Bulan Bahasa Bali 2020, Ajak Masyarakat Belajar 'Nyurat Prasi'
Prasi adalah seni rupa tradisional Bali yang termasuk seni grafis dengan teknik kering
DENPASAR, NusaBali.com
Serangkaian kegiatan Bulan Bahasa Bali 2020, kegiatan krialoka (workshop) Nyurat Prasi yang berlangsung pada Rabu (5/2/2020) di Kalangan Angsoka, Art Center Denpasar diikuti kurang lebih 50 orang yang berasal dari masyarakat umum, penyuluh Bahasa Bali, dan mahasiswa. Adapun krialoka ini menghadirkan I Nyoman Widana dan Nyoman Wahyu Angga Budi Santosa sebagai narasumber.
Diungkapkan oleh I Nyoman Widana, prasi sesungguhnya merupakan seni rupa tradisional Bali yang keberadaannya telah diketahui sejak abad ke-10. Seni yang pada dasarnya merupakan seni lukis menggunakan teknik kering ini merupakan seni di mana pelukis menorehkan sketsa pada daun lontar yang kemudian ditorehkan pengrupak dan diberi warna dengan kemiri yang dibakar. Proses ini, menyerupai penulisan aksara Bali pada daun lontar.
“Kalau berbicara tentang sarana dan alatnya, atau piranti, sarananya itu sama, yang pertama yaitu daun lontar. Daun lontar yang paling bagus itu daun lontar daluh, dia memiliki serat yang halus. Yang kedua yaitu kemiri diberi minyak. Kemudian untuk pirantinya itu pengrupak, tetapi bentuknya berbeda dengan pengrupak yang digunakan untuk menulis aksara Bali,” jelas I Nyoman Widana.
Jika ditilik asalnya, maka seni rupa tradisional ini berawal di daerah Buleleng, khususnya Singaraja, yang kemudian berkembang melalui proses adopsi di daerah Karangasem. “Tumbuh dan berkembang dengan pesatnya di Karangasem. Sehingga kan sekarang banyak dagang acung itu menjual kerajinan prasi yang dikomersilkan itu berbeda bobotnya, yang berarti di sana sudah ada perajin,” lanjut I Nyoman Widana.
Di masa modern ini, pembuatan prasi juga bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi laser. Namun, hal ini tentu saja tidak mengurangi nilai atau value yang terdapat pada prasi yang dibuat dengan tangan. Malah, prasi buatan tangan masih menjadi yang lebih digemari. “Yang dicari bobotnya, yang memiliki bobot paling besar, atau istilah Balinya taksu, adalah yang dibuat dengan tangan, karena mendapat sentuhan Citta, Budhi, dan Manah,” tuntas Penyuluh Bahasa Bali Desa Pelating, Kecamatan Kerambitan, Tabanan ini.*yl
Komentar