Pernah Dipatuk Ular, Dijaga Sosok Nenek Saat Pentas
Kisah Ni Putu Astridayanti, Penari Ular yang Juga Penyuluh Bahasa Bali
Ni Putu Astridayanti mengaku penasaran dan akhirnya tergerak memelihara ular, sejak dirinya sering bermimpi didatangi ular. Apalagi ayahnya, I Ketut Patra Arianta, juga pernah dipatuk ular hijau berekor merah
DENPASAR, NusaBali
Ni Putu Astridayanti, 34, merupakan salah satu Penyuluh Bahasa Bali yang punya profesi sampingan cukup unik. Perempuan berusia 34 tahun asal Banjar Kelaci, Desa/Kecamatan Marga, Tabanan ini dikenal masyarakat karena kepiawaiannya menari ular. Sebaagi penari ular, Putu Astridayanti juga pernah punya pengalaman dipatuk lipi (ular).
Putu Astridayanti diketahui hobi memelihara ular sejak 2007, ketika usianya baru menginjak 21 tahun. Perempuan kelahiran Tembuku, Bangli, 16 Agustus 1986 ini kemudian menggeluti profesi penari ular, sebagai pekerjaan tambahan di luar tugas pokoknya selaku Penyuluh Bahasa Bali. Selain itu, Putu As-tridayanti juga sempat memerankan figur Nenek sakti dalam film layar leber berjudul ‘Leak (Penangkeb) tahun 2019 lalu.
Kepada NusaBali, Putu Astridayanti mengatakan banyak orang menjuluki dirinya sebagai Ratu Ular maupun Pawang Ular. Menurut Astridayanti, sesungguhnya dia menolak julukan tersebut. Astridayanti lebih senang dipanggil Penari Ular dan pecinta ular.
“Saya bukan pawang, saya hanya pecinta ular. Sebenarnya agak risih juga dibilang Pawang Ular, apalagi Ratu Ular,” ungkap Astridayanti saat ditemui NusaBali di objek wisata Tukad Bindu, Denpasar Timur, Minggu (26/1) lalu.
Atridayanti sendiri mengaku tidak menyangka jika dirinya memiliki ketertarikan memelihara hewan reptil seperti ular. Dia dulunya sama seperti orang kebanyakan: takut ular. Namun, semenjak sering bermimpi didatangi ular, Astridayanti menjadi semakin penasaran dengan karakter hewan melata ini. Apalagi ayahnya, I Ketut Patra Arianta, juga pernah dipatuk ular hijau berekor merah.
“Ya, dulu saya juga takut sama ular. Lihat ular lewat saja, jantung saya langsung dag dig dug. Tapi, semenjak sering mimpi didatangi ular, dipatuk dan dililit ular, saya jadi penasaran,” kenang perempuan yang menamatkan pendidikan S1 Jurusan Bahasa Bali di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini.
Menurut Astridayanti, dirinya pertama kali meminta ular untuk dipelihara dari teman di komunitas pencinta reptile di Bali tahun 2007. Sejak itu hingga sekarang, Astridayanti hobi berburu ular untuk dipelihara. Astridayanti sudah memelihara ratusan ular dari berbagai jenis. Namun, ularnya tidak dipelihara di rumah, melainkan di Yayasan Bali Reptile Resque kawasan Desa Gumbrih, Kecamatan Pekutatan, Jembrana.
“Setelah diamati dan dipelihara, ular itu ternyata binatang yang unik. Ular bisa marah, bisa sedih, bisa ngambek. Samamalah seperti binatang peliharaan yang lain,” katanya. Astridayanti menyebutkan, ular ada yang memiliki sifat diam-diam membahayakan, ada juga yang rupanya sangar tetapi sifatnya kalem. Untuk mengetahui karakter ular, Astridayanti mengaku sampai mengajak ular piton peliharaannya untuk tidur bersama.
