang sebelumnya berseberangan maupun yang berada di satu kubu, harus diakomodir secara proporsional. Salah mengakomodir, teman bisa seketika berubah menjadi lawan. Gejala ‘teman menjadi lawan’ ini pun sudah mulai terasa saat baru saja Presiden Jokowi tuntas mengumumkan komposisi Kabinet periode 2019-2024.
Isu politik identitas pada dasarnya dapat digunakan dalam berdemokrasi, sepanjang dalam koridor yang wajar dengan tetap mengedepankan nilai-nilai persatuan, mengingat identitas merupakan realita sosial dari mana seseorang berasal. Namun sebaliknya, bila politik identitas justru digunakan secara berlebihan dan identitas ini dimanipulasi untuk target-target politik serta membenturkan dengan identitas pihak lain, tentunya akan menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat. Polarisasi ini pada akhirnya menumbuhkan perasaan eksklusif antara kelompok satu dengan lainnya berdasarkan etnis atau kepercayaan tertentu.
Kini, politik identitas banyak digunakan oleh para politisi untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang mengarah pada SARA, khususnya isu agama dan etnisitas. Fenomena ini meluas karena praktek politik yang dilakukan dinilai efektif dalam memberi ruang untuk membangkitkan jatidiri kelompok tertentu guna mendapatkan dukungan secara emosional.
Kini, di pengujung tahun 2019, sejak Presiden-Wakil Presiden dan para wakil rakyat di semua tingkatan resmi dilantik, riuh politik sedikit mereda. Namun, bukan berarti tanpa kegaduhan. Banyak hal yang bisa memicu letupan-letupan pembangkit gaduh. Termasuk saat Pilkada serentak, 23 September 2020 mendatang. Penggunaan politik identitas secara berlebihan bisa mengancam kondusifitas kehidupan bermasyarakat di tingkat lokal.
Jika berkaca pada definisi politik identitas sebagai politik yang dasar utama kajiannya dilakukan untuk merangkul kesamaan atas dasar persamaan-persamaan tertentu, baik persamaan agama, etnis, maupun persamaan dalam jenis kelamin (Abdillah, 2002), maka narasi politik identitas juga menjadi ancaman nyata di level Pilkada. Apalagi, jika melihat jumlah daerah yang menggelar Pilkada 2020 serentak sangat banyak, yakni 270 daerah se-Indonesia, termasuk 6 kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Contoh di Bali, adanya pengelompokan masyarakat berdasarkan garis keturunan tertentu atau yang dikenal dengan sebutan soroh (klan), juga bisa dimanfaatkan elite politik untuk mencapai targetnya. Jika kondisi ini tidak dikelola dan dilokalisir secara baik, bisa jadi akan mengancam harmoni masyarakat Bali saat bersentuhan dengan persaingan politik, seperti saat perhelatan Pilkada.
Untuk itu, para politisi seharusnya lebih berfokus kepada narasi politik sehat yang mempersatukan dan mendamaikan para pendukungnya dengan mengedepankan rasionalitas, bukan emosionalitas ataupun kepentingan kelompok agama, etnis, soroh, daerah dan lainnya dalam Pilkada Badung 2020, Pilkada Denpasar 2020, Pilkada Tabanan 2020, Pilkada Jembrana 2020, Pilkada Karangasem 2020, dan Pilkada Bangli 2020 mendatang.
Bahkan, elite-elite politik seharusnya lebih mengedepankan isu-isu yang membangun secara progresif dan substantif terhadap narasi-narasi politiknya. Di sisi lain, masyarakat juga harus mulai mampu berpikir rasional dan kritis, terutama dengan isu-isu politik dan agama yang cenderung dimanipulasi oleh elite-elite politik.
Preferensi politik masyarakat harus lebih didasarkan pada keberanian berpikir sesuai nalar rasionalnya di tengah cengkeraman elite-elite dan otoritas politik keagamaan, etnis, soroh, dan lainnya. Keberanian dalam berpikir rasional serta menjadi individu yang kritis, membuat terciptanya masyarakat yang terbuka serta toleran dalam menghadapi isu-isu sosial politik.
