PHDI : Tidak Pantas, Palinggih Berdampingan dengan Kloset
Meskipun dikatakan sukla dan tidak dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, namun adanya kloset tetap sebagai sesuatu yang tidak pantas.
SINGARAJA, NusaBali
Pasca ditemukannya palinggih berdampingan kloset yang sudah diganti dengan kendi di Desa Depaha, Kecamatan Kubutambahan Buleleng, Parisada Hindu Indonesia (PHDI) Kabupaten Buleleng angkat suara. Ketua PHDI Kabupaten Buleleng Dr I Gde Made Metra MSi mengatakan pembangunan palinggih tak semestinya berdampingan dengan kloset, karena tak pantas dari segi rasa.
Menurut I Gde Made Metera yang ditemui Rabu (5/2/2020) di ruang kerjanya, dalam konteks agama Hindu di Bali, ketentuan pembangunan baik tempat persembahyangan, rumah dan bangunan lainnya berdasarkan atas pemahaman Tri Mandala (tiga wilayah,red). Tempat suci akan berposisi di utama mandala (wilayah utama, hulu, red), rumah di madya mandala (wilayah tengah, red) dan bangunan kandang peliharaan ternak termasuk kamar mandi ada di nista mandala (wilayah terluar, teben, hilir,red).
Seiring perkembangan zaman saat ini kamar mandi juga sudah banyak dibangun dan diintegrasikan di bangunan rumah, hal itu menurut Metera masih dalam batas wajar.
Namun bangunan palinggih Surya yang dibangun berdampingan dengan kloset, meskipun dikatakan sukla dan tidak dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, tetap dinyatakan tidak pantas. Barang yang digunakan sebagai simbol penyucian itu adalah barang yang biasa dikenal publik dipakai di kamar mandi atau WC untuk tempat ke belakang.
Menurut Metera yang juga Rektor Universitas Panji Sakti (UNipas) Buleleng, hal seperti itu menyangkut soal rasa, meskipun tidak digunakan sebagaimana biasanya. “Jangan menempatkan barang tak sesuai dengan fungsinya, lebih-lebih barang yang terkesan difungsikan untuk hal-hal yang kotor. Harusnya di nista jadi di utama mandala, ini menyangkut perasan dan pikiran orang. Jangan sampai orang merasa terganggu oleh keberadaan barang itu,” jelas dia.
Dari penempatan barang yang tak sesuai peruntukannya ini yang menurutnya akan mendapat tanggapan dari masyarakat sekitar, karena sangat bertentangan dengan ketentuan agama yang sudah ditetapkan ketentuannya. PHDI pun menyarankan kepada warga yang memiliki palinggih berdampingan dengan kloset agar diganti dengan benda yang lebih pantas, seperti kendi atau jun yang biasa digunakan umat Hindu di Parahyangannya. Dirinya juga mengaku akan melakukan pendampingan dari segi agama jika memang ke depannya diperlukan, sehingga tak ada gesekan antarmasyarakat yang merasa parahyangan atau tempat sucinya dinistakan.
“Kalau pun yang bersangkutan tak merasa seperti itu, tetapi ini kan hidup di masyarakat luas, ada masyarakat warga lain merasa terganggu. Demi kenyaman bermasyarakat dan beragama tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi juga orang lain, sehingga kehidupan beragama menjadi lebih baik,” imbuh dia.
Sejauh ini PHDI Buleleng pun mengaku baru mengetahui keberadaan palinggih berdampingan kloset di Buleleng dari penganut ‘Bija Kuning’ atau Ngiringan Pemargi yang bersumber di Desa Padangbai, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangsem dari pemberitaan di media. PHDI juga belum pernah menerima laporan terkait keberadaan kepercayaan itu.