Dari beberapa kali pengalaman tidur bersama ular, Astridayanti merasakan pengaruh seperti lemas dan susah untuk bangun dari tidur. Pengalaman tidur bersama ular itu pula yang akhirnya membuat Astridayanti tahu bagaimana kekuatan guna-guna dengan medium bagian tubuh ular.
“Dari sana saya tahu bagaimana kekuatan guna-guna ular. Saya merasakan sendiri, setelah tidur sama ular, badan jadi lemas, nggak mau bangun. Bawaannya pasti ngantuk dan malas. Dari sana juga saya tahu sifat-sifat ular. Makanya, banyak dukun yang nyari kules (lepasan kulit ular) untuk dipakai guna-guna,” tandas ibu tiga anak ini.
Selain memiliki karakter, kata Astridayanti, ular juga punya kontak ‘bathin’ yang kuat dengan si pemelihara, termasuk manusia. Hal ini karena ular merasakan getaran, meski tidak memiliki pengelihatan yang jelas. Karena itu, jika melihat ular, disarankan untuk tidak bergerak dan panik. Sebab, kepanikan justru akan menimbulkan getaran yang bisa dirasakan oleh ular.
“Sifat unik lainnya, kalau kita sedang marah, ular yang lebih tahu. Kalau kita ada masalah, ularnya pasti rengas (agresif), apalagi saat pentas. Walaupun kita menyembunyikan dari semua orang, ularnya lebih tahu. Nggak mau dah ularnya noleh, nggak mau dekat,” papar Astridayanti.
Astridayanti memaparkan, hewan reptil seperti ular juga membutuhkan kasih sayang yang tulus. Ular perlu dibelai dan diberikan sentuhan yang halus. Pun saat Tumpek Kandang yang jatuh 6 bulan sekali (210 hati sistem penanggalan Bali) pada Saniscara Kliwon Uye, ular juga dibuatkan upakara sebagai tanda menghormati makhluk ciptaan Tuhan.
“Kalau ular tidak kita sentuh satu hari saja, pasti galak dia. Ada rasa kasih sayang di situ. Kalau kita tidak sayang dengan ular, ya ularnya juga tidak sayang dengan kita. Kalau kita rengas, ularnya juga pasti matuk kita,” terang anak sulung dari tiga bersaudara pasangan I Ketut Patra Arianta dan Ni Luh Artawati ini.
Astridayanti mengisahkan, setelah setahun memelihara ular, tepatnya pada 2008, seorang teman menyarankan kenapa tidak mencoba melakukan sesuatu terhadap ular yang dipeliharanya. Dari situ akhirnya hobi memelihara ular diarahkan Astridayanti untuk menjadi Penari Ular. Setiap kali pentas, ada ritual banten pejati yang wajib dilakukan di rumah dan di tempat pentas.
Sebagai Penari Ular, Astridayanti telah melanglang buana mentar di hampir seluruh Bali, bahkan hingga ke Lombok, NTB. “Sebelum pentas, kita wajib ngaturang pejati. Karena kepercayaan di Hindu, ular itu linggih Dewa Siwa. Setiap pentas menari ular, saya juga memberi edukasi ke masyarakat bagaimana caranya menangani ketika bertemu ular.”
Sebagai Penari Ular, tentu saja cukup berisiko bagi Astridayanti. Banyak bully dan anggapan miring yang dilontarkan kepadanya. Mulai dari dibilang bisa ngeleak, bahkan banyak lelaki yang ditakut-takuti agar tidak mendekatinya hanya karena Astridayanti berteman dengan ular.
Namun, bagi Astridayanti, semua itu sudah menjadi hal biasa dan tak membuatnya patah semangat. Kebetulan, selama ini pihak keluarga juga mendukung apa yang dilakoni Astridayanti. “Saya sudah paham risikonya. Dibully sudah sering, sudah kebal. Kadang-kadang diomongin pas duduk membelakangi saya. Tapi, hal itu tidak lantas membuat saya menyerah,” katanya.
