Lontar Bali-Lombok Dipamerkan di Sanur
Anggapan lontar tidak boleh dibuka oleh sembarang orang, nyatanya tidak demikian. Tidak semua lontar harus dianggap sakral, justru sejumlah lontar bisa ditampilkan dan dipelajari oleh siapa saja.
DENPASAR, NusaBali
Kali ini, Hanacaraka Society membuktikan hal tersebut dengan menggelar pameran lontar Bali-Lombok di Hatten Wine Building, Sanur, Kamis (4/7).
Sebanyak 27 lontar yang dipamerkan memuat berbagai ajaran filsafat, kisah epos besar seperti Ramayana dan Mahabrata, wariga (perbintangan), tetamban (pengobatan tradisional Bali) dan ajaran spiritual. Beberapa diantaranya dicantumkan tahun lontar tersebut, diperkirakan ada sekitar tahun 1800-an masehi. Sedangkan beberapa lainnya bahkan tidak ditemukan tahunnya seperti lontar ‘pipil’ yang berisi naskah atau dokumen sertifikat kepemilikan tanah.
Selain itu, ada juga lontar yang didapatkan dari Lombok. Menariknya, lontar berjudul ‘Naskah Tasawuf’ dan ‘Kidung Nabi Haparas’ tersebut menyebutkan ajaran-ajaran Islam di daerah tersebut, dengan menggunakan tulisan jajawen, hampir sama dengan aksara Bali. “Kalau kita bisa bilang itu buku di zaman lampau. Jadi kembali kita perkenalkan kepada pemuda bahwa ini adalah buku, yang pada zaman dahulu memang tidak ada buku seperti sekarang. Ini hanya media, hanya beda isinya,” ujar founder Hanacaraka Society, Sugi Lanus, di sela acara.
Sugi Lanus mempunyai pemikiran bahwa sangat perlu membuka akses kepada pemuda dan masyarakat umum agar bisa memahami bahwa lontar merupakan ‘duwe tengah’ atau milik bersama untuk diselamatkan. “Sebenarnya ini kita coba membuka diri dengan koleksi pribadi kami yang memang isinya tembang-tembang, naskah-naskah yang biasa kita kembangkan. Kami ingin memfasilitasi orang-orang agar melihat tradisinya kembali,” katanya.
Sugi menjelaskan, memang ada beberapa lontar yang isinya tidak bisa dibaca oleh publik seperti doa-doa untuk mengobati, membersihkan pekarangan, dan beberapa mantra lainnya. Namun, pemikiran bahwa semua lontar disakralkan tidak sepenuhnya benar. Buktinya pihaknya banyak menampilkan lontar-lontar yang bisa diselamatkan dan kemudian disalin ulang. “Kalau yang itu (yang disakralkan) bagi orang yang sudah siap mental spiritual yang mengucapkan mantranya. Kalau orang biasa boleh mempelajari namun tidak dianjurkan untuk mengucapkan,” imbuhnya.
Sementara Manager Hatten Wines Building, Ida Bagus Rai Budarsa, mengaku kaget dengan animo masyarakat utamanya pemuda yang datang mengikuti perjalanan pameran ini. “Surprise banyak yang datang banyak ternyata. Saya pikir komunitas atau orang yang paham akan ini sangat jarang. Kegiatan seperti ini menjadikan lontar punya akses kepada generasi muda untuk diketahui dan terbuka untuk bisa dipelajari,” katanya.* i
Kali ini, Hanacaraka Society membuktikan hal tersebut dengan menggelar pameran lontar Bali-Lombok di Hatten Wine Building, Sanur, Kamis (4/7).
Sebanyak 27 lontar yang dipamerkan memuat berbagai ajaran filsafat, kisah epos besar seperti Ramayana dan Mahabrata, wariga (perbintangan), tetamban (pengobatan tradisional Bali) dan ajaran spiritual. Beberapa diantaranya dicantumkan tahun lontar tersebut, diperkirakan ada sekitar tahun 1800-an masehi. Sedangkan beberapa lainnya bahkan tidak ditemukan tahunnya seperti lontar ‘pipil’ yang berisi naskah atau dokumen sertifikat kepemilikan tanah.
Selain itu, ada juga lontar yang didapatkan dari Lombok. Menariknya, lontar berjudul ‘Naskah Tasawuf’ dan ‘Kidung Nabi Haparas’ tersebut menyebutkan ajaran-ajaran Islam di daerah tersebut, dengan menggunakan tulisan jajawen, hampir sama dengan aksara Bali. “Kalau kita bisa bilang itu buku di zaman lampau. Jadi kembali kita perkenalkan kepada pemuda bahwa ini adalah buku, yang pada zaman dahulu memang tidak ada buku seperti sekarang. Ini hanya media, hanya beda isinya,” ujar founder Hanacaraka Society, Sugi Lanus, di sela acara.
Sugi Lanus mempunyai pemikiran bahwa sangat perlu membuka akses kepada pemuda dan masyarakat umum agar bisa memahami bahwa lontar merupakan ‘duwe tengah’ atau milik bersama untuk diselamatkan. “Sebenarnya ini kita coba membuka diri dengan koleksi pribadi kami yang memang isinya tembang-tembang, naskah-naskah yang biasa kita kembangkan. Kami ingin memfasilitasi orang-orang agar melihat tradisinya kembali,” katanya.
Sugi menjelaskan, memang ada beberapa lontar yang isinya tidak bisa dibaca oleh publik seperti doa-doa untuk mengobati, membersihkan pekarangan, dan beberapa mantra lainnya. Namun, pemikiran bahwa semua lontar disakralkan tidak sepenuhnya benar. Buktinya pihaknya banyak menampilkan lontar-lontar yang bisa diselamatkan dan kemudian disalin ulang. “Kalau yang itu (yang disakralkan) bagi orang yang sudah siap mental spiritual yang mengucapkan mantranya. Kalau orang biasa boleh mempelajari namun tidak dianjurkan untuk mengucapkan,” imbuhnya.
Sementara Manager Hatten Wines Building, Ida Bagus Rai Budarsa, mengaku kaget dengan animo masyarakat utamanya pemuda yang datang mengikuti perjalanan pameran ini. “Surprise banyak yang datang banyak ternyata. Saya pikir komunitas atau orang yang paham akan ini sangat jarang. Kegiatan seperti ini menjadikan lontar punya akses kepada generasi muda untuk diketahui dan terbuka untuk bisa dipelajari,” katanya.* i
Komentar