Goresan luka hati anak bangsa gara-gara persaingan Pilpres 2019, biarkanlah mengering dan sembuh tanpa bekas. Jangan sedikit-sedikit terkoyak hanya karena narasi-narasi politik yang berseliweran penuh manipulasi demi target para elitenya. *
I Ketut Suardana
Wartawan NusaBali
Namun, harus diakui dan dirasakan bersama, drama politik Pilpres 2019 telah menguras begitu banyak energi dan emosi. Tensi tinggi politik yang sudah berlangsung sejak 2017 itu seperti menggoreskan luka yang dalam. Sangat perih dan terlihat jelas bekas-bekas lukanya. Bahkan, luka itu bisa kambuh dan membesar kapan saja. Sebagian orang juga menyebut jika ‘luka’ pasca Pilpres 2019 belumlah sembuh benar, perihnya masih terasa hingga kini.
Masyarakat seperti terbelah alias terpolarisasi dalam aksi dukung mendukung. Luka anak bangsa ini makin perih, sebab aksi dukung mendukung tak hanya berlatarbelakang fanatisme figur, tapi sudah meluas menjadi fanatisme ideologi. Tak salah kemudian, walau Prabowo dan Gerindra akhirnya masuk dalam barisan koalisi pemerintah, riak-riak ketidakpuasan atas keterpilihan Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019 masih kerap terdengar.
Penggunaan politik identitas dalam aksi dukung mendukung Pilpres inilah yang membuat luka itu sulit disembuhkan secara permanen. Seolah menunggu momentum, luka itu akan gampang tergores kembali kapan saja, bahkan bisa saja saat pemerintahan hasil Pilpres 2019 ini belum berakhir masa jabatannya.
Masih terngiang dalam ingatan, menguatnya politik identitas berlatar sentimen keyakinan ini berawal dari Pilgub DKI Jakarta 2017. Sang Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama (BTP) sebagai Cagub incumbent kala itu yang di awal memiliki tingkat elektabilitas (keterpilihan) tanpa tanding, harus menelan pil pahit kekalahan. Masifnya serangan sentimen agama yang dipicu salah ucap Ahok pada sebuah acara, sukses membuatnya tumbang.
Gerakan sosial politik secara massal melibatkan jutaan orang digalang berjilid-jilid, tanpa henti hingga target akhir tercapai. Sukses menciptakan turbulensi politik di Pilgub DKI 2017 inilah yang ingin dibawa kelompok-kelompok tertentu ke Pilpres 2019. Serangan terhadap Capres Jokowi dengan cap terlalu ‘Kiri’, dekat dengan ‘Asing-Aseng’, menindas kaum agamawan tertentu dan lainnya, begitu gencar dilancarkan. Bahkan, ada yang memaksa mengaitkan Capres Jokowi dengan Ahok, yang pernah menjadi tandemnya saat memimpin Provinsi DKI Jakarta (2012-2014).
Serangan bertubi-tubi tentu saja membuahkan aksi berbalas. Berbagai serangan balasan pun digencarkan, mulai tudingan anti Pancasila, anti NKRI, hingga tudingan lainnya kepada kelompok-kelompok tertentu yang berada di kubu berbeda. Aksi saling serang ini makin menjadi-jadi dan kian masif saat mendekati hari H Pilpres, 17 April 2019. Hingga akhirnya episode Pilpres 2019 berakhir dengan terpilihnya kembali Jokowi sebagai Presiden RI 2019-2024.
Tapi, meredakan suhu politik pasca Pilpres 2019 ternyata tak mudah. Berbagai kepentingan, baik yang sebelumnya berseberangan maupun yang berada di satu kubu, harus diakomodir secara proporsional. Salah mengakomodir, teman bisa seketika berubah menjadi lawan. Gejala ‘teman menjadi lawan’ ini pun sudah mulai terasa saat baru saja Presiden Jokowi tuntas mengumumkan komposisi Kabinet periode 2019-2024.
