MUTIARA WEDA: Raja, Masyarakat, dan Medsos
Itulah pikiran namanya, sumbernya segala keinginan, yang menggerakkan aktivitas baik atau buruk, oleh karena itu pikiran lah yang diusahakan pengekangannya.
Apan ikang manah ngaranya, ya ika witning indrya, mapravrrti ta ya ring subha asubha karma, matangyan ikang manah juga prihen kahrtanya sakareng.(Sarasamucchaya, 80)
MUNGKIN naluri untuk hidup sederajat (egaliter) adalah trend di awal tahun 2020 ini, sebab sedang ramai-ramainya memperbincangkan keberadaan raja-raja yang muncul. Masyarakat merasa sangat terganggu atas kehadirannya, sehingga beliau-beliau itu diperbincangkan viral di medsos, dan bahkan sudah ada yang ditangani aparat. Argumen masyarakat pun beragam, dari yang berbentuk kajian kritis sampai sekadar komen. Semua itu terus menggelinding seolah tanpa tanding. Masyarakat seolah mendapat bahan gunjingan yang segar, seperti harimau mendapat kijang buruannya yang masih segar.
Bagi kita yang suka bergunjing, tentu fenomena ini menjadi sangat menarik perhatian. Seperti orang menemukan apa yang disukainya, seperti itulah pikiran seolah terpuaskan. Kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat mungkin sama seperti kepuasan yang diinginkan oleh beliau-beliau yang mendeklarasikan dirinya sebagai raja. Kalau bicara kepuasan dari sisi teori hegemoni, mungkin di era milenial inilah teori ini mencapai puncak kejayaannya. Jika dikatakan bahwa ‘pada prinsipnya manusia itu memiliki kehendak untuk berkuasa’, maka sekaranglah hal itu bisa diraih oleh siapa saja. Mengapa? Karena dewasa ini telah dihadirkan media untuk itu. Di zaman kerajaan dulu, hanya mereka yang berkuasa yang memiliki kekuatan untuk menguasai, dan jumlahnya sungguh sangat sedikit. Rakyat biasa sepertinya tidak memiliki akses untuk itu.
Dalam tahap perkembangannya, ketika terjadi revolusi industri, mereka yang mampu menguasai kapital yang bisa menghegemoni. Ada kemungkinan penguasa kapital ini awalnya adalah masyarakat kelas bawah, namun karena kerja kerasnya dia mampu berkuasa. Tetapi, jumlahnya pun sedikit. Masih banyak orang yang tidak memiliki akses untuk itu, sehingga satu-satunya yang bisa dilakukan adalah revolusi sosial. Ketika revolusi tersebut sukses menekuk kaum kapitalis, maka dalam waktu yang tidak lama, sistem yang digunakan dalam revolusi sosial tersebut menguat dan menjadi raksasa yang membuat keinginan-keinginan individu tidak lagi bebas. Sistemnya menjadi kekuatan hegemoni baru. Oleh karena keinginan manusia untuk berkuasa tetap tidak tersalurkan, lalu runtuhlah sistem tersebut, dan memanifes ke dalam bentuk-bentuk sistem yang berbeda yang lebih sesuai dengan keinginan-keinginan manusia untuk berkuasa. Kemudian, ketika era informasi hadir, mereka yang menguasai media menjadi penguasa baru, baik media elektronik maupun cetak.
Namun, tidak disangka, dalam dua dasarwarsa belakangan, perkembangan alat komunikasi yang berbasis internet menguasai seluruh dunia. Dengan hadirnya media sosial, masyarakat seolah mendapat angin segar. Setiap orang adalah penguasa media. Siapapun bisa memiliki akun seperti twitter, facebook, instagram, youtube, dan yang lainnya. Dengan akun tersebut, setiap orang bisa memberitakan apa saja dan kapan saja. Benar saja, orang dewasa ini lebih banyak dengan gadgetnya dibandingkan yang lain. Orang merasa ramai meskipun dia sendirian di rumah, karena dengan smartphone-nya saja dia bisa mengakses apa saja. Setiap orang seolah telah berkuasa.
Jika ditanyakan, siapakah yang berkuasa sebenarnya? Apakah para raja itu, atau masyarakat yang ‘membuli’ sang raja di medsos, atau medsos itu sendiri yang berkuasa? Apakah orang sebenarnya secara tidak disadari telah dihegemoni oleh media sosial itu sendiri dengan jalan memberikannya akses seluas-luasnya untuk menikmati keinginan-keinginannya bermedia sosial? Jika perkiraan ini benar, maka sangat perlu kiranya berkaca dari teks di atas. Keinginan untuk berkuasa itu sebenarnya bersumber dari pikiran. Dan siapapun orang yang ingin berkuasa (apakah orang itu sudah merasa berkuasa atau sedang on the way untuk berkuasa) pada prinsipnya telah menjadi budak oleh pikirannya. Jadi, keinginan itulah sesungguhnya yang berkuasa, sementara dirinya tetap menjadi budak. Teks di atas berpesan ‘pikiranlah yang perlu diusahakan pengendaliannya’. Jika sukses, maka, ialah sesungguhnya yang berkuasa. Namun, jika tidak, ‘rasa semu berkuasa’ sebenarnya hanyalah budak keinginan. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar