Lima Jenis Upacara Atma Wedana, Apa Bedanya?
Perbedaan lima jenis upacara Atma Wedana mempengaruhi jenis banten yang digunakan dan lamanya waktu pelaksanaan.
DENPASAR, NusaBali.com
Upacara Atma Wedana yang merupakan rangkaian upacara Pitra Yadnya yang dilakukan setelah rangkaian upacara ngaben ini memiliki lima jenis upacara dengan tingkat kompleksitasnya tersendiri. Kelima jenis upacara tersebut ialah ngangsen yang merupakan jenis upacara paling sederhana, nyekah, mamukur, maligia, dan yang paling kompleks dan jarang dilakukan, yakni ngeluwer. Adapun mamukur dan maligia merupakan dua jenis upacara Atma Wedana yang umum dilaksanakan. Tingkat kompleksitas ini, nantinya akan mempengaruhi jenis banten yang digunakan dan lamanya waktu pelaksanaan.
Perbedaan mendasar dari kelima jenis Atma Wedana ini dapat dilihat dari tempat pelaksanaannya. Ngangsen, misalnya, dilaksanakan di dalam halaman rumah. Lalu upacara jenis nyekah dan mamukur, dilaksanakan di bagian lebuh (halaman depan) rumah. Kemudian, untuk maligia, pada umumnya dicarikan tempat atau halaman kosong di dekat Pura Kahyangan Desa. Yang terakhir, yakni ngeluwer, juga dilaksanakan di halaman kosong yang lokasinya dekat dengan Pura Kahyangan Jagad.
Kemudian, dari segi banten yang digunakan, upacara jenis ngangsen menggunakan tatanan banten yang lebih sederhana daripada keempat jenis upacara Atma Wedana lainnya, dengan ngeluwer yang menggunakan banten paling kompleks. Namun rupanya, yang membuat upacara ngeluwer menjadi jenis yang paling jarang ditemui bukanlah karena banten yang digunakan, melainkan karena syarat yang harus dipenuhi oleh keluarga yang melaksanakan upacara ini.
“Kalau ngeluwer itu, apapun yang diminta oleh masyarakat, itu harus diberikan. Dengan sarana bebantenan dan juga menggunakan kerbau yang lebih banyak dari upacara lainnya, perminataan masyarakat itu juga harus dipenuhi oleh yang membuat acara ngeluwer ini. Kalau misalkan ada yang minta rumah, kan tidak boleh ditolak,” ujar Dr Ida Bagus Subrahmaniam Saitya SH SAg MFilH dosen pengajar agama Hindu di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Maligia, di satu sisi, merupakan tingkatan upacara Atma Wedana yang sedikit lebih sederhana dibandingkan ngeluwer, namun masih lebih kompleks dibanding mamukur, dan merupakan salah satu jenis yang paling sering dijumpai. Maligia masih memerlukan kerbau dalam rangkaian ritual Purwa Daksina, yakni melewati kulit kerbau yang melambangkan penyucian atma yang menjadi inti dari upacara atma wedana.
Jenis upacara lainnya yang lazim ditemui, yakni mamukur. Sekilas, mamukur dan maligia hamper sama, yang membedakan adalah lokasi pelaksanaan mamukur yang dilakukan di lebuh rumah alih-alih mengambil tempat di dekat areal Pura Kahyangan Desa. Selain itu, upacara mamukur tidak menggunakan kerbau sebagaimana dalam maligia, namun terdapat rangkaian ritual ngangget don bingin yang nantinya digunakan sebagai simbolis badan dari atma itu sendiri.
Dengan adanya kelima jenis upacara atma wedana ini, maka keluarga atau masyarakat yang menyelenggarakan atma wedana tidak dituntut harus melaksanakan upacara ini secara besar-besaran. Masyarakat boleh memilih sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Selain itu, jenis upacara yang dilaksanakan oleh setiap keluarga juga menilik kembali pada tradisi masing-masing keluarga tersebut.
“Di Bali itu kan masih terikat dengan sebuah tradisi, dengan adat dan budayanya itu. Pada umumnya, kalau di kalangan puri atau griya itu langsung ke maligia, tidak melalui mamukur. Karena kan ibaratnya puri dan griya itu sudah mapan, sehingga mampu untuk melaksanakan maligia. Dan pada umumnya, di puri atau griya itu, melaksanakan maligia bukan hanya untuk sendiri saja, tapi secara masal,” lanjut Ida Bagus Subrahmaniam Saitya.
Adanya jenis upacara yadnya masal seperti maligia yang disebutkan oleh Ida Bagus Subrahmaniam Saitya ini, menimbulkan sebuah fenomena unik di masyarakat Hindu di Bali, yakni pelaksanaan atma wedana yang dilakukan lebih dari sekali. Jika dilihat dari rangkaian Pitra Yadnya, secara umum atma wedana sendiri masih akan dilanjutkan dengan upacara nyegara gunung (bagi sebagian keluarga) dan ngelinggihang atau memposisikan leluhur di rong tiga atau kemulan masing-masing keluarga.
Namun bagi sebagian keluarga, terdapat suatu keinginan untuk melaksanakan ritual yang lebih daripada yang telah dilaksanakan sebelumnya. Biasanya, hal ini diwujudkan dengan mengikuti maligia masal yang diadakan oleh griya atau desa adat setempat. “Biasanya bukan di mamukur masal, tapi di maligia masalnya yang dibuat oleh griya, atau masyarakat atau desa adat setempat. Sehingga sebenarnya yang sudah mamukur, lagi ikut maligia. Itu kembali lagi ke kepercayaan masyarakat itu sendiri, padahalkan sudah malinggih di Dewa Hyang,” ungkap Ida Bagus Subrahmaniam Saitya.*yl
Komentar