Digelar Setahun Sekali, Simbol Menghormati Pendiri Desa
Tradisi Metata Linggih Sekaha Petangdasa di Desa Adat Suwug, Kecamatan Sawan
Jumlah krama yang dipilih menjadi Krama Petangdasa harus 40 orang, karena sesuai jumlah tetua yang dulu mendirikan Desa Adat Suwug. Mereka memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan upacara selama satu putaran dalam setahun, baik itu di parahyangan, pawongan, maupun palemahan
SINGARAJA, NusaBali
Krama Desa Adat Suwug, Desa Suwug, Kecamatan Sawan, Buleleng kembali menggelar tradisi ritual Metata Linggih Sekaha Petangdasa tepat Purnamaning Kaulu pada Saniscara Wage Julungwangi, Sabtu (8/2). Tradisi ritual yang digelar setahun sekali setiap Prnamaning Kaulu ini dilaksanakan sebagai simbol untuk menghormatan kepada pendiri Desa Adat Suwug.
Seusai namanya, tradisi ritual Metata Linggih Sekaha Petangdasa ini berupa pergantian krama pengayah yang berjumlah 40 (petangdasa) orang. Mereka yang berhak menjadi Krama 40 adalah krama yang sudah menikah, baik laki maupun perempuan. Krama 40 yang diganti setahun sekali, memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan upacara selama satu putaran dalam setahun, baik itu di parahyangan, pawongan, maupun palemahan wewidangan Desa Adat Suwug.
Dalam tradisi Metata Linggih Sekaha Petangdasa ini, krama yang ditunjuk menjadi Krama 40 harus melewati beberapa ritual simbol penyucian skala niskala. Salah satunya, prosesi membuang pakaian saat penyucian diri di Pura Beji.
Kelian Desa Adat Suwug, Jero Wayan Mudita, mengatakan pelaksanaan tradisi ritual Metata Linggih Sekaha Petangdasa dilakukan pada Purnamaning Kaulu, karena secara filosofis Sasih Kaulu dianggap sebagai hulu atau awal mulai. Sedangkan jumlah krama harus 40 orang, karena jumlah para tetua yang mendirikan Desa Adat Suwug konon berjumlah 40 orang. Mereka diyakini sebagai orang yang melaksanakan kegiatan upacara yang ada di wewidangan Desa Adat Suwug.
“Konon, dulu yang melaksanakan semua kegiatan upacara di Desa Adat Suwug hanya 40 orang. Sampai sekarang, kami meyakini dan tetap melaksanakan kegiatan Metata Linggih Sekaha bagi Krama 40,” jelas Jero Wayan Mudita kepada NusaBali.
Jero Wayan Mudita menyebutkan, karena saat ini jumlah krama Desa Adat Suwug sudah mencapai 1.423 kepala keluarga (KK), maka penetapan Krama 40 itu dilakukan secara bergiliran di masing-masing banjar adat. Di Desa Adat Suwug terdapat empat banjar adat, yakni Banjar Kajanan, Banjar Kelodan, Banjar Sabi, dan Banjar Lebah.
“Misalnya satu banjar penduduknya ada 120 KK, maka selama 3 tahun krama di banjar itulah yang akan mendapat giliran sebagai Krama Petangdasa (Krama 40). Setelah tuntas, barulah bergeser ke banjar lain. Nanti Kelian Banjar Adat yang paling paham soal siapa saja warganya yang akan mendapat giliran menjadi Krama Petangdasa,” terang pria yang berprofesi sebagai lawyer dan belum lama terpilih jadi Kelian Desa Adat Suwug ini.
Menurut Jero Wayan Mudita, krama yang mendapat giliran menjadi Krama 40 tidak boleh menolak tugas, kendati merantau ke luar desa. Mereka wajib pulang saat tradisi Metata Linggih Sekaha Petangdasa dilaksanakan, apabila gilirannya telah tiba. “Apa pun jabatannya, apa pun status sosialnya, mereka wajib menjadi Krama Petandasaa. Mau tinggal di Denpasar atau luar negeri, juga wajib ikut. Mereka sadar untuk nyangra wali ini,” katanya.