Menurut Astridayanti, setiap pentas tari ular, ada hal unik juga yang kerap terjadi. Dari penuturan beberapa orang yang memiliki kelebihan (indra keenam), ada sosok nenek-nenek yang menjaga Astridayanti saat menari bersama ular. Beberapa orang bahkan tidak berani menyentuhnya saat berkenalan.
“Ada Jro Balian yang nggak berani nyentuh saya. Dia bilang takut, karena melihat sosok nenek seram yang menjaga saya saat menari. Saya sih tidak bisa lihat. Tapi, dibilang sosoknya memang seram, namun tidak jahat,” papar penari ular yang menempuh pendidikan dasar di SDN 3 Kubu, Kelurahan Kubu, Bangli serta pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Bangli dan SMA Negeri 1 Marga (Tabanan) ini.
Astridayanti menceritakan berbagai pengalaman saat pentas menari ular. Tidak jarang juga ada yang ingin ‘mengujinya’ secara niskala saat pentas. “Waktu menari ular di Lombok, saya pernah dites. Sebelum menari, ularnya nggak mau berdiri. Saya sudah feeling, kontak bathin dengan ularnya,” papar Astridayanti.
“Sepertinya ada dukun yang ugig (aliran kiri) di antara penonton. Saya lihat satu per satu penonton. Ada seorang dukun tangannya bersedekap, terus melihat ke panggung. Saya langsung cari orangnya dan ajak komunikasi. Saya minta bantuan beliau untuk mengawasi ular saya, sebagai bentuk menghargai keberadaannya selaku pangelingsir di sana. Ajaibnya, ular saya langsung berdiri. Dari situ saya berpikir ketika show di mana pun nanti, saya harus menemui pangelingsir dan minta restu dulu,” ceritanya.
Pengalaman tak terlupakan lainnya, Astridayanti pernah dipatuk king kobra peliharaannya saat pentas menari ular. Gara-garanya, saat itu dia mentas ketika tengah menstruasi dan tidak boleh sembahyang. Menurut kepercayaan Hindu, ular adalah salah satu linggih Dewa Siwa, Astridayanti pun percaya akan hal tersebut.
Nah, saat dipatuk ular, Astridayanti seperti merasakan aliran listrik mengalir di tubuhnya. Selain melakukan penanganan pertama pasca dipatuk, hal terpenting lainnya bagi Astridayanto adalah berdoa. Astrid juga percaya bahwa sosok perempuan yang menjaga dirinya ikut melindungi kala itu.
“Saat dipatuk ular, jangan sampai salah penanganan dan terlambat penanganan. Kalau salah penanganan, bisa menyebabkan lumpuh, borok, amputasi, bahkan merenggut nyawa. Saat dipatuk, kita tidak boleh panik. Karena panik menyebabkan jantung berdebar dan akhirnya pecah pembuluh darah. Atur napas dan minum air yang banyak,” jelasnya.
“Nah, saat saya dipatuk ular itu kan lagi show. Karena takut viral, saya diam dulu sambil menunggu teman yang lain selesai tampil. Saya tarik napas dan minum air yang banyak. Sambil saya berdoa kepada Tuhan, termasuk komunikasi dengan ularnya. Karena kamu (ular) yang matuk, maka saya minta obat juga di kamu (ular),” kenang Astridayanti.
“Setelah didoakan, disesajenin (dilebur), saya potong ularnya, lalu minum empedu, darah, sumsumnya sebagai penetralisir. Kalau bisa ditambah minum kelapa muda. Baru kita ke rumah sakit untuk penanganan. Itu pun bisa ditolak, karena tidak ada anti venom untuk bisa ular di rumah sakit,” imbuhnya.
