Sopir Wajib Pakaian Adat Saat Beroperasi
Redam Konflik Antar Sopir, Koster Terbitkan Pergub 2/2020
Gubernur Koster ingatkan para sopir harus bisa Bahasa Bali, tahu dan paham destinasi di Pulau Dewata, jangan sampai Pura Tanah Lot disebut Pura Besakih
DENPASAR, NusaBali
Gubernur Bali Wayan Koster terbitkan Pergub Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Angkutan pada Pangkalan di Kawasan Tertentu, sebagai bagian upaya redam konflik antara sopir konvensional dan sopir berbasis aplikasi (online). Nantinya, se-mua sopir konvensional berbasis pangkalan wajib kenakan pakaian adat saat beroperasi.
Pergub Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Angkutan pada Pangkalan di Kawasan Tertentu ini dilaunching Gubernur Koster di Lapangan Apel Kantor Gubernur Bali, Niti Mandala Denpasar, Jumat (14/2) siang, dengan menghadirkan sekitar 500 perwakilan sopir konvensional se-Bali. Dalam acara tersebut, Gubernur Koster didampingi Sekda Provinsi Bali Dewa Made Indra dan Kadis Perhubungan Provinsi Bali, I Wayan Gede Samsi Gunartha.
Pantauan NusaBali, begitu memasuki lapangan, Gubernur Koster langsung disambut yel-yel 500 sopir konvensional. "Merdeka.., Koster Dua Periode!" pekik para sopir yang kemarin kompak hadir menggunakan pakaian adat madya.
Gubernur Koster menunjukan kelihaiannya berkomunikasi politik. Gubernur yang notabene Ketua DPD PDIP Bali ini pun langsung ambil pengeras suara, kemudian memanggil Koordinator Sopir Konvensional, Pande Nyoman Suwendra, yang sebelumnya sempat memimpin aksi demo. "Jangan dua periode dulu, nantilah itu. Sekarang mana itu koordinator para sopir yang dulu marah-marah demo ke saya? Ayo ke sini mendekat saya," pinta Koster disambut tepuk tangan para sopir.
Karena ditunjuk hidung, Pande Suwendra pun akhirnya mendekat dan berdiri di sebelah Koster. "Sudah, sekarang jangan marah-marah lagi. Tapi, terima kasih karena marah-marahnya berniat baik. Hasilnya sekarang baik, dengan keluar Pergub yang mengatur keberadaan sopir konvensional," beber Koster.
Koster menyebutkan, proses terbitnya Pergub Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur keberadaan sopir konvensional di kawasan tertentu ini bukanlah hal mudah. Sebab, Koster harus melakukan lobi ke pusat dengan argumentasi yang kuat, supaya Pergub yang berisi 9 bab dan 14 pasal ini tidak bertentangan dengan aturan di atasnya.
Bahkan, kata Koster, dirinya selaku Gubernur Bali harus berbicara serius dengan Mendagri Tito Karnavian untuk memuluskan terbitnya Pergub Nomor 2 Tahun 2020 ini. "Jadi, ini tidak mudah, bukan begitu saja Pergub bisa terbit. Panjang prosesnya. Saya setiap malam bicara dengan kementerian terkait. Saya bicara dengan menteri-nya langsung," ungkap Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng ini.
Menurut Koster, terbitnya Pergub 2/2020 ini dilatarbelakangi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017 yang telah diubah menjadi Permenhub Nomor 118 Tahun 2018 tentang Angkutan Sewa Khusus (angkutan berbasis online). Permenhub 118/2019 inilah yang dinilai memicu konflik. Masalahnya, angkutan berbasis aplikasi memasuki dan mengangkut penumpang dari wilayah pangkalan.
"Saya sedih, terjadi konflik yang tidak hanya berdampak terhadap ekonomi, tapi juga berdampak pada pariwisata Bali. Soalnya, penumpang terutama turis juga jadi korban akibat konflik antar sopir ini. Apalagi, ada yang sampai masuk ke persoalan hukum," papar Koster.
Nah, Pergub 2/2020 ini mengatur trayek kendaraan berbasis pangkalan dengan trayek lain, termasuk juga dengan kendaraan sewa berbasis aplikasi. "Pergub Nomor 2 tahun 2020 ini mengaturnya, Pemprov Bali akan membina keberadaan para sopir angkutan. Maka, selain ada pengaturan lewat Pergub ini, ada sanksinya juga kalau dilanggar," tegas mantan anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Dapil Bali tiga kali periode (2004-2009, 2009-2014, 2014-2018) ini.
Sanksi administratif akan diterapkan bagi yang melanggar, mulai dengan teguran tertulis, pencabutan izin sementara, sampai pencabutan izin pangkalan, plus denda administrasi. "Kalau ada pengaturan, maka ada sanksi. Kalau aturan sudah diikuti, pasti aman-lah," jelas Koster.
