Nama Berganti dari Desa Benyah Jadi Pancasari
Tari Sang Hyang Penyalin Buka HUT ke-54 Desa Pancasari
Salah satu tarian sakral yakni Tari Sang Hyang Penyalin dipentaskan saat acara peringatan HUT ke-54 Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Kamis (20/2) sore.
SINGARAJA, NusaBali
Fokus peringatan HUT kali ini adalah untuk memperingati pergantian nama desa dari Desa Benyah menjadi Desa Pancasari.
Acara pembukaan HUT ke-54 Desa Pancasari, Kamis sore, dilaksanakan di areal Pasar Desa Pancasari. Dalam acara ini, dipentaskan Tari Sang Hyang Penyalin, tarian sakral yang dipercaya sebagai penolak bala saat musim pancaroba Tari Sang Hyang Penyalin ditarikan oleh salah krama istri (perempuan). Sesuai namanya, krama istri ini menari-nati dengan menggunakan sebatang penyalin (rotan).
Krama istri paruh baya ini menari dengan gerakan mengguncang-guncangkan penyalinnya. Penyalin yang dikeramatkan krama Desa Pan-casari itulah yang disebut Sang Hyang Penyalin, diyakini sebagai media untuk menyalurkan kekuatan dewa-dewi.
Rotan yang awalnya lentur, begitu mendapat kekuatan magis dari kidung yang dinyanyikan, mendadak jadi keras dan bergerak kesana kemari, dipegangi oleh krama yang ngiring (menarikannya). Tari Sang Hyang Penyalin sudah ada di Desa Pancasari sejak tahun 1803. Namun, tarian sakral ini hidup lagi setelah dibawa kembali oleh krama asal Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem yang merantau ke Desa Pancasari sekitar tahun 1958.
Tari Sang Hyang Penyalin dipercaya sebagai sarana penolak bala saat musim Pancaroba. Tarian sakral ini selalu ditampilkan pada Tilem Kae-nem (bulan mati keenam sistem penanggalan Bali), tepat saat sandikala, yang merupakan musim Pancaroba ketika wabah penyakit datang.
Penyalin yang digunakan dalam Tari Sang Hyang penyalin merupakan satu tumbuhan yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Tapi, tidak bisa sembarangan sembarangan cari rotan untuk Sang Hyang Penyalin. Harus dicari melalui dewasa ayu (hari baik). Rotan yang dipilih haruslah hanya tumbuh satu batang dan ujungnya mengarah ke tenggara.
Biasanya, rotan untuk Sang Hyang Penyalin ini dicari di hutan kawasan Desa Pancasari. Rotan yang telah terpilih kemudian diberi lilitan benang tri datu pada pangkalnya, sedangkan di bagian ujungnya diikatkan gongseng dan dedaunan untuk menandai sebagai bagian atas. Rotan yang panjangnya sekitar 2 meter itu kemudian dipasupati (diisi energi) sebelum ditarikan.
Selain pementasan tarian sakral Sang Hyang Penyalin, peringatan HUT le-54 Desa Pancasari, Kamis kemarin, juga diisi dengan pementasan Tari Rejang Kesari, yang melibatkan 401 penari dari 8 banjar dinas di Desa Pancasari. Sedangkan malam harinya, diisi dengan pentas hiburan rakyat yang menghadirkan beberapa artis Pop Bali.
Ketua Panitia HUT ke-54 Desa Pancasari, Gede Supala, mengatakan peringatan HUT desanya kali ini dilaksanakan cukup meriah sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Menurut Gede Supala, fokusnya adalah peringatan pergantian nama desa dari semula Desa Benyah menjadi Desa Pancasari. Pergantian nama desa itu terjadi 20 Februari 1966 silam.
“Peringatan ini bersejarah menurut kami warga Desa Pancasari dengan sejarah desa dan pergantian nama untuk menjadi desa yang lebih baik,” jelas Gede Supala yang juga Kelian Dinas Banjar Dasong, Desa Pancasari, saat ditemui NusaBali di sela pementasan Tari Sang Hyang Penyalin, kemarin sore.