Meski pernah dipatuk ular, namun Astridayanti tidak kapok mentas sebagai Penarti Ular. Dia tetap menikmati profesi sampingannya sebagau Penari Ular. Meski berisiko, namun untuk tarif menari ular diakuinya ‘ngayah’ dan ‘mebayah’. Dia tidak mematok secara pasti tarifnya, namun secara umum Astridayanti dibayar Rp 2 sampai Rp 3 juta untuk empat orang penari. Bahkan, bayarannya bisa sampai Rp 5 juta jika yang mengundang mentas adalah pejaba. “Namun, ada kalanya saya juga ikhlas tidak dibayar, jika yang mengundang adalah komunitas disabilitas dan sejenisnya,” ungkap Astridayanti. *ind
Putu Astridayanti diketahui hobi memelihara ular sejak 2007, ketika usianya baru menginjak 21 tahun. Perempuan kelahiran Tembuku, Bangli, 16 Agustus 1986 ini kemudian menggeluti profesi penari ular, sebagai pekerjaan tambahan di luar tugas pokoknya selaku Penyuluh Bahasa Bali. Selain itu, Putu As-tridayanti juga sempat memerankan figur Nenek sakti dalam film layar leber berjudul ‘Leak (Penangkeb) tahun 2019 lalu.
Kepada NusaBali, Putu Astridayanti mengatakan banyak orang menjuluki dirinya sebagai Ratu Ular maupun Pawang Ular. Menurut Astridayanti, sesungguhnya dia menolak julukan tersebut. Astridayanti lebih senang dipanggil Penari Ular dan pecinta ular.
“Saya bukan pawang, saya hanya pecinta ular. Sebenarnya agak risih juga dibilang Pawang Ular, apalagi Ratu Ular,” ungkap Astridayanti saat ditemui NusaBali di objek wisata Tukad Bindu, Denpasar Timur, Minggu (26/1) lalu.
Atridayanti sendiri mengaku tidak menyangka jika dirinya memiliki ketertarikan memelihara hewan reptil seperti ular. Dia dulunya sama seperti orang kebanyakan: takut ular. Namun, semenjak sering bermimpi didatangi ular, Astridayanti menjadi semakin penasaran dengan karakter hewan melata ini. Apalagi ayahnya, I Ketut Patra Arianta, juga pernah dipatuk ular hijau berekor merah.
“Ya, dulu saya juga takut sama ular. Lihat ular lewat saja, jantung saya langsung dag dig dug. Tapi, semenjak sering mimpi didatangi ular, dipatuk dan dililit ular, saya jadi penasaran,” kenang perempuan yang menamatkan pendidikan S1 Jurusan Bahasa Bali di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini.
Menurut Astridayanti, dirinya pertama kali meminta ular untuk dipelihara dari teman di komunitas pencinta reptile di Bali tahun 2007. Sejak itu hingga sekarang, Astridayanti hobi berburu ular untuk dipelihara. Astridayanti sudah memelihara ratusan ular dari berbagai jenis. Namun, ularnya tidak dipelihara di rumah, melainkan di Yayasan Bali Reptile Resque kawasan Desa Gumbrih, Kecamatan Pekutatan, Jembrana.
“Setelah diamati dan dipelihara, ular itu ternyata binatang yang unik. Ular bisa marah, bisa sedih, bisa ngambek. Samamalah seperti binatang peliharaan yang lain,” katanya. Astridayanti menyebutkan, ular ada yang memiliki sifat diam-diam membahayakan, ada juga yang rupanya sangar tetapi sifatnya kalem. Untuk mengetahui karakter ular, Astridayanti mengaku sampai mengajak ular piton peliharaannya untuk tidur bersama.
Dari beberapa kali pengalaman tidur bersama ular, Astridayanti merasakan pengaruh seperti lemas dan susah untuk bangun dari tidur. Pengalaman tidur bersama ular itu pula yang akhirnya membuat Astridayanti tahu bagaimana kekuatan guna-guna dengan medium bagian tubuh ular.
“Dari sana saya tahu bagaimana kekuatan guna-guna ular. Saya merasakan sendiri, setelah tidur sama ular, badan jadi lemas, nggak mau bangun. Bawaannya pasti ngantuk dan malas. Dari sana juga saya tahu sifat-sifat ular. Makanya, banyak dukun yang nyari kules (lepasan kulit ular) untuk dipakai guna-guna,” tandas ibu tiga anak ini.