Karena itu, Koster meminta Pergub 2/2020 ini dipatuhi, terutama hal-hal teknis yang mengatur para sopir konvensional berbasis pangkalan. Misalnya, mereka harus masuk satu badan usaha seperti Koperasi. Kemudian, harus kantongi izin dari instansi terkait. "Saya dengar, semuanya sudah gabung dalam Koperasi. Ya, baguslah, mantap kalau begitu," katanya.
Selain tergabung dalam badan usaha, kata Koster, para sopir wajib berperilaku sopan, tidak beroperasi ugal-ugalan, apalagi mabuk-mabukan. Para sopir juga harus mampu berbahasa Bali, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Para sopir mesti tahu dan paham destinasi di Bali. "Jangan sampai Pura Besakih saja tidak tahu sejarahnya. Nanti Pura Luhur Tanah Lot malah dibilang Pura Besakih, fatal itu," tandas Koster.
Yang tak kalau penting dan harus ditaati, para sopir mesti menggunakan pakaian adat Bali saat beroperasi. Bahkan, Gubernur Koster langsung memerintahkan para sopir untuk mendesain seragam pakaian adat Bali yang akan digunakan nanti. "Buat warna yang barak (merah) pakaian adatnya. Nanti saya bantu juga," janji suami dari seniwati multitalenta Ni Putu Putri Suastini ini.
Sementara itu, Kooordinator Sopir Konvensional sekaligus Koordinator Transportasi Bali Bersatu, Pande Nyoman Suwendra, mengatakan terbitan Pergub Nomor 2 Tahun 2020 yang melindungi para sopir pangkalan ini, praktis akan menyudahi konflik antara sopir di Bali. Pade Suwendra berharap semua melaksanakan Pergub yang mengatur keberadaan sopir konvensional ini.
“Semua harus melaksanakan, karena Pergub 2/2020 ini sudah jelas isinya. Kami para sopir menjadi lebih aman dan nyaman bekerja, tanpa ada konflik lagi yang berdampak terhadap pariwisata Bali," tegas Pande Suwendra.
Menurut Pande Suwendra, saat ini kendaraan konvensional yang beroperasi berbasis pangkalan di Bali mencapai 7.500 unit. "Kalau yang sudah berizin dan bersitker, ada sekitar 7.500 kendaraan. Nanti bisa bertambah lagi hingga tembus 10.000 unit, kalau mereka mengurus izinnya," jelas sopir angkutan pariwisata asal Banjar Margaya, Desa Pemecutan Kelod, Kecamatan Denpasar Barat ini. *nat
Pergub Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Angkutan pada Pangkalan di Kawasan Tertentu ini dilaunching Gubernur Koster di Lapangan Apel Kantor Gubernur Bali, Niti Mandala Denpasar, Jumat (14/2) siang, dengan menghadirkan sekitar 500 perwakilan sopir konvensional se-Bali. Dalam acara tersebut, Gubernur Koster didampingi Sekda Provinsi Bali Dewa Made Indra dan Kadis Perhubungan Provinsi Bali, I Wayan Gede Samsi Gunartha.
Pantauan NusaBali, begitu memasuki lapangan, Gubernur Koster langsung disambut yel-yel 500 sopir konvensional. "Merdeka.., Koster Dua Periode!" pekik para sopir yang kemarin kompak hadir menggunakan pakaian adat madya.
Gubernur Koster menunjukan kelihaiannya berkomunikasi politik. Gubernur yang notabene Ketua DPD PDIP Bali ini pun langsung ambil pengeras suara, kemudian memanggil Koordinator Sopir Konvensional, Pande Nyoman Suwendra, yang sebelumnya sempat memimpin aksi demo. "Jangan dua periode dulu, nantilah itu. Sekarang mana itu koordinator para sopir yang dulu marah-marah demo ke saya? Ayo ke sini mendekat saya," pinta Koster disambut tepuk tangan para sopir.
Karena ditunjuk hidung, Pande Suwendra pun akhirnya mendekat dan berdiri di sebelah Koster. "Sudah, sekarang jangan marah-marah lagi. Tapi, terima kasih karena marah-marahnya berniat baik. Hasilnya sekarang baik, dengan keluar Pergub yang mengatur keberadaan sopir konvensional," beber Koster.
Koster menyebutkan, proses terbitnya Pergub Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur keberadaan sopir konvensional di kawasan tertentu ini bukanlah hal mudah. Sebab, Koster harus melakukan lobi ke pusat dengan argumentasi yang kuat, supaya Pergub yang berisi 9 bab dan 14 pasal ini tidak bertentangan dengan aturan di atasnya.
