MUTIARA WEDA: Naluri Belajar
Lebih baik mengerjakan kewajiban sendiri walau tidak sempurna dibandingkan mengerjakan kewajiban orang lain secara sempurna. Lebih baik mati melaksanakan kewajiban sendiri daripada melaksanakan kewajiban orang lain apalagi berbahaya.
Sreyan svadharmo vigunah paradharmāt svanusthitāt,
Svadharme nidhanam sreyah paradharmo bhayāvahah.
(Bhagavad-gita, III.35)
MENDIKBUD Nadiem Makarim sedang bergulat membenahi sistem pendidikan di Indonesia. Alasannya, di seluruh dunia, Indonesia menduduki ranking tinggi dari bawah. Ini artinya pendidikan yang ditempuh oleh siswa tidak memberikan dampak banyak bagi kehidupannya. Pembenahan dilakukan di berbagai bidang, dari regulasi sampai kurikulum. Pak menteri berupaya agar sistem pendidikan yang dibangun selaras dengan kebutuhan lapangan kerja saat ini. Beliau mengajak seluruh pihak supaya terjun langsung membangun pendidikan. Perusahaan-perusahaan diajak untuk ikut terlibat langsung dalam membentuk SDM siap pakai. Para orangtua diajak untuk melihat kembali cara pengasuhan anak-anaknya, sebab pendidikan pertama berasal dari mereka. Keberhasilan orangtua mendidik anak sejak dini adalah kunci keberhasilan sistem pendidikan selanjutnya.
Orangtua berperan sentral bagi pendidikan karakter anak. Orangtua adalah teladan utama. Keberhasilan sistem pendidikan yang lebih tinggi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi ditentukan dari keberhasilan pendidikan orangtua di rumah. Sehebat apapun sistem yang dibangun, jika mereka yang belajar tidak selaras dengan sistem itu, dipastikan hasilnya tidak maksimal. Sehebat apapun teknik memanjat diberikan murid untuk memanjat, jika murid yang diajari seekor sapi, tentu hasilnya nihil. Boleh dibandingkan jika yang diajarkan memanjat adalah seekor monyet. Betapa berhasilnya pendidikan itu. Dengan cara yang sama, sehebat apapun teknik yang digunakan untuk mengajarkan murid makan rumput, jika yang diajarkan pada seekor monyet, teknik itu tidak akan bekerja. Bandingkan jika yang diajari sapi, betapa suksesnya teknik itu.
Bukankah monyet dan sapi itu membawa nalurinya? Walaupun tidak diajarkan, monyet akan memanjat dan sapi akan makan rumput. Iya benar memang demikianlah seharusnya. Teks di atas mengindikasikan hal ini. Agar sistem pendidikan yang dibangun sukses mencapai tujuannya, naluri murid untuk belajar harus terbangun terlebih dahulu. Naluri itu menurut teks di atas disebut svadharma. Bagaimana menemukan svadharma anak-anak? Itulah tugas berat orangtua. Orangtua lah yang mengetahui ke mana kecenderungan anak. Kecenderungan itu adalah naluri dan inilah yang menjadi svadharma anak tersebut ke depan.
Membangun sistem pendidikan yang memerdekakan anak untuk belajar tentu sangat baik. Anak boleh berekspresi dan berinovasi sesuai dengan bakatnya (nalurinya) atau svadharmanya. Betapa efektifnya sistem ini jika anak-anak sudah memahami apa yang menjadi bakatnya, yang menjadi nalurinya, yang membuatnya senang untuk belajar, bereksplorasi, berimajinasi, berinovasi, dan berkontemplasi. Tapi, sistem ini juga bisa gagal total jika anak-anak tidak memahami apa naluri belajarnya. Anak yang tidak tahu apa yang menjadi kekuatan dirinya akan bingung dengan kemerdekaan belajar. Dia merasa tidak akan memiliki pegangan. Dia tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Kalaupun dipaksa, tidak tertutup kemungkinan dia salah masuk kandang, salah memilih jurusan, salah mengambil subjek belajar. Sistem yang baik itu pun tertutup kerannya untuk mencapai tujuan.