Selain memiliki karakter, kata Astridayanti, ular juga punya kontak ‘bathin’ yang kuat dengan si pemelihara, termasuk manusia. Hal ini karena ular merasakan getaran, meski tidak memiliki pengelihatan yang jelas. Karena itu, jika melihat ular, disarankan untuk tidak bergerak dan panik. Sebab, kepanikan justru akan menimbulkan getaran yang bisa dirasakan oleh ular.
“Sifat unik lainnya, kalau kita sedang marah, ular yang lebih tahu. Kalau kita ada masalah, ularnya pasti rengas (agresif), apalagi saat pentas. Walaupun kita menyembunyikan dari semua orang, ularnya lebih tahu. Nggak mau dah ularnya noleh, nggak mau dekat,” papar Astridayanti.
Astridayanti memaparkan, hewan reptil seperti ular juga membutuhkan kasih sayang yang tulus. Ular perlu dibelai dan diberikan sentuhan yang halus. Pun saat Tumpek Kandang yang jatuh 6 bulan sekali (210 hati sistem penanggalan Bali) pada Saniscara Kliwon Uye, ular juga dibuatkan upakara sebagai tanda menghormati makhluk ciptaan Tuhan.
“Kalau ular tidak kita sentuh satu hari saja, pasti galak dia. Ada rasa kasih sayang di situ. Kalau kita tidak sayang dengan ular, ya ularnya juga tidak sayang dengan kita. Kalau kita rengas, ularnya juga pasti matuk kita,” terang anak sulung dari tiga bersaudara pasangan I Ketut Patra Arianta dan Ni Luh Artawati ini.
Astridayanti mengisahkan, setelah setahun memelihara ular, tepatnya pada 2008, seorang teman menyarankan kenapa tidak mencoba melakukan sesuatu terhadap ular yang dipeliharanya. Dari situ akhirnya hobi memelihara ular diarahkan Astridayanti untuk menjadi Penari Ular. Setiap kali pentas, ada ritual banten pejati yang wajib dilakukan di rumah dan di tempat pentas.
Sebagai Penari Ular, Astridayanti telah melanglang buana mentar di hampir seluruh Bali, bahkan hingga ke Lombok, NTB. “Sebelum pentas, kita wajib ngaturang pejati. Karena kepercayaan di Hindu, ular itu linggih Dewa Siwa. Setiap pentas menari ular, saya juga memberi edukasi ke masyarakat bagaimana caranya menangani ketika bertemu ular.”
Sebagai Penari Ular, tentu saja cukup berisiko bagi Astridayanti. Banyak bully dan anggapan miring yang dilontarkan kepadanya. Mulai dari dibilang bisa ngeleak, bahkan banyak lelaki yang ditakut-takuti agar tidak mendekatinya hanya karena Astridayanti berteman dengan ular.
Namun, bagi Astridayanti, semua itu sudah menjadi hal biasa dan tak membuatnya patah semangat. Kebetulan, selama ini pihak keluarga juga mendukung apa yang dilakoni Astridayanti. “Saya sudah paham risikonya. Dibully sudah sering, sudah kebal. Kadang-kadang diomongin pas duduk membelakangi saya. Tapi, hal itu tidak lantas membuat saya menyerah,” katanya.
Menurut Astridayanti, setiap pentas tari ular, ada hal unik juga yang kerap terjadi. Dari penuturan beberapa orang yang memiliki kelebihan (indra keenam), ada sosok nenek-nenek yang menjaga Astridayanti saat menari bersama ular. Beberapa orang bahkan tidak berani menyentuhnya saat berkenalan.