Bahkan, kata Koster, dirinya selaku Gubernur Bali harus berbicara serius dengan Mendagri Tito Karnavian untuk memuluskan terbitnya Pergub Nomor 2 Tahun 2020 ini. "Jadi, ini tidak mudah, bukan begitu saja Pergub bisa terbit. Panjang prosesnya. Saya setiap malam bicara dengan kementerian terkait. Saya bicara dengan menteri-nya langsung," ungkap Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng ini.
Menurut Koster, terbitnya Pergub 2/2020 ini dilatarbelakangi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017 yang telah diubah menjadi Permenhub Nomor 118 Tahun 2018 tentang Angkutan Sewa Khusus (angkutan berbasis online). Permenhub 118/2019 inilah yang dinilai memicu konflik. Masalahnya, angkutan berbasis aplikasi memasuki dan mengangkut penumpang dari wilayah pangkalan.
"Saya sedih, terjadi konflik yang tidak hanya berdampak terhadap ekonomi, tapi juga berdampak pada pariwisata Bali. Soalnya, penumpang terutama turis juga jadi korban akibat konflik antar sopir ini. Apalagi, ada yang sampai masuk ke persoalan hukum," papar Koster.
Nah, Pergub 2/2020 ini mengatur trayek kendaraan berbasis pangkalan dengan trayek lain, termasuk juga dengan kendaraan sewa berbasis aplikasi. "Pergub Nomor 2 tahun 2020 ini mengaturnya, Pemprov Bali akan membina keberadaan para sopir angkutan. Maka, selain ada pengaturan lewat Pergub ini, ada sanksinya juga kalau dilanggar," tegas mantan anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Dapil Bali tiga kali periode (2004-2009, 2009-2014, 2014-2018) ini.
Sanksi administratif akan diterapkan bagi yang melanggar, mulai dengan teguran tertulis, pencabutan izin sementara, sampai pencabutan izin pangkalan, plus denda administrasi. "Kalau ada pengaturan, maka ada sanksi. Kalau aturan sudah diikuti, pasti aman-lah," jelas Koster.
Karena itu, Koster meminta Pergub 2/2020 ini dipatuhi, terutama hal-hal teknis yang mengatur para sopir konvensional berbasis pangkalan. Misalnya, mereka harus masuk satu badan usaha seperti Koperasi. Kemudian, harus kantongi izin dari instansi terkait. "Saya dengar, semuanya sudah gabung dalam Koperasi. Ya, baguslah, mantap kalau begitu," katanya.
Selain tergabung dalam badan usaha, kata Koster, para sopir wajib berperilaku sopan, tidak beroperasi ugal-ugalan, apalagi mabuk-mabukan. Para sopir juga harus mampu berbahasa Bali, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Para sopir mesti tahu dan paham destinasi di Bali. "Jangan sampai Pura Besakih saja tidak tahu sejarahnya. Nanti Pura Luhur Tanah Lot malah dibilang Pura Besakih, fatal itu," tandas Koster.
Yang tak kalau penting dan harus ditaati, para sopir mesti menggunakan pakaian adat Bali saat beroperasi. Bahkan, Gubernur Koster langsung memerintahkan para sopir untuk mendesain seragam pakaian adat Bali yang akan digunakan nanti. "Buat warna yang barak (merah) pakaian adatnya. Nanti saya bantu juga," janji suami dari seniwati multitalenta Ni Putu Putri Suastini ini.
Sementara itu, Kooordinator Sopir Konvensional sekaligus Koordinator Transportasi Bali Bersatu, Pande Nyoman Suwendra, mengatakan terbitan Pergub Nomor 2 Tahun 2020 yang melindungi para sopir pangkalan ini, praktis akan menyudahi konflik antara sopir di Bali. Pade Suwendra berharap semua melaksanakan Pergub yang mengatur keberadaan sopir konvensional ini.
“Semua harus melaksanakan, karena Pergub 2/2020 ini sudah jelas isinya. Kami para sopir menjadi lebih aman dan nyaman bekerja, tanpa ada konflik lagi yang berdampak terhadap pariwisata Bali," tegas Pande Suwendra.
Menurut Pande Suwendra, saat ini kendaraan konvensional yang beroperasi berbasis pangkalan di Bali mencapai 7.500 unit. "Kalau yang sudah berizin dan bersitker, ada sekitar 7.500 kendaraan. Nanti bisa bertambah lagi hingga tembus 10.000 unit, kalau mereka mengurus izinnya," jelas sopir angkutan pariwisata asal Banjar Margaya, Desa Pemecutan Kelod, Kecamatan Denpasar Barat ini. *nat
1
Komentar