Perarem Perlindungan Anak
Tini Rusmini Gorda bakal menjadikan Kabupaten Karangasem sebagai pilot project untuk mewujudkan perarem perlindungan anak.
Untuk Bentengi Desa Adat dari Pelaku Pedofilia
DENPASAR, NusaBali
Kasus kejahatan atau kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual (pedofilia) tetap marak terjadi di Bali. Para pelaku pedofilia yang didominasi warga asing ini seolah tak jera dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Nah, Dr AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda SH MM MH selaku Pendiri Komunitas Anak Bangsa mempunyai ide agar perlindungan terhadap anak ini dimasukkan dalam perarem desa adat.
“Selain darurat narkoba, kita di Bali sekarang ini sedang darurat kasus pedofilia. Pelaku yang kebanyakan orang asing (bule) ini bahkan masuk ke desa-desa mencari korbannya,” ujar Tini Gorda kepada NusaBali, Minggu (14/8) kemarin. Dia mencontohkan, kasus yang kini sedang ditangani PN Denpasar yakni seorang bule yang diduga telah melakukan pencabulan terhadap puluhan bocah di Bali.
Menurut Tini Gorda, pedofilia ini sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa, karena ketika anak sudah menjadi korban, anak yang bersangkutan akan trauma seumur hidup, bahkan kemungkinan besar bakal menjadi pelakunya. “Nah, kalau sudah demikian hancurlah masa depan anak tersebut dan generasi bangsa ini,” tegasnya.
Dari penelitian Tini Gorda, para pelaku yang kebanyakan orang asing ini kerap mencari mangsanya di desa-desa terpencil, seperti di Buleleng dan Karangasem. “Pelaku ini dalam beraksi juga sangat smooth (lembut) dan silent (diam-diam). Misalnya dengan cara mendekati orangtuanya dan mengiming-imingi sang anak dengan uang atau mainan, sehingga seolah-olah pelaku ini menyayangi anak tersebut. Secara tidak sadar perlahan anak ini pun masuk dalam jebakan pelaku,” ungkap Tini Gorda yang disertasi Doktornya tentang Perlindungan Anak Korban Pedofilia.
Saking berbahaya dan maraknya kasus pedofilia ini, Tini Gorda pun memandang peran desa adat sangat penting dalam mengantisipasi dan membentengi warganya dari kasus pedofilia ini. “Ya, salah satunya dengan membuat perarem. Misalnya, mengatur orang asing yang tinggal di desa setempat, atau meminta pelaku membiayai upacara pecaruan di desa setempat. Kita bisa berkaca dari kasus Angeline, kan akhirnya yang membiayai pecaruan tempat kejadian, desa setempat dengan biaya yang cukup besar ,” ujarnya.
Sebagai bentuk keseriusannya untuk mewujudkan ide pembuatan perarem, Tini Gorda pun berencana menjadikan Kabupaten Karangasem sebagai pilot projectnya. “Selain di daerah ini kasus pedofilia paling banyak, ya kebetulan bupatinya perempuan. Wakil bupatinya juga sebagai Ketua Majelis Madia Desa Pakraman (MMDP), sehingga saya rasa pas untuk mencoba mewujudkannya,” kata putri tokoh pendidikan alm Prof IGN Gorda.
Tini Gorda berkeyakinan dengan adanya perarem ini akan mampu membentengi masyarakat dari kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak karena karena ini upaya non penal policy lebih pada pencegahan dan menyentuh ke akar rumput atau masyarakat. “Nah, nanti kalau semua desa sudah ada perarem soal perlindungan anak, baru kita dorong dengan membuat awing-awig,” pungkas Tini Gorda yang berencana mulai bergerak setelah Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus. * isu
DENPASAR, NusaBali
Kasus kejahatan atau kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual (pedofilia) tetap marak terjadi di Bali. Para pelaku pedofilia yang didominasi warga asing ini seolah tak jera dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Nah, Dr AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda SH MM MH selaku Pendiri Komunitas Anak Bangsa mempunyai ide agar perlindungan terhadap anak ini dimasukkan dalam perarem desa adat.
“Selain darurat narkoba, kita di Bali sekarang ini sedang darurat kasus pedofilia. Pelaku yang kebanyakan orang asing (bule) ini bahkan masuk ke desa-desa mencari korbannya,” ujar Tini Gorda kepada NusaBali, Minggu (14/8) kemarin. Dia mencontohkan, kasus yang kini sedang ditangani PN Denpasar yakni seorang bule yang diduga telah melakukan pencabulan terhadap puluhan bocah di Bali.
Menurut Tini Gorda, pedofilia ini sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa, karena ketika anak sudah menjadi korban, anak yang bersangkutan akan trauma seumur hidup, bahkan kemungkinan besar bakal menjadi pelakunya. “Nah, kalau sudah demikian hancurlah masa depan anak tersebut dan generasi bangsa ini,” tegasnya.
Dari penelitian Tini Gorda, para pelaku yang kebanyakan orang asing ini kerap mencari mangsanya di desa-desa terpencil, seperti di Buleleng dan Karangasem. “Pelaku ini dalam beraksi juga sangat smooth (lembut) dan silent (diam-diam). Misalnya dengan cara mendekati orangtuanya dan mengiming-imingi sang anak dengan uang atau mainan, sehingga seolah-olah pelaku ini menyayangi anak tersebut. Secara tidak sadar perlahan anak ini pun masuk dalam jebakan pelaku,” ungkap Tini Gorda yang disertasi Doktornya tentang Perlindungan Anak Korban Pedofilia.
Saking berbahaya dan maraknya kasus pedofilia ini, Tini Gorda pun memandang peran desa adat sangat penting dalam mengantisipasi dan membentengi warganya dari kasus pedofilia ini. “Ya, salah satunya dengan membuat perarem. Misalnya, mengatur orang asing yang tinggal di desa setempat, atau meminta pelaku membiayai upacara pecaruan di desa setempat. Kita bisa berkaca dari kasus Angeline, kan akhirnya yang membiayai pecaruan tempat kejadian, desa setempat dengan biaya yang cukup besar ,” ujarnya.
Sebagai bentuk keseriusannya untuk mewujudkan ide pembuatan perarem, Tini Gorda pun berencana menjadikan Kabupaten Karangasem sebagai pilot projectnya. “Selain di daerah ini kasus pedofilia paling banyak, ya kebetulan bupatinya perempuan. Wakil bupatinya juga sebagai Ketua Majelis Madia Desa Pakraman (MMDP), sehingga saya rasa pas untuk mencoba mewujudkannya,” kata putri tokoh pendidikan alm Prof IGN Gorda.
Tini Gorda berkeyakinan dengan adanya perarem ini akan mampu membentengi masyarakat dari kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak karena karena ini upaya non penal policy lebih pada pencegahan dan menyentuh ke akar rumput atau masyarakat. “Nah, nanti kalau semua desa sudah ada perarem soal perlindungan anak, baru kita dorong dengan membuat awing-awig,” pungkas Tini Gorda yang berencana mulai bergerak setelah Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus. * isu
Komentar