“Ada Jro Balian yang nggak berani nyentuh saya. Dia bilang takut, karena melihat sosok nenek seram yang menjaga saya saat menari. Saya sih tidak bisa lihat. Tapi, dibilang sosoknya memang seram, namun tidak jahat,” papar penari ular yang menempuh pendidikan dasar di SDN 3 Kubu, Kelurahan Kubu, Bangli serta pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Bangli dan SMA Negeri 1 Marga (Tabanan) ini.
Astridayanti menceritakan berbagai pengalaman saat pentas menari ular. Tidak jarang juga ada yang ingin ‘mengujinya’ secara niskala saat pentas. “Waktu menari ular di Lombok, saya pernah dites. Sebelum menari, ularnya nggak mau berdiri. Saya sudah feeling, kontak bathin dengan ularnya,” papar Astridayanti.
“Sepertinya ada dukun yang ugig (aliran kiri) di antara penonton. Saya lihat satu per satu penonton. Ada seorang dukun tangannya bersedekap, terus melihat ke panggung. Saya langsung cari orangnya dan ajak komunikasi. Saya minta bantuan beliau untuk mengawasi ular saya, sebagai bentuk menghargai keberadaannya selaku pangelingsir di sana. Ajaibnya, ular saya langsung berdiri. Dari situ saya berpikir ketika show di mana pun nanti, saya harus menemui pangelingsir dan minta restu dulu,” ceritanya.
Pengalaman tak terlupakan lainnya, Astridayanti pernah dipatuk king kobra peliharaannya saat pentas menari ular. Gara-garanya, saat itu dia mentas ketika tengah menstruasi dan tidak boleh sembahyang. Menurut kepercayaan Hindu, ular adalah salah satu linggih Dewa Siwa, Astridayanti pun percaya akan hal tersebut.
Nah, saat dipatuk ular, Astridayanti seperti merasakan aliran listrik mengalir di tubuhnya. Selain melakukan penanganan pertama pasca dipatuk, hal terpenting lainnya bagi Astridayanto adalah berdoa. Astrid juga percaya bahwa sosok perempuan yang menjaga dirinya ikut melindungi kala itu.
“Saat dipatuk ular, jangan sampai salah penanganan dan terlambat penanganan. Kalau salah penanganan, bisa menyebabkan lumpuh, borok, amputasi, bahkan merenggut nyawa. Saat dipatuk, kita tidak boleh panik. Karena panik menyebabkan jantung berdebar dan akhirnya pecah pembuluh darah. Atur napas dan minum air yang banyak,” jelasnya.
“Nah, saat saya dipatuk ular itu kan lagi show. Karena takut viral, saya diam dulu sambil menunggu teman yang lain selesai tampil. Saya tarik napas dan minum air yang banyak. Sambil saya berdoa kepada Tuhan, termasuk komunikasi dengan ularnya. Karena kamu (ular) yang matuk, maka saya minta obat juga di kamu (ular),” kenang Astridayanti.
“Setelah didoakan, disesajenin (dilebur), saya potong ularnya, lalu minum empedu, darah, sumsumnya sebagai penetralisir. Kalau bisa ditambah minum kelapa muda. Baru kita ke rumah sakit untuk penanganan. Itu pun bisa ditolak, karena tidak ada anti venom untuk bisa ular di rumah sakit,” imbuhnya.
Meski pernah dipatuk ular, namun Astridayanti tidak kapok mentas sebagai Penarti Ular. Dia tetap menikmati profesi sampingannya sebagau Penari Ular. Meski berisiko, namun untuk tarif menari ular diakuinya ‘ngayah’ dan ‘mebayah’. Dia tidak mematok secara pasti tarifnya, namun secara umum Astridayanti dibayar Rp 2 sampai Rp 3 juta untuk empat orang penari. Bahkan, bayarannya bisa sampai Rp 5 juta jika yang mengundang mentas adalah pejaba. “Namun, ada kalanya saya juga ikhlas tidak dibayar, jika yang mengundang adalah komunitas disabilitas dan sejenisnya,” ungkap Astridayanti. *ind
1
Komentar