Hanya saja, kata Jero Mudita, bagi krama yang janda atau duda, jika mendapat giliran, bisa digantikan oleh krama lainnya. Sedangkan jika ada krama yang sudah sepuh atau lingsir, juga bisa digantikan oleh anaknya yang telah menikah.
Sementara itu, Jero Bendesa Adat Suwug, Jero Gede Artana, selaku Bhaga Parahyangan, menjelaskan tradisi ritual Metata Linggih Sekaha Petangdasa diawali dengan penentuan giliran menjadi Krama 40 oleh Kelian Banjar Adat. Setelah ditentukan, maka Krama 40 bersama pasangannya (suami-istri) melakoni ritual Mekala-kalan di Pura Desa Adat Suwug.
Usai prosesi Mekala-kalan, seluruh Krama 40 menjalani ritual Ngutang Reged (membuang pengaruh negatif), dengan simbol membuang kain putih kuning, pakaian yang dikenakan saat ritual Mekala-kalan di sungai Pura Beji Desa Adat Suwug. “Biasanya, prosesi mandi dan membuang pakaian, tetapi sekarang hanya disimbolkan saja, cukup dengan membasuh muka, kemudian membuang kain putih kuning yang dikenakan,” jelas Jero Bendesa Artana.
Usai ritual Ngutang Reged, seluruh Krama 40 melanjutkan ritual Mejaya-jaya di Pura Desa Adat Suwug. Dengan ritual Mejaya-jaya ini, seluruh Krama 40 dianggap sudah bersih secara lahir dan bathin, serta siap untuk ngayah.
Sementara itu, bagi Krama 40a yang mengakhiri tugasnya, saat tradisi ritual Metata Linggih Petangdasa itu memiliki kewajiab terakhir berupa menghaturkan lawar Intaran ke Pura Desa Adat Suwug. Konon, dulu saat tradisi Metata Linggih, sejatinya krama selalu menyemblih seekor kerbau. Namun ketika hendak disemblih, kerbau yang diikaat di pohon Intaran lari dan menghilang. Nah, untuk mengganti kerbau tersebut, dipakailah daun Intaran untuk lawar.
Menurut Jero Bendesa Artana, lawar Intaran ini dianggap sebagai simbol sad rasa (6 rasa): manis, pahit, asin, masam, sepet, dan pedas. Hanya saja, kenyataannya lawar Intaran ini didominasi oleh rasa pahit dari daun Intaran, bercampur manis dari air parutan kelapa. “Oleh krama, lawar Intaran itu dimaknai bilamana saat menjalani tegak medesa, pasti merasakan pahit manisnya kehidupan. Dan, itu harus dijalani demi kebersaamaan,” katanya. *k19
Seusai namanya, tradisi ritual Metata Linggih Sekaha Petangdasa ini berupa pergantian krama pengayah yang berjumlah 40 (petangdasa) orang. Mereka yang berhak menjadi Krama 40 adalah krama yang sudah menikah, baik laki maupun perempuan. Krama 40 yang diganti setahun sekali, memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan upacara selama satu putaran dalam setahun, baik itu di parahyangan, pawongan, maupun palemahan wewidangan Desa Adat Suwug.
Dalam tradisi Metata Linggih Sekaha Petangdasa ini, krama yang ditunjuk menjadi Krama 40 harus melewati beberapa ritual simbol penyucian skala niskala. Salah satunya, prosesi membuang pakaian saat penyucian diri di Pura Beji.
Kelian Desa Adat Suwug, Jero Wayan Mudita, mengatakan pelaksanaan tradisi ritual Metata Linggih Sekaha Petangdasa dilakukan pada Purnamaning Kaulu, karena secara filosofis Sasih Kaulu dianggap sebagai hulu atau awal mulai. Sedangkan jumlah krama harus 40 orang, karena jumlah para tetua yang mendirikan Desa Adat Suwug konon berjumlah 40 orang. Mereka diyakini sebagai orang yang melaksanakan kegiatan upacara yang ada di wewidangan Desa Adat Suwug.
“Konon, dulu yang melaksanakan semua kegiatan upacara di Desa Adat Suwug hanya 40 orang. Sampai sekarang, kami meyakini dan tetap melaksanakan kegiatan Metata Linggih Sekaha bagi Krama 40,” jelas Jero Wayan Mudita kepada NusaBali.