Gede Supala menyebutkan, peradaban di Desa Pancasari sebenarnya sudah dimulai sejak abad II. Kala itu, leluhur mereka sudah mulai mendirikan permukiman di tengah hutan belantara. Desa Pancasari awalnya bernama Desa Benyah, karena desa yang berada di tepi Danau Buyan ini dulunya masih sangat minim fasilitas umum, termasuk akses jalan. Kata benyah (hancur) diambil dari kondisi jalan yang rusak dan berlumpur, karena terendam air Danau Buyan.
Menurut Supala, peradaban diawali oleh keluarga Dane Gusti Bendesa (asal Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada dengan membuka hutan di sebelah utara sekitar danau) dan keluarga asal Karangasem (yang membuka permukiman di sebelah timur, lereng bukit). Namun, dalam perjalannya, Desa Benyah menjadi desa yang tidak baik, karena warganya sering mengalami kabrebehan mulai dari bencana alam hingga wabah penyakit.
“Nah, pada tahun 1966 tepatnya tanggal 20 Februari, nama Desa Benyah diganti nama menjadi Desa Pancasari, yang mencerminkan sebuah harapan baru warga di sini,” beber Supala.
Dalam perjalananya pasca ganti nama, Desa Pancasari tumbuh menjadi desa yang berkembang di bidang pertanian, khususnya hortikultura. Dimotori oleh Perbekel Pertama Pancasari, Wayan Widia (almarhum), yang masesangi (berkaul) akan melaksanakan upacara Mendak Amerta Sari di Pura Pucak Sari, Desa Adat Pancasari jika wabah penyakit dan bencana tidak lagi menghantui warganya.
Upacara Mendak Amerta Sari di Pura Pucak Sari itu dimaksudkan untuk pembersihan alam semesta, sebagai wujud rasa syukur. “Rencananya, upacara Mendak Amerta Sari akan digelar tahun depan saat peringatan HUT ke-55 Desa Pancasari, 20 Februari 2021,” jelas Supala.
Sementara itu, Perbekel Pancasari, Wayan Darsana, mengatakan dalam peringatan HUT ke-54 Desa Pancarai tahun 2020 ini tidak ada target tertentu yang ingin diraih. Menurut dersana, seluruh warga Desa Pancasari hanya mengharapkan kondisi alam siklus kehidupan sekala niskala semakn baik. *k23
Acara pembukaan HUT ke-54 Desa Pancasari, Kamis sore, dilaksanakan di areal Pasar Desa Pancasari. Dalam acara ini, dipentaskan Tari Sang Hyang Penyalin, tarian sakral yang dipercaya sebagai penolak bala saat musim pancaroba Tari Sang Hyang Penyalin ditarikan oleh salah krama istri (perempuan). Sesuai namanya, krama istri ini menari-nati dengan menggunakan sebatang penyalin (rotan).
Krama istri paruh baya ini menari dengan gerakan mengguncang-guncangkan penyalinnya. Penyalin yang dikeramatkan krama Desa Pan-casari itulah yang disebut Sang Hyang Penyalin, diyakini sebagai media untuk menyalurkan kekuatan dewa-dewi.
Rotan yang awalnya lentur, begitu mendapat kekuatan magis dari kidung yang dinyanyikan, mendadak jadi keras dan bergerak kesana kemari, dipegangi oleh krama yang ngiring (menarikannya). Tari Sang Hyang Penyalin sudah ada di Desa Pancasari sejak tahun 1803. Namun, tarian sakral ini hidup lagi setelah dibawa kembali oleh krama asal Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem yang merantau ke Desa Pancasari sekitar tahun 1958.
Tari Sang Hyang Penyalin dipercaya sebagai sarana penolak bala saat musim Pancaroba. Tarian sakral ini selalu ditampilkan pada Tilem Kae-nem (bulan mati keenam sistem penanggalan Bali), tepat saat sandikala, yang merupakan musim Pancaroba ketika wabah penyakit datang.
Penyalin yang digunakan dalam Tari Sang Hyang penyalin merupakan satu tumbuhan yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Tapi, tidak bisa sembarangan sembarangan cari rotan untuk Sang Hyang Penyalin. Harus dicari melalui dewasa ayu (hari baik). Rotan yang dipilih haruslah hanya tumbuh satu batang dan ujungnya mengarah ke tenggara.
