Valentine Ala RSUP Sanglah, Bahas Toxic Relationship
Valentine diartikan sebagai hari kasih sayang. Kasih sayang biasanya merujuk pada sebuah hubungan yang sehat.
DENPASAR, NusaBali
Namun dalam sejumlah kasus di lapangan, sebuah hubungan dijalani dengan cara yang tidak sehat sehingga hubungan menjadi ‘toxic relationship’. Nah, hubungan yang tidak sehat ini menjadi menarik ketika dibahas oleh para spesialis kejiwaan RSUP Sanglah, tepat saat momentum Hari Valentine, Jumat (14/2) di Aula Werkudara Poliklinik rumah sakit setempat.
Ada tiga pembicara psikiater yang didatangkan dalam acara yang digagas oleh Departemen/KSM Psikiatri FK Unud/RSUP Sanglah itu. Mereka di antaranya Dr dr Lely Setyawati Kurniawan SpKJ (K) yang membahas tentang ‘Berpasangan, Benarkah Bahagia atau Stres?’, Dr dr Cok Bagus Jaya Lesmana SpKJ (K) MARS dengan materi ‘Kiat Sukses Mengenali dan Memilih Pasangan’, serta dr Ni Ketut Sri Diniari SpKJ (K) yang membahas mengenai ‘Tegar Menghadapi Perselingkuhan, Bangkit dan Pulih Pasca Perselingkuhan’. Tak dinyana, peserta diskusi begitu antusias menyimak materi tentang ‘masalah hati’ ini.
Kepala Departemen/KSM Psikiatri FK Unud/RSUP Sanglah, dr Ni Ketut Putri Ariani SpKJ, mengatakan belakangan ini kasus toxic relationship meningkat kejadiannya. Tidak hanya soal hubungan dengan pasangan, namun juga hubungan orang tua ke anak. Beberapa kasus diantaranya kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), orang ketiga hingga kasus penelantaran anak. “Kasus toxic relationship tidak hanya bagi yang masih pacaran. Belakangan ini yang menikah pun semakin meningkat kasus-kasusnya,” jelasnya.
Menurut dr Putri, beberapa tanda awal yang mengindikasikan sebuah hubungan mengalami toxic relationship di antaranya selalu ingin emosi ketika bertemu pasangan, sering salah paham, sampai merasa tidak ada kerjasama dalam menyelesaikan suatu masalah.
“Posesif juga tanda toxic relationship. Diawasi, kemana-mana ditanya, itu sudah nggak sehat sebenarnya. Sebuah hubungan harus dibangun dengan rasa saling percaya, saling menjaga dan saling menguatkan sebagai sebuah tim,” terangnya.
Termasuk juga ketika dalam suatu hubungan merasa banyak tersakiti dan menderita oleh sikap pasangan. Namun memilih bertahan karena tertutupi rasa cinta dan sayang. Dari sini, kata dr Putri, membutuhkan sebuah keterbukaan dan perlu diajak ngobrol agar terjadi dialog. “Harus saling mengenali satu sama lain. Tidak ada orang yang sempurna. Maka kita harus mengenali lebihnya dan kurangnya. Setiap relationship harus ada komunikasi, perhatian dan tindakan. Jika tiga hal ini tidak berjalan lancar, maka segera dievaluasi,” katanya.
Jika merasa hubungan tidak mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik, dr Putri menyarankan untuk segera berkonsultasi, baik kepada orang yang dipercaya maupun kepada ahlinya. Sebuah toxic relationship bisa saja berujung perpisahan, namun jika ada komitmen untuk memperbaiki bersama-sama, hubungan bisa tetap berlanjut. “Di sini harus ada komitmen. Pertama dia menerima bahwa benar hubungan dia dengan pasangan sedang bermasalah. Kemudian berkomitmen untuk memperbaikinya,” tandasnya. *ind
Ada tiga pembicara psikiater yang didatangkan dalam acara yang digagas oleh Departemen/KSM Psikiatri FK Unud/RSUP Sanglah itu. Mereka di antaranya Dr dr Lely Setyawati Kurniawan SpKJ (K) yang membahas tentang ‘Berpasangan, Benarkah Bahagia atau Stres?’, Dr dr Cok Bagus Jaya Lesmana SpKJ (K) MARS dengan materi ‘Kiat Sukses Mengenali dan Memilih Pasangan’, serta dr Ni Ketut Sri Diniari SpKJ (K) yang membahas mengenai ‘Tegar Menghadapi Perselingkuhan, Bangkit dan Pulih Pasca Perselingkuhan’. Tak dinyana, peserta diskusi begitu antusias menyimak materi tentang ‘masalah hati’ ini.
Kepala Departemen/KSM Psikiatri FK Unud/RSUP Sanglah, dr Ni Ketut Putri Ariani SpKJ, mengatakan belakangan ini kasus toxic relationship meningkat kejadiannya. Tidak hanya soal hubungan dengan pasangan, namun juga hubungan orang tua ke anak. Beberapa kasus diantaranya kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), orang ketiga hingga kasus penelantaran anak. “Kasus toxic relationship tidak hanya bagi yang masih pacaran. Belakangan ini yang menikah pun semakin meningkat kasus-kasusnya,” jelasnya.
Menurut dr Putri, beberapa tanda awal yang mengindikasikan sebuah hubungan mengalami toxic relationship di antaranya selalu ingin emosi ketika bertemu pasangan, sering salah paham, sampai merasa tidak ada kerjasama dalam menyelesaikan suatu masalah.
“Posesif juga tanda toxic relationship. Diawasi, kemana-mana ditanya, itu sudah nggak sehat sebenarnya. Sebuah hubungan harus dibangun dengan rasa saling percaya, saling menjaga dan saling menguatkan sebagai sebuah tim,” terangnya.
Termasuk juga ketika dalam suatu hubungan merasa banyak tersakiti dan menderita oleh sikap pasangan. Namun memilih bertahan karena tertutupi rasa cinta dan sayang. Dari sini, kata dr Putri, membutuhkan sebuah keterbukaan dan perlu diajak ngobrol agar terjadi dialog. “Harus saling mengenali satu sama lain. Tidak ada orang yang sempurna. Maka kita harus mengenali lebihnya dan kurangnya. Setiap relationship harus ada komunikasi, perhatian dan tindakan. Jika tiga hal ini tidak berjalan lancar, maka segera dievaluasi,” katanya.
Jika merasa hubungan tidak mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik, dr Putri menyarankan untuk segera berkonsultasi, baik kepada orang yang dipercaya maupun kepada ahlinya. Sebuah toxic relationship bisa saja berujung perpisahan, namun jika ada komitmen untuk memperbaiki bersama-sama, hubungan bisa tetap berlanjut. “Di sini harus ada komitmen. Pertama dia menerima bahwa benar hubungan dia dengan pasangan sedang bermasalah. Kemudian berkomitmen untuk memperbaikinya,” tandasnya. *ind
1
Komentar