MUTIARA WEDA: Teroris dan Dharma
Dharma menopang masyarakat. Dharma memelihata keteraturan sosial. Dharma memastikan kesejahteraan dan perkembangan umat manusia. Dharma sungguh memenuhi tujuan ini.
Dharanat dharma mityahu dharmo dhara yate prajaha,
Yat syad dharanasamyuktam sa dharma iti nischayaha.
(Karna Parwa. 69.58)
DHARMA bicara tentang kesejahteraan dan keteraturan masyarakat. Kemanusiaan adalah intinya. Artinya, perjuangan kemanusiaan itu adalah dharma. Siapapun yang bergerak atas nama kemanusiaan sama artinya telah menjalankan dharma. Sehingga dengan demikian, jika ada yang menolak orang yang bertindak atas nama kemanusiaan, mereka itu sendiri sesungguhnya yang melanggar dharma. Menolak kemanusiaan adalah adharma. Ini sudah dipastikan demikian. Hukum telah menentukannya demikian. Kemanusiaan dan dharma saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Jika setiap orang mampu bertindak di atas asas-asas kemanusiaan dan bukan untuk kepentingannya sendiri, maka dharma dipastikan akan tegak berdiri, demikian sebaliknya. Jika dharma tegak, maka masyarakat tentu akan teratur dan sejahtera.
Namun, jika perjuangan atas nama kemanusiaan nantinya justru bisa melemahkan dharma, itu adalah kebodohan. Tentu ‘kemanusiaan’ tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dharma. Memang kemanusiaan dan dharma bisa bertentangan? Tidak. Hukum ini telah abadi dan tidak pernah bertentangan. Lalu, apa maksud ‘bertentangan’ tersebut? Yang bertentangan adalah konsekuensi yang muncul kemudian dari aktivitas kemanusiaan itu. Kenapa bisa? Mari kita lihat contoh kasus yang lagi hits belakangan ini. Sejumlah orang dengan ideologi fundamentalis radikal yang perjuangannya bertentangan dengan kemanusiaan (atau disebut teroris kemanusiaan) telah meninggalkan bangsanya sendiri dan dengan lantang mengumumkan untuk membela ideologinya itu. Setelah kekuatannya melemah di medan perang yang diidamkannya tersebut, lalu mereka ingin kembali pulang. Jika kemudian mereka diterima atas nama kemanusiaan, konsekuensi darinya inilah yang bertentangan dengan dharma.
Jika itu atas nama kemanusiaan, maka menghukum mereka itu adalah cara yang paling selaras dengan dharma. Jika menerima orang Indonesia dari Wuhan yang di-suspect virus corona atas nama kemanusiaan, mungkin bisa lebih selaras dengan dharma. Mengapa? Karena yang dilawan adalah virusnya, dan yang melawan virus itu adalah kita semua termasuk dari mereka yang terjangkit virus itu sendiri. Sementara itu, jika teroris diterima atas nama kemanusiaan, mereka yang diterima itu tidak ikut berjuang untuk melawan musuh, melainkan mereka akan menjadikan kita musuh dan membuat kehancuran yang lebih besar. ‘Atas nama kemanusiaan’ itu tidak lagi membuat masyarakat teratur dan sejahtera, melainkan sebaliknya porak poranda. Jika teroris diterima, yang dilawan kemudian adalah bangsanya sendiri. Tentu ini dengan sendirinya bertentangan dengan dharma. Setiap tindakan yang membuat kekacauan masyarakat adalah adharma.
Bagaimana ‘atas nama kemanusiaan’ itu bisa diaplikasikan kepada teroris tersebut? Yang paling bijak adalah mengembalikannya kepada sang waktu. Biarkan mereka tetap pada pilihan awal, yakni tetap bergumul dengan ideologinya sendiri. Jika kemudian mereka menderita, biarkan mereka berteduh di bawah ideologinya. Jika ideologinya tersebut tidak mampu memayunginya, biarkan itu sebagai bentuk hukuman. Orang biasanya bangkit jika dia ada dalam penderitaan. Perubahan kesadaran muncul dari penderitaan dan tidak dari kenyamanan. Bukankan lebih manusiawi jika kita terima kemudian kita adakan pembinaan terhadap mereka? Menerima dan membina itu adalah bentuk kenyamanan. Pikiran yang telah berideologi ganjil tidak mungkin lurus dengan cara dibina. Justru mereka akan mendapat kesempatan untuk tumbuh subur. Mengapa? Biasanya, cara kerja ideologi teroris itu seperti HIV. Ia akan tumbuh dan membiak jika mendapat kesempatan dan diam tidak bergerak jika kondisi tidak memungkinkan. Jadi, jika memang benar atas nama kemanusiaan, menerima dan membinanya bukanlah solusi. Yang paling tepat adalah membiarkan mereka berdialog, berdiskusi, bersitegang, atau bahkan berperang dengan ideologinya sendiri. Biarlah mereka seperti api. Jika bahan bakar telah habis dan tidak ada yang bisa dibakarnya lagi, maka ia akan membakar dirinya sendiri. Itu adalah cara kemanusiaan yang paling mendekati dharma. Jika setiap tindakan yang dilakukan untuk mereka tetap bertentangan dengan dharma, maka hal yang masih tersisa agar tetap sejalan dengan dharma adalah dengan tidak melakukan apa-apa terhadapnya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana institute of Vedanta
(Karna Parwa. 69.58)
DHARMA bicara tentang kesejahteraan dan keteraturan masyarakat. Kemanusiaan adalah intinya. Artinya, perjuangan kemanusiaan itu adalah dharma. Siapapun yang bergerak atas nama kemanusiaan sama artinya telah menjalankan dharma. Sehingga dengan demikian, jika ada yang menolak orang yang bertindak atas nama kemanusiaan, mereka itu sendiri sesungguhnya yang melanggar dharma. Menolak kemanusiaan adalah adharma. Ini sudah dipastikan demikian. Hukum telah menentukannya demikian. Kemanusiaan dan dharma saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Jika setiap orang mampu bertindak di atas asas-asas kemanusiaan dan bukan untuk kepentingannya sendiri, maka dharma dipastikan akan tegak berdiri, demikian sebaliknya. Jika dharma tegak, maka masyarakat tentu akan teratur dan sejahtera.
Namun, jika perjuangan atas nama kemanusiaan nantinya justru bisa melemahkan dharma, itu adalah kebodohan. Tentu ‘kemanusiaan’ tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dharma. Memang kemanusiaan dan dharma bisa bertentangan? Tidak. Hukum ini telah abadi dan tidak pernah bertentangan. Lalu, apa maksud ‘bertentangan’ tersebut? Yang bertentangan adalah konsekuensi yang muncul kemudian dari aktivitas kemanusiaan itu. Kenapa bisa? Mari kita lihat contoh kasus yang lagi hits belakangan ini. Sejumlah orang dengan ideologi fundamentalis radikal yang perjuangannya bertentangan dengan kemanusiaan (atau disebut teroris kemanusiaan) telah meninggalkan bangsanya sendiri dan dengan lantang mengumumkan untuk membela ideologinya itu. Setelah kekuatannya melemah di medan perang yang diidamkannya tersebut, lalu mereka ingin kembali pulang. Jika kemudian mereka diterima atas nama kemanusiaan, konsekuensi darinya inilah yang bertentangan dengan dharma.
Jika itu atas nama kemanusiaan, maka menghukum mereka itu adalah cara yang paling selaras dengan dharma. Jika menerima orang Indonesia dari Wuhan yang di-suspect virus corona atas nama kemanusiaan, mungkin bisa lebih selaras dengan dharma. Mengapa? Karena yang dilawan adalah virusnya, dan yang melawan virus itu adalah kita semua termasuk dari mereka yang terjangkit virus itu sendiri. Sementara itu, jika teroris diterima atas nama kemanusiaan, mereka yang diterima itu tidak ikut berjuang untuk melawan musuh, melainkan mereka akan menjadikan kita musuh dan membuat kehancuran yang lebih besar. ‘Atas nama kemanusiaan’ itu tidak lagi membuat masyarakat teratur dan sejahtera, melainkan sebaliknya porak poranda. Jika teroris diterima, yang dilawan kemudian adalah bangsanya sendiri. Tentu ini dengan sendirinya bertentangan dengan dharma. Setiap tindakan yang membuat kekacauan masyarakat adalah adharma.
Bagaimana ‘atas nama kemanusiaan’ itu bisa diaplikasikan kepada teroris tersebut? Yang paling bijak adalah mengembalikannya kepada sang waktu. Biarkan mereka tetap pada pilihan awal, yakni tetap bergumul dengan ideologinya sendiri. Jika kemudian mereka menderita, biarkan mereka berteduh di bawah ideologinya. Jika ideologinya tersebut tidak mampu memayunginya, biarkan itu sebagai bentuk hukuman. Orang biasanya bangkit jika dia ada dalam penderitaan. Perubahan kesadaran muncul dari penderitaan dan tidak dari kenyamanan. Bukankan lebih manusiawi jika kita terima kemudian kita adakan pembinaan terhadap mereka? Menerima dan membina itu adalah bentuk kenyamanan. Pikiran yang telah berideologi ganjil tidak mungkin lurus dengan cara dibina. Justru mereka akan mendapat kesempatan untuk tumbuh subur. Mengapa? Biasanya, cara kerja ideologi teroris itu seperti HIV. Ia akan tumbuh dan membiak jika mendapat kesempatan dan diam tidak bergerak jika kondisi tidak memungkinkan. Jadi, jika memang benar atas nama kemanusiaan, menerima dan membinanya bukanlah solusi. Yang paling tepat adalah membiarkan mereka berdialog, berdiskusi, bersitegang, atau bahkan berperang dengan ideologinya sendiri. Biarlah mereka seperti api. Jika bahan bakar telah habis dan tidak ada yang bisa dibakarnya lagi, maka ia akan membakar dirinya sendiri. Itu adalah cara kemanusiaan yang paling mendekati dharma. Jika setiap tindakan yang dilakukan untuk mereka tetap bertentangan dengan dharma, maka hal yang masih tersisa agar tetap sejalan dengan dharma adalah dengan tidak melakukan apa-apa terhadapnya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana institute of Vedanta
Komentar