nusabali

MUTIARA WEDA: Skill dan Kualitas Yogi

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-skill-dan-kualitas-yogi

Indera sangat kuat dan sabar wahai putra Kunti. Mereka membawa pergi pikiran bahkan bagi seseorang dengan diskriminasi yang tinggi.

Yatato hyapi kaunteya purusasya vipascitah,
Indriyani pramārthini haranti prasabham manah.
(Bhagavad-gita,2:60)

SECARA prinsip, manusia dilahirkan guna mencapai tujuan tertingginya. Hindu menyebut tujuan tersebut sebagai moksa (realisasi diri, pembebasan tertinggi). Boleh dikatakan bahwa dharmanya orang hidup adalah untuk merealisasikan dirinya itu. Namun, oleh karena manusia lahir bersama dengan unsur prakerti yang didasari oleh sifat Triguna (sattva, rajas, tamas), yang merupakan kekuatan maya, membuat manusia lupa akan tujuannya yang tertinggi tersebut. Bahkan bagi mereka yang telah ingat dan berupaya untuk mencapai pembebasan pun, kekuatan maya ini terus-menerus merongrongnya. Teks di atas menyebutkan bahwa kekuatan maya itu sangat kuat dan sabar. Kapan pun dia lengah, segera kekuatan ini memasuki dan dia mesti berkali-kali mengulang untuk mengingat dan berupaya untuk mencapai pembebasan tersebut.

Dimana kekuatan maya itu hadir? Ia hadir dalam nafsu-nafsu dan bentuk manifestasi lainnya. Kekuatan ini juga memiliki tujuannya sendiri. Mereka yang masih mengidentifikasi dirinya sebagai tubuh dan bukan sebagai jiwa, dipastikan terjebak ke dalam pencapaian yang dikendalikan oleh nafsu-nafsunya. Tujuan yang dijanjikan pun sungguh memabukkan, yakni kekuasaan, kekayaan, dan pemenuhan birahi. Jadi, siapa pun mereka yang lahir, telah membawa bakat mayiya (yang bersumber dari kekuatan maya) untuk berkuasa, mengumpulkan kekayaan, dan keinginan untuk melampiaskan nafsu birahinya. Secara natural, ini laten ada pada diri semua manusia dengan bentuknya yang bervariasi. Inilah mengapa hampir sebagian besar kitab suci mengajarkan untuk mengendalikan, membatasi, dan mengatasi nafsu-nafsu inderawi. Sebab tujuan yang muncul dari keinginan-keinginan adalah jebakan yang membuat manusia tidak bisa lepas dari rantai samsara.

Oleh karena itu, jika dikontekskan dengan sebuah situasi yang terjadi dan pemimpin yang mesti bertanggung jawab terhadap situasi tersebut yang viral belakangan, Hindu mengajarkan untuk tidak terlalu banyak menuntut pemimpin agar satya wacana, apa yang dijanjikan di dalam kampanye mesti harus sesuai ketika telah berkuasa. Satya wacana itu sepenuhnya masalah kesadaran dan bukan janji. Biasanya kampanye itu persoalan janji. Apakah janji itu ditepati atau tidak, itu tergantung pada kualitas kesadarannya. Integritas, loyalitas, pengabdian, dan totalitas itu sepenuhnya masalah kesadaran. Oleh karena keinginan untuk berkuasa sangat kuat ada dalam diri yang didorong oleh kekuatan maya itu, maka untuk meraihnya kadang lebih sering menggunakan berbagai cara, apakah itu baik atau kurang baik. Dia yang dikuasai oleh ambisi untuk berkuasa biasanya tidak peduli apakah integritasnya digadaikan untuk itu atau tidak. Semakin cerdas orang itu, semakin efektif memanfaatkan peluang yang ada. Seperti misalnya, dulu ketika belum b
erkuasa, dia mengkampanyekan tentang kehidupan yang pluralis dan moderat. Tetapi, ketika dia mendapat kesempatan untuk berkuasa, dia bisa mendekati dan memanfaatkan orang-orang radikalis, yang sesungguhnya bertentangan dengan ideologi awal yang dijunjungnya itu, guna mengantarkan dirinya untuk mencapai tujuannya untuk berkuasa.

Oleh karena itu, menjadi pemimpin, apapun institusinya, kecerdasan pikiran tidaklah cukup. Sebab pikiran memiliki tendensi untuk menelikung, dan ini lebih sering terjadi kapan pun dan di mana pun, sehingga mereka yang dipimpinnya lebih sering merasakan kekecewaan. Oleh karena itu, seorang pemimpin di samping memiliki skill untuk memimpin, juga diperlukan kualitas seorang Yogi, yakni dia yang tidak terikat dengan keduniawian, dia yang menyadari betul kekuatan maya itu bisa menjebak kapan saja dan di mana saja. Maka dari itu, untuk melahirkan pemimpin, Hindu mementingkan pendidikan karakter sejak dini, membimbing mereka agar berkembang kesadarannya, dan memahami secara benar apa yang menjadi swadharmanya. Tapa dan pendidikan budaya adalah cara terbaik dalam membentuk karakter. Meditasi dilakukan untuk mengembangkan kesadarannya, dan memberikan kebebasan untuk berekspresi dan berinovasi adalah cara terbaik untuk memahami swadharmanya.

Sehingga dengan demikian, pendidikan yang mengarah langsung kepada skill itu sangat tepat, biar tidak banyak buang waktu dan tenaga untuk mempelajari sesuatu yang bukan bakatnya. Mengenali bakat menjadi lebih penting di awal sehingga swadharma bisa dikerjakan secara efektif. Agar skill tersebut terarah dengan baik, kualitas karakter dan kesadaran mereka sangat menentukan. Jika tidak, pikirannya sendiri siap menelikungnya dan swadharma tidak bisa dilaksanakan dengan baik. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

Komentar