Jero Wayan Mudita menyebutkan, karena saat ini jumlah krama Desa Adat Suwug sudah mencapai 1.423 kepala keluarga (KK), maka penetapan Krama 40 itu dilakukan secara bergiliran di masing-masing banjar adat. Di Desa Adat Suwug terdapat empat banjar adat, yakni Banjar Kajanan, Banjar Kelodan, Banjar Sabi, dan Banjar Lebah.
“Misalnya satu banjar penduduknya ada 120 KK, maka selama 3 tahun krama di banjar itulah yang akan mendapat giliran sebagai Krama Petangdasa (Krama 40). Setelah tuntas, barulah bergeser ke banjar lain. Nanti Kelian Banjar Adat yang paling paham soal siapa saja warganya yang akan mendapat giliran menjadi Krama Petangdasa,” terang pria yang berprofesi sebagai lawyer dan belum lama terpilih jadi Kelian Desa Adat Suwug ini.
Menurut Jero Wayan Mudita, krama yang mendapat giliran menjadi Krama 40 tidak boleh menolak tugas, kendati merantau ke luar desa. Mereka wajib pulang saat tradisi Metata Linggih Sekaha Petangdasa dilaksanakan, apabila gilirannya telah tiba. “Apa pun jabatannya, apa pun status sosialnya, mereka wajib menjadi Krama Petandasaa. Mau tinggal di Denpasar atau luar negeri, juga wajib ikut. Mereka sadar untuk nyangra wali ini,” katanya.
Hanya saja, kata Jero Mudita, bagi krama yang janda atau duda, jika mendapat giliran, bisa digantikan oleh krama lainnya. Sedangkan jika ada krama yang sudah sepuh atau lingsir, juga bisa digantikan oleh anaknya yang telah menikah.
Sementara itu, Jero Bendesa Adat Suwug, Jero Gede Artana, selaku Bhaga Parahyangan, menjelaskan tradisi ritual Metata Linggih Sekaha Petangdasa diawali dengan penentuan giliran menjadi Krama 40 oleh Kelian Banjar Adat. Setelah ditentukan, maka Krama 40 bersama pasangannya (suami-istri) melakoni ritual Mekala-kalan di Pura Desa Adat Suwug.
Usai prosesi Mekala-kalan, seluruh Krama 40 menjalani ritual Ngutang Reged (membuang pengaruh negatif), dengan simbol membuang kain putih kuning, pakaian yang dikenakan saat ritual Mekala-kalan di sungai Pura Beji Desa Adat Suwug. “Biasanya, prosesi mandi dan membuang pakaian, tetapi sekarang hanya disimbolkan saja, cukup dengan membasuh muka, kemudian membuang kain putih kuning yang dikenakan,” jelas Jero Bendesa Artana.
Usai ritual Ngutang Reged, seluruh Krama 40 melanjutkan ritual Mejaya-jaya di Pura Desa Adat Suwug. Dengan ritual Mejaya-jaya ini, seluruh Krama 40 dianggap sudah bersih secara lahir dan bathin, serta siap untuk ngayah.
Sementara itu, bagi Krama 40a yang mengakhiri tugasnya, saat tradisi ritual Metata Linggih Petangdasa itu memiliki kewajiab terakhir berupa menghaturkan lawar Intaran ke Pura Desa Adat Suwug. Konon, dulu saat tradisi Metata Linggih, sejatinya krama selalu menyemblih seekor kerbau. Namun ketika hendak disemblih, kerbau yang diikaat di pohon Intaran lari dan menghilang. Nah, untuk mengganti kerbau tersebut, dipakailah daun Intaran untuk lawar.
Menurut Jero Bendesa Artana, lawar Intaran ini dianggap sebagai simbol sad rasa (6 rasa): manis, pahit, asin, masam, sepet, dan pedas. Hanya saja, kenyataannya lawar Intaran ini didominasi oleh rasa pahit dari daun Intaran, bercampur manis dari air parutan kelapa. “Oleh krama, lawar Intaran itu dimaknai bilamana saat menjalani tegak medesa, pasti merasakan pahit manisnya kehidupan. Dan, itu harus dijalani demi kebersaamaan,” katanya. *k19
1
Komentar