Isu politik identitas pada dasarnya dapat digunakan dalam berdemokrasi, sepanjang dalam koridor yang wajar dengan tetap mengedepankan nilai-nilai persatuan, mengingat identitas merupakan realita sosial dari mana seseorang berasal. Namun sebaliknya, bila politik identitas justru digunakan secara berlebihan dan identitas ini dimanipulasi untuk target-target politik serta membenturkan dengan identitas pihak lain, tentunya akan menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat. Polarisasi ini pada akhirnya menumbuhkan perasaan eksklusif antara kelompok satu dengan lainnya berdasarkan etnis atau kepercayaan tertentu.
Kini, politik identitas banyak digunakan oleh para politisi untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang mengarah pada SARA, khususnya isu agama dan etnisitas. Fenomena ini meluas karena praktek politik yang dilakukan dinilai efektif dalam memberi ruang untuk membangkitkan jatidiri kelompok tertentu guna mendapatkan dukungan secara emosional.
Kini, di pengujung tahun 2019, sejak Presiden-Wakil Presiden dan para wakil rakyat di semua tingkatan resmi dilantik, riuh politik sedikit mereda. Namun, bukan berarti tanpa kegaduhan. Banyak hal yang bisa memicu letupan-letupan pembangkit gaduh. Termasuk saat Pilkada serentak, 23 September 2020 mendatang. Penggunaan politik identitas secara berlebihan bisa mengancam kondusifitas kehidupan bermasyarakat di tingkat lokal.
Jika berkaca pada definisi politik identitas sebagai politik yang dasar utama kajiannya dilakukan untuk merangkul kesamaan atas dasar persamaan-persamaan tertentu, baik persamaan agama, etnis, maupun persamaan dalam jenis kelamin (Abdillah, 2002), maka narasi politik identitas juga menjadi ancaman nyata di level Pilkada. Apalagi, jika melihat jumlah daerah yang menggelar Pilkada 2020 serentak sangat banyak, yakni 270 daerah se-Indonesia, termasuk 6 kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Contoh di Bali, adanya pengelompokan masyarakat berdasarkan garis keturunan tertentu atau yang dikenal dengan sebutan soroh (klan), juga bisa dimanfaatkan elite politik untuk mencapai targetnya. Jika kondisi ini tidak dikelola dan dilokalisir secara baik, bisa jadi akan mengancam harmoni masyarakat Bali saat bersentuhan dengan persaingan politik, seperti saat perhelatan Pilkada.
Untuk itu, para politisi seharusnya lebih berfokus kepada narasi politik sehat yang mempersatukan dan mendamaikan para pendukungnya dengan mengedepankan rasionalitas, bukan emosionalitas ataupun kepentingan kelompok agama, etnis, soroh, daerah dan lainnya dalam Pilkada Badung 2020, Pilkada Denpasar 2020, Pilkada Tabanan 2020, Pilkada Jembrana 2020, Pilkada Karangasem 2020, dan Pilkada Bangli 2020 mendatang.
Bahkan, elite-elite politik seharusnya lebih mengedepankan isu-isu yang membangun secara progresif dan substantif terhadap narasi-narasi politiknya. Di sisi lain, masyarakat juga harus mulai mampu berpikir rasional dan kritis, terutama dengan isu-isu politik dan agama yang cenderung dimanipulasi oleh elite-elite politik.
Preferensi politik masyarakat harus lebih didasarkan pada keberanian berpikir sesuai nalar rasionalnya di tengah cengkeraman elite-elite dan otoritas politik keagamaan, etnis, soroh, dan lainnya. Keberanian dalam berpikir rasional serta menjadi individu yang kritis, membuat terciptanya masyarakat yang terbuka serta toleran dalam menghadapi isu-isu sosial politik.
Goresan luka hati anak bangsa gara-gara persaingan Pilpres 2019, biarkanlah mengering dan sembuh tanpa bekas. Jangan sedikit-sedikit terkoyak hanya karena narasi-narasi politik yang berseliweran penuh manipulasi demi target para elitenya. *
I Ketut Suardana
Wartawan NusaBali
Komentar