Penjualan Daging Babi Anjlok
Dampak Virus ASF di Bali
Merosotnya penjualan sudah dimulai sejak ASF pertamakali mewabah di Medan, dan kini setelah ratusan babi mati di Bali, penjualan pun semakin anjlok.
DENPASAR, NusaBali
Penjualan daging babi merosot menyusul wabah virus ASF (African Swine Fever) atau demam Afrika yang menyebabkan kematian hampir 900 ekor babi secara massif beberapa tempat kabupaten/kota di Bali. Pedagang daging babi mengaku penjualan mereka menurun lebih dari 50 persen dan waktu berjualan lebih lama. Lani Wulandari, seorang pedagang daging babi di Pasar Badung Denpasar menuturkan penurunan penjualan sudah terjadi sejak sebelum hari Imlek lalu. “Sejak ada berita babi mati di Medan. Itu masuk teve,” ungkap Lani, Kamis (6/2).
Kata Lani, mulai adanya berita babi mati di Medan itulah, perjualan daging babi merosot drastis.“Biasanya saya potong 3 ekor habis. Sekarang potong 2 atau 1 ekor tak habis,” ucapnya.
Lani pun mengatakan, penjualan daging babi sangat sepi. “ Tumben sepi begini pasarnya,” keluh perempuan yang tinggal di Jalan Gunung Agung Denpasar. Penurunan penjualan diperkirakan sampai 50 persen lebih.
Kondisi sangat kontras dengan sebelumnya. Apalagi dibanding ketika masih Pasar Badung (lama) sebelum terbakar. Ketika itu Lani mengaku kadang memotong sampai 7 ekor per hari. Tetapi belakangan tidak. Dan semakin parah setelah berita virus ASF ramai. “Orang tak berani beli daging babi, beralih beli daging ayam dan ikan,” keluhnya.
Karena penjualan sepi, pedagang mengaku berjualan lebih lama untuk menunggu pembeli. Padahal biasanya, sebelum lepas tengah hari sudah selesai. “Sekarang sampai sore begini masih jualan,” kata Lani.
Hal senada disampaikan Putu Yuniarti dan Kadek Sukari, pedagang babi lainnya. “Dari tadi pagi sejak jam 04.00 sepi begini,” ujar Kadek Sukari pedagang asal Gianyar. Sukari mengatakan ketika pasaran daging babi normal, dia dengan gampang menjual 20 kilogram daging per hari. Namun setelah informasi virus ASF merebak, untuk menjual 10 kilogram susah. “Niki daging tiyang (saya ) masih sampai jam begini dari tadi pagi,” ujarnya.
Sementara harga babi hidup Rp 26 ribu perkilogram. Sedang harga jual daging Rp 60 ribu perkilogram. Baik harga babi hidup maupun harga daging terbilang stabil. “Walau stabil, orang belanja tidak ada. Kan susah,” tambah Lani.
Terpisah Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali I Ketut Hary Suyasa, menyatakan prihatin dengan wabah virus ASF. Sehubungan hal tersebut, Hary Suyasa berharap pihak terkait bijak membuat pernyataan sehingga tidak memunculkan kegaduhan di masyarakat. Dia berharap bagaimana pemerintah hadir, turun ke masyarakat secara langsung melakukan sosialisasi melakukan penanggulangan penyebaran ASF serta mengedukasi masyarakat bahwa daging babi aman dikonsumsi.
Pihaknya selaku Ketua GUPBI mengaku terus turun meminta bantuan pihak adat melakukan edukasi untuk meminimalisir penularan virus ASF. Karena babi kata Hary Suyasa, tidak semata produk ekonomis, tetapi juga produk yang berkaitan dengan upacara adat dan budaya. *k17
Kata Lani, mulai adanya berita babi mati di Medan itulah, perjualan daging babi merosot drastis.“Biasanya saya potong 3 ekor habis. Sekarang potong 2 atau 1 ekor tak habis,” ucapnya.
Lani pun mengatakan, penjualan daging babi sangat sepi. “ Tumben sepi begini pasarnya,” keluh perempuan yang tinggal di Jalan Gunung Agung Denpasar. Penurunan penjualan diperkirakan sampai 50 persen lebih.
Kondisi sangat kontras dengan sebelumnya. Apalagi dibanding ketika masih Pasar Badung (lama) sebelum terbakar. Ketika itu Lani mengaku kadang memotong sampai 7 ekor per hari. Tetapi belakangan tidak. Dan semakin parah setelah berita virus ASF ramai. “Orang tak berani beli daging babi, beralih beli daging ayam dan ikan,” keluhnya.
Karena penjualan sepi, pedagang mengaku berjualan lebih lama untuk menunggu pembeli. Padahal biasanya, sebelum lepas tengah hari sudah selesai. “Sekarang sampai sore begini masih jualan,” kata Lani.
Hal senada disampaikan Putu Yuniarti dan Kadek Sukari, pedagang babi lainnya. “Dari tadi pagi sejak jam 04.00 sepi begini,” ujar Kadek Sukari pedagang asal Gianyar. Sukari mengatakan ketika pasaran daging babi normal, dia dengan gampang menjual 20 kilogram daging per hari. Namun setelah informasi virus ASF merebak, untuk menjual 10 kilogram susah. “Niki daging tiyang (saya ) masih sampai jam begini dari tadi pagi,” ujarnya.
Sementara harga babi hidup Rp 26 ribu perkilogram. Sedang harga jual daging Rp 60 ribu perkilogram. Baik harga babi hidup maupun harga daging terbilang stabil. “Walau stabil, orang belanja tidak ada. Kan susah,” tambah Lani.
Terpisah Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali I Ketut Hary Suyasa, menyatakan prihatin dengan wabah virus ASF. Sehubungan hal tersebut, Hary Suyasa berharap pihak terkait bijak membuat pernyataan sehingga tidak memunculkan kegaduhan di masyarakat. Dia berharap bagaimana pemerintah hadir, turun ke masyarakat secara langsung melakukan sosialisasi melakukan penanggulangan penyebaran ASF serta mengedukasi masyarakat bahwa daging babi aman dikonsumsi.
Pihaknya selaku Ketua GUPBI mengaku terus turun meminta bantuan pihak adat melakukan edukasi untuk meminimalisir penularan virus ASF. Karena babi kata Hary Suyasa, tidak semata produk ekonomis, tetapi juga produk yang berkaitan dengan upacara adat dan budaya. *k17
1
Komentar