Sementara itu jika mereka ikut dalam aliran kepercayaan Gde Made Metera menyatakan hal tersebut sah-sah saja. Apalagi aliran kepercayaan secara saat ini diakui secara nasional. Namun tetap dalam pelaksanaan aliran kepercayaan yang berkiblat pada agama tertentu dan masih menggunakan simbol salah satu agama tidak mengubah tatanan yang sudah ada. “Kepercayaan di Hindu sangat terbuka, tetapi jangan mengganggu tatanan yang sudah ada. Tata sembahyang pura sudah ada, kalau ada aliran yang memakai tata cara yang berbeda pasti ada penolakan dari sesama umat lainnya,” kata dia.*k23
Menurut I Gde Made Metera yang ditemui Rabu (5/2/2020) di ruang kerjanya, dalam konteks agama Hindu di Bali, ketentuan pembangunan baik tempat persembahyangan, rumah dan bangunan lainnya berdasarkan atas pemahaman Tri Mandala (tiga wilayah,red). Tempat suci akan berposisi di utama mandala (wilayah utama, hulu, red), rumah di madya mandala (wilayah tengah, red) dan bangunan kandang peliharaan ternak termasuk kamar mandi ada di nista mandala (wilayah terluar, teben, hilir,red).
Seiring perkembangan zaman saat ini kamar mandi juga sudah banyak dibangun dan diintegrasikan di bangunan rumah, hal itu menurut Metera masih dalam batas wajar.
Namun bangunan palinggih Surya yang dibangun berdampingan dengan kloset, meskipun dikatakan sukla dan tidak dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, tetap dinyatakan tidak pantas. Barang yang digunakan sebagai simbol penyucian itu adalah barang yang biasa dikenal publik dipakai di kamar mandi atau WC untuk tempat ke belakang.
Menurut Metera yang juga Rektor Universitas Panji Sakti (UNipas) Buleleng, hal seperti itu menyangkut soal rasa, meskipun tidak digunakan sebagaimana biasanya. “Jangan menempatkan barang tak sesuai dengan fungsinya, lebih-lebih barang yang terkesan difungsikan untuk hal-hal yang kotor. Harusnya di nista jadi di utama mandala, ini menyangkut perasan dan pikiran orang. Jangan sampai orang merasa terganggu oleh keberadaan barang itu,” jelas dia.
Dari penempatan barang yang tak sesuai peruntukannya ini yang menurutnya akan mendapat tanggapan dari masyarakat sekitar, karena sangat bertentangan dengan ketentuan agama yang sudah ditetapkan ketentuannya. PHDI pun menyarankan kepada warga yang memiliki palinggih berdampingan dengan kloset agar diganti dengan benda yang lebih pantas, seperti kendi atau jun yang biasa digunakan umat Hindu di Parahyangannya. Dirinya juga mengaku akan melakukan pendampingan dari segi agama jika memang ke depannya diperlukan, sehingga tak ada gesekan antarmasyarakat yang merasa parahyangan atau tempat sucinya dinistakan.
“Kalau pun yang bersangkutan tak merasa seperti itu, tetapi ini kan hidup di masyarakat luas, ada masyarakat warga lain merasa terganggu. Demi kenyaman bermasyarakat dan beragama tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi juga orang lain, sehingga kehidupan beragama menjadi lebih baik,” imbuh dia.
Sejauh ini PHDI Buleleng pun mengaku baru mengetahui keberadaan palinggih berdampingan kloset di Buleleng dari penganut ‘Bija Kuning’ atau Ngiringan Pemargi yang bersumber di Desa Padangbai, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangsem dari pemberitaan di media. PHDI juga belum pernah menerima laporan terkait keberadaan kepercayaan itu.
Sementara itu jika mereka ikut dalam aliran kepercayaan Gde Made Metera menyatakan hal tersebut sah-sah saja. Apalagi aliran kepercayaan secara saat ini diakui secara nasional. Namun tetap dalam pelaksanaan aliran kepercayaan yang berkiblat pada agama tertentu dan masih menggunakan simbol salah satu agama tidak mengubah tatanan yang sudah ada. “Kepercayaan di Hindu sangat terbuka, tetapi jangan mengganggu tatanan yang sudah ada. Tata sembahyang pura sudah ada, kalau ada aliran yang memakai tata cara yang berbeda pasti ada penolakan dari sesama umat lainnya,” kata dia.*k23
Komentar