Biasanya, rotan untuk Sang Hyang Penyalin ini dicari di hutan kawasan Desa Pancasari. Rotan yang telah terpilih kemudian diberi lilitan benang tri datu pada pangkalnya, sedangkan di bagian ujungnya diikatkan gongseng dan dedaunan untuk menandai sebagai bagian atas. Rotan yang panjangnya sekitar 2 meter itu kemudian dipasupati (diisi energi) sebelum ditarikan.
Selain pementasan tarian sakral Sang Hyang Penyalin, peringatan HUT le-54 Desa Pancasari, Kamis kemarin, juga diisi dengan pementasan Tari Rejang Kesari, yang melibatkan 401 penari dari 8 banjar dinas di Desa Pancasari. Sedangkan malam harinya, diisi dengan pentas hiburan rakyat yang menghadirkan beberapa artis Pop Bali.
Ketua Panitia HUT ke-54 Desa Pancasari, Gede Supala, mengatakan peringatan HUT desanya kali ini dilaksanakan cukup meriah sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Menurut Gede Supala, fokusnya adalah peringatan pergantian nama desa dari semula Desa Benyah menjadi Desa Pancasari. Pergantian nama desa itu terjadi 20 Februari 1966 silam.
“Peringatan ini bersejarah menurut kami warga Desa Pancasari dengan sejarah desa dan pergantian nama untuk menjadi desa yang lebih baik,” jelas Gede Supala yang juga Kelian Dinas Banjar Dasong, Desa Pancasari, saat ditemui NusaBali di sela pementasan Tari Sang Hyang Penyalin, kemarin sore.
Gede Supala menyebutkan, peradaban di Desa Pancasari sebenarnya sudah dimulai sejak abad II. Kala itu, leluhur mereka sudah mulai mendirikan permukiman di tengah hutan belantara. Desa Pancasari awalnya bernama Desa Benyah, karena desa yang berada di tepi Danau Buyan ini dulunya masih sangat minim fasilitas umum, termasuk akses jalan. Kata benyah (hancur) diambil dari kondisi jalan yang rusak dan berlumpur, karena terendam air Danau Buyan.
Menurut Supala, peradaban diawali oleh keluarga Dane Gusti Bendesa (asal Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada dengan membuka hutan di sebelah utara sekitar danau) dan keluarga asal Karangasem (yang membuka permukiman di sebelah timur, lereng bukit). Namun, dalam perjalannya, Desa Benyah menjadi desa yang tidak baik, karena warganya sering mengalami kabrebehan mulai dari bencana alam hingga wabah penyakit.
“Nah, pada tahun 1966 tepatnya tanggal 20 Februari, nama Desa Benyah diganti nama menjadi Desa Pancasari, yang mencerminkan sebuah harapan baru warga di sini,” beber Supala.
Dalam perjalananya pasca ganti nama, Desa Pancasari tumbuh menjadi desa yang berkembang di bidang pertanian, khususnya hortikultura. Dimotori oleh Perbekel Pertama Pancasari, Wayan Widia (almarhum), yang masesangi (berkaul) akan melaksanakan upacara Mendak Amerta Sari di Pura Pucak Sari, Desa Adat Pancasari jika wabah penyakit dan bencana tidak lagi menghantui warganya.
Upacara Mendak Amerta Sari di Pura Pucak Sari itu dimaksudkan untuk pembersihan alam semesta, sebagai wujud rasa syukur. “Rencananya, upacara Mendak Amerta Sari akan digelar tahun depan saat peringatan HUT ke-55 Desa Pancasari, 20 Februari 2021,” jelas Supala.
Sementara itu, Perbekel Pancasari, Wayan Darsana, mengatakan dalam peringatan HUT ke-54 Desa Pancarai tahun 2020 ini tidak ada target tertentu yang ingin diraih. Menurut dersana, seluruh warga Desa Pancasari hanya mengharapkan kondisi alam siklus kehidupan sekala niskala semakn baik. *k23
Komentar