Siswa SDN 1 Buahan Bangkitkan Permainan Tradisional Majukjukan
Sebanyak 64 murid SDN 1 Buahan, Desa Buahan, Kecamatan/Kabupaten Tabanan, mengikuti permainan tradisional majukjukan, Senin (17/2).
TABANAN, NusaBali
Permaianan tradisional ini dilaksanakan sebagai implementasi dari Hari Pangejukan atau dua hari menjelang Hari Raya Galungan.
Tampak para murid sangat ceria mengikuti. Sebelum permainan dimulai, mereka membentuk 16 kelompok, masing-masing kelompok beranggota 4 orang.
Setiap kelompok kemudian membagi tugas, 1 orang menjadi celeng (babi) dan tiga orang lainnya menjadi tukang juk celeng (penangkap babi). Setelah membentuk kelompok, mereka kemudian membuat lingkaran besar yang disebut menjadi bade celeng (kandang babi). Kemudian, barulah dua kelompok masuk ke dalam kandang tersebut untuk memulai permainan yang dipandu oleh satu orang juri.
Sebelum dimulai, satu orang perwakilan harus menentukan kelompok yang mana akan menjadi tukang juk atau menjadi celeng. Setelah rampung, barulah kedua kelompok yang berada di dalam ‘bade celeng’ ini bersiap. Tukang juk akan mengejar celeng agar bisa ditangkap, begitu juga sebaliknya celeng harus lihai berlari agar tak bisa ditangkap.
Dalam tangkap menangkap juga ada syaratnya, dimana tukang juk celeng tak boleh menangkap dari arah depan melainkan harus dari belakang. Kemudian tukang juk juga tak boleh menangkap bagian atas celeng (pinggang ke atas) karena harus menangkap kakinya. Jika mereka menangkap di atas pinggang atau salah ngejuk, si pengejuk dinyatakan kalah.
Agar suasana menjadi hidup, yang bertugas menjadi bade celeng juga melantunkan lagu sambil bersorak. Permainan itu juga diiringi dengan rindik agar semakin seru.
Penggagas maplalian majukjukan di Desa Buahan, I Wayan Sumerta Dana mengatakan pada dasarnya permainan tersebut untuk membangkitkan budaya lokal. Sebab zaman sekarang budaya itu makin tak terlihat. “Sebelumnya vakum, jadi sekarang kita bangkitkan,” ujarnya.
Dikatakannya, dalam permainan tersebut berisi lagu untuk lebih menghidupkan suasana. Lagu yang dinyanyikan sebagai besar berisi kritik sosial.
“Arti dari lagu itu sarat akan nilai filosofis, yang menegaskan bahwa hari ini (kemarin) pangejukan bukan nampah (sembelih),” tutur Sumerta Dana.
Menurutnya kegiatan ini merupakan yang kedua. Sebelumnya sempat dilaksanakan dalam bentuk festival dan permainan yang dilakukan di areal sawah. Dan ternyata di sawah memang lebih seru dilakukan.
Selain itu, menurut Sumerta Dana, kegiatan ini juga serangkaian dengan adanya peraturan Kurikulum 13 tentang pendidikan karakter yang lebih mengedepankan karakter siswa. Sehingga kegiatan ini bertujuan untuk mengukuhkan jati diri di tengah sifat sosial yang mulai berkurang.
“Minimal kita seimbangkan untuk mereka agar tahu ciri khas kita. Kita tidak melarang, sebab saat ini gadget menjadi hal yang utama di masyarakat sehingga mengurangi sifat sosialnya,” tandas Sumerta Dana. *des
Tampak para murid sangat ceria mengikuti. Sebelum permainan dimulai, mereka membentuk 16 kelompok, masing-masing kelompok beranggota 4 orang.
Setiap kelompok kemudian membagi tugas, 1 orang menjadi celeng (babi) dan tiga orang lainnya menjadi tukang juk celeng (penangkap babi). Setelah membentuk kelompok, mereka kemudian membuat lingkaran besar yang disebut menjadi bade celeng (kandang babi). Kemudian, barulah dua kelompok masuk ke dalam kandang tersebut untuk memulai permainan yang dipandu oleh satu orang juri.
Sebelum dimulai, satu orang perwakilan harus menentukan kelompok yang mana akan menjadi tukang juk atau menjadi celeng. Setelah rampung, barulah kedua kelompok yang berada di dalam ‘bade celeng’ ini bersiap. Tukang juk akan mengejar celeng agar bisa ditangkap, begitu juga sebaliknya celeng harus lihai berlari agar tak bisa ditangkap.
Dalam tangkap menangkap juga ada syaratnya, dimana tukang juk celeng tak boleh menangkap dari arah depan melainkan harus dari belakang. Kemudian tukang juk juga tak boleh menangkap bagian atas celeng (pinggang ke atas) karena harus menangkap kakinya. Jika mereka menangkap di atas pinggang atau salah ngejuk, si pengejuk dinyatakan kalah.
Agar suasana menjadi hidup, yang bertugas menjadi bade celeng juga melantunkan lagu sambil bersorak. Permainan itu juga diiringi dengan rindik agar semakin seru.
Penggagas maplalian majukjukan di Desa Buahan, I Wayan Sumerta Dana mengatakan pada dasarnya permainan tersebut untuk membangkitkan budaya lokal. Sebab zaman sekarang budaya itu makin tak terlihat. “Sebelumnya vakum, jadi sekarang kita bangkitkan,” ujarnya.
Dikatakannya, dalam permainan tersebut berisi lagu untuk lebih menghidupkan suasana. Lagu yang dinyanyikan sebagai besar berisi kritik sosial.
“Arti dari lagu itu sarat akan nilai filosofis, yang menegaskan bahwa hari ini (kemarin) pangejukan bukan nampah (sembelih),” tutur Sumerta Dana.
Menurutnya kegiatan ini merupakan yang kedua. Sebelumnya sempat dilaksanakan dalam bentuk festival dan permainan yang dilakukan di areal sawah. Dan ternyata di sawah memang lebih seru dilakukan.
Selain itu, menurut Sumerta Dana, kegiatan ini juga serangkaian dengan adanya peraturan Kurikulum 13 tentang pendidikan karakter yang lebih mengedepankan karakter siswa. Sehingga kegiatan ini bertujuan untuk mengukuhkan jati diri di tengah sifat sosial yang mulai berkurang.
“Minimal kita seimbangkan untuk mereka agar tahu ciri khas kita. Kita tidak melarang, sebab saat ini gadget menjadi hal yang utama di masyarakat sehingga mengurangi sifat sosialnya,” tandas Sumerta Dana. *des
Komentar