Lalu apa yang mesti dilakukan? Kita mesti berkaca dari teks di atas, menemukan svadharma menjadi sangat signifikan. Meskipun dalam pelaksanaannya tidak maksimal, jika itu adalah svadharma, dipastikan lebih baik. Tantangan terberat Pak Nadiem saat ini setelah mampu membangun sistem pendidikan yang lebih mutakhir adalah, bagaimana orangtua mampu berperan aktif mendidik anak secara tepat sehingga dikenali svadharmanya sejak dini. Saat ini, sebagian besar orangtua ikut campur atas apa yang harus dipelajari anak. Jika orangtua suka musik, anak digiring untuk belajar musik meskipun mungkin anaknya tidak suka. Demikian juga ada anak yang suka melukis, tetapi dipaksakan untuk belajar IPA karena orangtua berkeinginan anaknya menjadi dokter. Jadi, agar sistem merdeka belajar itu sukses, selera/naluri belajar mesti terbangun terlebih dahulu. Agar selera itu tumbuh, svadharma mesti dikenali. Agar anak belajar sesuai dengan svadharmanya, peran orangtua menjadi sentral. Lalu, pentingkah pendidikan untuk orangtua menjadi ‘orangtua’? Bagaimana ini Pak Nadiem? *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Bhagavad-gita, III.35)
MENDIKBUD Nadiem Makarim sedang bergulat membenahi sistem pendidikan di Indonesia. Alasannya, di seluruh dunia, Indonesia menduduki ranking tinggi dari bawah. Ini artinya pendidikan yang ditempuh oleh siswa tidak memberikan dampak banyak bagi kehidupannya. Pembenahan dilakukan di berbagai bidang, dari regulasi sampai kurikulum. Pak menteri berupaya agar sistem pendidikan yang dibangun selaras dengan kebutuhan lapangan kerja saat ini. Beliau mengajak seluruh pihak supaya terjun langsung membangun pendidikan. Perusahaan-perusahaan diajak untuk ikut terlibat langsung dalam membentuk SDM siap pakai. Para orangtua diajak untuk melihat kembali cara pengasuhan anak-anaknya, sebab pendidikan pertama berasal dari mereka. Keberhasilan orangtua mendidik anak sejak dini adalah kunci keberhasilan sistem pendidikan selanjutnya.
Orangtua berperan sentral bagi pendidikan karakter anak. Orangtua adalah teladan utama. Keberhasilan sistem pendidikan yang lebih tinggi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi ditentukan dari keberhasilan pendidikan orangtua di rumah. Sehebat apapun sistem yang dibangun, jika mereka yang belajar tidak selaras dengan sistem itu, dipastikan hasilnya tidak maksimal. Sehebat apapun teknik memanjat diberikan murid untuk memanjat, jika murid yang diajari seekor sapi, tentu hasilnya nihil. Boleh dibandingkan jika yang diajarkan memanjat adalah seekor monyet. Betapa berhasilnya pendidikan itu. Dengan cara yang sama, sehebat apapun teknik yang digunakan untuk mengajarkan murid makan rumput, jika yang diajarkan pada seekor monyet, teknik itu tidak akan bekerja. Bandingkan jika yang diajari sapi, betapa suksesnya teknik itu.
Bukankah monyet dan sapi itu membawa nalurinya? Walaupun tidak diajarkan, monyet akan memanjat dan sapi akan makan rumput. Iya benar memang demikianlah seharusnya. Teks di atas mengindikasikan hal ini. Agar sistem pendidikan yang dibangun sukses mencapai tujuannya, naluri murid untuk belajar harus terbangun terlebih dahulu. Naluri itu menurut teks di atas disebut svadharma. Bagaimana menemukan svadharma anak-anak? Itulah tugas berat orangtua. Orangtua lah yang mengetahui ke mana kecenderungan anak. Kecenderungan itu adalah naluri dan inilah yang menjadi svadharma anak tersebut ke depan.
Membangun sistem pendidikan yang memerdekakan anak untuk belajar tentu sangat baik. Anak boleh berekspresi dan berinovasi sesuai dengan bakatnya (nalurinya) atau svadharmanya. Betapa efektifnya sistem ini jika anak-anak sudah memahami apa yang menjadi bakatnya, yang menjadi nalurinya, yang membuatnya senang untuk belajar, bereksplorasi, berimajinasi, berinovasi, dan berkontemplasi. Tapi, sistem ini juga bisa gagal total jika anak-anak tidak memahami apa naluri belajarnya. Anak yang tidak tahu apa yang menjadi kekuatan dirinya akan bingung dengan kemerdekaan belajar. Dia merasa tidak akan memiliki pegangan. Dia tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Kalaupun dipaksa, tidak tertutup kemungkinan dia salah masuk kandang, salah memilih jurusan, salah mengambil subjek belajar. Sistem yang baik itu pun tertutup kerannya untuk mencapai tujuan.
Lalu apa yang mesti dilakukan? Kita mesti berkaca dari teks di atas, menemukan svadharma menjadi sangat signifikan. Meskipun dalam pelaksanaannya tidak maksimal, jika itu adalah svadharma, dipastikan lebih baik. Tantangan terberat Pak Nadiem saat ini setelah mampu membangun sistem pendidikan yang lebih mutakhir adalah, bagaimana orangtua mampu berperan aktif mendidik anak secara tepat sehingga dikenali svadharmanya sejak dini. Saat ini, sebagian besar orangtua ikut campur atas apa yang harus dipelajari anak. Jika orangtua suka musik, anak digiring untuk belajar musik meskipun mungkin anaknya tidak suka. Demikian juga ada anak yang suka melukis, tetapi dipaksakan untuk belajar IPA karena orangtua berkeinginan anaknya menjadi dokter. Jadi, agar sistem merdeka belajar itu sukses, selera/naluri belajar mesti terbangun terlebih dahulu. Agar selera itu tumbuh, svadharma mesti dikenali. Agar anak belajar sesuai dengan svadharmanya, peran orangtua menjadi sentral. Lalu, pentingkah pendidikan untuk orangtua menjadi ‘orangtua’? Bagaimana ini Pak Nadiem? *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar