Petugas BPN Nyaris Dikroyok
Situasi panas berawal ketika petugas BPN ukur ulang luas lahan.
Sengketa Lahan di Yeh Lembu Bungkulan
SINGARAJA, NusaBali
Penanganan sengketa lahan seluas kurang lebih 2 are di Dusun Munduk, Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng, memanas, Jumat (12/8) pagi. Puluhan krama Pangempon Pura Yeh Lembu di dusun setempat yang sejak awal mengklaim sebagai tanah negera (TN), naik pitam dan nyaris mengroyok petugas ukur dari Badan Pertanahan Negara (BPN) Singaraja.
Beruntung situasi itu berhasil dikendalikan oleh jajaran Polsek Sawan. Situasi panas berawal ketika petugas BPN Singaraja kembali ukur ulang untuk memastikan luas lahan sesuai sertifikat hak milik seluas 45 are, Jumat kemarin. Tindakan ini menyusul hasil ukur sebelumnya dalam penetapan batas-batas lahan pada tanggal 27 Juli 2016, diketahui luas lahan masih kurang. Nah, luas lahan yang kurang tersebut, disinyalir berada di lahan yang diklaim oleh krama pangempon yang dipakai Bale Gong sekaligus Balai Pasanekan.
Ketika empat petugas BPN mulai menentukan titik bentangan alat ukur di lokasi Bale Pesanekan, krama pangempon langsung menolak. Krama bahkan mencerca petugas BPN dengan pertanyaan dan cacian. “Petugas yang mengukur dulu mana, ini bangunan sudah ada tahun 2005, dan surat bupati sudah jelas menyatakan tanah ini adalah tanah Negara, kenapa tanah ini juga ikut ditetapkan sebagai batasnya,” tanya warga.
Emosi krama mulai memuncak saat pihak BPN mengaku tidak tahu menahu petugas ukur yang dulu. Bahkan, salah seorang krama langsung mencari salah seorang petugas BPN dan menariknya. Beruntung jajaran Polsek Sawan yang sejak pagi sudah mengawal rencana pengukuran itu langsung melerai dan mengamankan petugas BPN. Pengukuran ulang pun akhirnya dibatalkan jajaran Polsek Sawan demi situasi kondusif.
Krama pangempon yang keberatan berencana menanyakan kembali proses pengukuran itu kepada BPN. Bahkan krama mengancam melaporkan petugas ukur jika ditemukan ada kesalahan dalam pengukuran sebelumnya hingga terbit sertifikat hak milik. “Kami akan tanyakan ke BPN, jelas kami keberatan dan kami tidak terima batas lahan hak milik berada di sini (lokasi Bale Pesanekan, Red),” tegas Wakil Kelian Pangempon Pura Yeh Lembu, Ketut Sutama diamini juga oleh tokoh masyarakat Ketut Sumardhana.
Sumardhana menduga, pihak BPN tidak jeli dalam dengan penetapan batas-batas lahan yang ditunjukkan oleh pemilik lahan, saat pengukuran pertama hingga terbit sertifikat hak milik. Karena, lahan yang ditetapkan sebagai batas, sudah ditegaskan melalui surat bupati bahwa lahan itu adalah tanah negara. “Saya tanya siapa yang ngukur dulu, katanya tidak tahu. Kalau terus seperti ini, saya akan laporkan persoalan ini ke BPN pusat. Karena bangunannya sudah ada sejak tahun 2005, artinya waktu pengukuran dulu yang diukur sampai bangunan ini (Bale Pasanekan),” katanya.
Sementara itu, kuasa hukum pemilik lahan Luh Erna, Nyoman Wisnu di lokasi mengungkapkan, lahan yang dibeli oleh orang tua kliennya seluas 50 are. Saat dibeli masih dalam bentuk pipil dan ada bukti pembayaran pajak SPPT. Dari 50 are itu sekitar 5 are, disumbangkan untuk pelebaran jalan. Nah, karena sempat dimasalahkan oleh krama, maka pemilik lahan sebelumnya yakni Ketut Widi membuat sertifikat pada tahun 2013. Maka sertifikat itu terbit dengan luas 45 are, dari sertifikat itulah kemudian dibuatkan akte jual beli. “Kalau sekarang ada yang keberatan silakan saja, itu sah-saha saja. Silakan kalau keberatan ajukan gugatan hukum,” katanya.
Nyoman Wisnu juga mengingatkan hasil mediasi di Polda Bali, dimana kedua belah pihak yang bersengketa sudah sepakat dengan hasil akhir dari pengukuran terhadap batas-batas lahan. Artinya jika nanti lahan yang disengketakan berada di luar batas lahan hak milik kliennya, maka lahan itu menjadi hak krama pangempon. Demikian juga pihak pangempon sepakat, jika nanti lahan sengketa masuk dalam luas lahan hak milik, maka pangempon juga tidak akan mempermasalahkan. “Kesepakatan itu diputuskan di Polda oleh prajuru pangempon dan kami. Kalau sekarang seperti ini, kita tunggu saja keputusan dari BPN, kalau keberatan silakan tempuh jalur hukum,” tandasnya.* k1
SINGARAJA, NusaBali
Penanganan sengketa lahan seluas kurang lebih 2 are di Dusun Munduk, Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng, memanas, Jumat (12/8) pagi. Puluhan krama Pangempon Pura Yeh Lembu di dusun setempat yang sejak awal mengklaim sebagai tanah negera (TN), naik pitam dan nyaris mengroyok petugas ukur dari Badan Pertanahan Negara (BPN) Singaraja.
Beruntung situasi itu berhasil dikendalikan oleh jajaran Polsek Sawan. Situasi panas berawal ketika petugas BPN Singaraja kembali ukur ulang untuk memastikan luas lahan sesuai sertifikat hak milik seluas 45 are, Jumat kemarin. Tindakan ini menyusul hasil ukur sebelumnya dalam penetapan batas-batas lahan pada tanggal 27 Juli 2016, diketahui luas lahan masih kurang. Nah, luas lahan yang kurang tersebut, disinyalir berada di lahan yang diklaim oleh krama pangempon yang dipakai Bale Gong sekaligus Balai Pasanekan.
Ketika empat petugas BPN mulai menentukan titik bentangan alat ukur di lokasi Bale Pesanekan, krama pangempon langsung menolak. Krama bahkan mencerca petugas BPN dengan pertanyaan dan cacian. “Petugas yang mengukur dulu mana, ini bangunan sudah ada tahun 2005, dan surat bupati sudah jelas menyatakan tanah ini adalah tanah Negara, kenapa tanah ini juga ikut ditetapkan sebagai batasnya,” tanya warga.
Emosi krama mulai memuncak saat pihak BPN mengaku tidak tahu menahu petugas ukur yang dulu. Bahkan, salah seorang krama langsung mencari salah seorang petugas BPN dan menariknya. Beruntung jajaran Polsek Sawan yang sejak pagi sudah mengawal rencana pengukuran itu langsung melerai dan mengamankan petugas BPN. Pengukuran ulang pun akhirnya dibatalkan jajaran Polsek Sawan demi situasi kondusif.
Krama pangempon yang keberatan berencana menanyakan kembali proses pengukuran itu kepada BPN. Bahkan krama mengancam melaporkan petugas ukur jika ditemukan ada kesalahan dalam pengukuran sebelumnya hingga terbit sertifikat hak milik. “Kami akan tanyakan ke BPN, jelas kami keberatan dan kami tidak terima batas lahan hak milik berada di sini (lokasi Bale Pesanekan, Red),” tegas Wakil Kelian Pangempon Pura Yeh Lembu, Ketut Sutama diamini juga oleh tokoh masyarakat Ketut Sumardhana.
Sumardhana menduga, pihak BPN tidak jeli dalam dengan penetapan batas-batas lahan yang ditunjukkan oleh pemilik lahan, saat pengukuran pertama hingga terbit sertifikat hak milik. Karena, lahan yang ditetapkan sebagai batas, sudah ditegaskan melalui surat bupati bahwa lahan itu adalah tanah negara. “Saya tanya siapa yang ngukur dulu, katanya tidak tahu. Kalau terus seperti ini, saya akan laporkan persoalan ini ke BPN pusat. Karena bangunannya sudah ada sejak tahun 2005, artinya waktu pengukuran dulu yang diukur sampai bangunan ini (Bale Pasanekan),” katanya.
Sementara itu, kuasa hukum pemilik lahan Luh Erna, Nyoman Wisnu di lokasi mengungkapkan, lahan yang dibeli oleh orang tua kliennya seluas 50 are. Saat dibeli masih dalam bentuk pipil dan ada bukti pembayaran pajak SPPT. Dari 50 are itu sekitar 5 are, disumbangkan untuk pelebaran jalan. Nah, karena sempat dimasalahkan oleh krama, maka pemilik lahan sebelumnya yakni Ketut Widi membuat sertifikat pada tahun 2013. Maka sertifikat itu terbit dengan luas 45 are, dari sertifikat itulah kemudian dibuatkan akte jual beli. “Kalau sekarang ada yang keberatan silakan saja, itu sah-saha saja. Silakan kalau keberatan ajukan gugatan hukum,” katanya.
Nyoman Wisnu juga mengingatkan hasil mediasi di Polda Bali, dimana kedua belah pihak yang bersengketa sudah sepakat dengan hasil akhir dari pengukuran terhadap batas-batas lahan. Artinya jika nanti lahan yang disengketakan berada di luar batas lahan hak milik kliennya, maka lahan itu menjadi hak krama pangempon. Demikian juga pihak pangempon sepakat, jika nanti lahan sengketa masuk dalam luas lahan hak milik, maka pangempon juga tidak akan mempermasalahkan. “Kesepakatan itu diputuskan di Polda oleh prajuru pangempon dan kami. Kalau sekarang seperti ini, kita tunggu saja keputusan dari BPN, kalau keberatan silakan tempuh jalur hukum,” tandasnya.* k1
Komentar