Pertama Kali, Bendesa Lomba Pidato Bahasa Bali
Upaya Implementasikan Pelestarian Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali
Berbicara di hadapan krama desa adat, sudah biasa bagi seorang bendesa adat.
DENPASAR, NusaBali
Namun, jika para bendesa adat ikut lomba pidato berbahasa Bali, ini baru pertama kali terjadi. Peristiwa langka ini terjadi dalam ajang bertajuk ‘Wimbakara (Lomba) Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali’ di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, Jalan Nusa Indah Denpasar, Jumat (21/2).
Dalam lomba pidato berbahasa Bali yang baru pertama kali digelar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Jumat kemarin, setiap kabupaten/kota mengirimkan wakil terbaiknya. Masing-masing peserta membawakan materi yang berkaitan dengan tema Bulan Bahasa Bali, yakni ‘Atma Kertih: Nyujur Jiwa Paripurna Melarapan Bulan Bahasa Bali’.
Menurut Kepala Seksi Inventaris dan Pemeliharaan Dokumentasi Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Made Mahesa Yuma Putra, Wimbakara Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali ini merupakan suatu terobosan dalam mengimplementasikan pelestarian bahasa, aksara, dan sastra Bali di lingkup desa adat. Apalagi, kini desa adat semakin dikuatkan dengan adanya Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019. Desa adat menjadi salah satu tempat untuk melestarikan keberadaan bahasa, aksara, dan sastra Bali.
“Wimbakara Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali’ bertujuan untuk mengembangkan bahasa, aksara, dan sastra Bali di sejebag desa adat se-Bali. Selama ini, bendesa adat tentunya sebagai salah satu ‘pintu masuk’ ke suatu desa adat. Harapan kami, bahasa Bali menjadi pedoman bagi bendesa adat, sehingga bahasa Bali bisa tetap ajeg di masing-masing wewidangan adat,” ujar Made Mahesa kepada NusaBali di sela penilaian lomba, Jumat kemarin.
Sementara, salah satu juri dalam Wimbakara Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali, I Gusti Lanang Subamia, menyebutkan ada lima hal pokok yang dinilai dalam lomba ini. Pertama, penampilan bendesa adat saat berpidato. Kedua, pengolahan tema. Ketiga, penguasaan materi. Keempat, penggunaan Bahasa Bali. Kelima, amanat yang ingin disampaikan.
“Jadi, pidarta beda dengan dharma wacana. Karena itu, yang dinilai dalam pidarta ini adalah bagaimana dia menjadi seorang orator,” jelas Subamia. Secara keseluruhan, kata Subamia, penampilan masing-masing peserta sangat bagus.
“Mereka punya gaya masing-masing dalam membawakan materi. Memang ada pula beberapa peserta yang terkesan seperti sedang dharma wacana,” papar praktisi Bahasa Bali asal Banjar Sandakan, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Badung ini.
Subamia menyebutkan, ada beberapa perbedaan antara dharma wacana dengan pidarta. Kalau dharma wacana, tidak boleh sembarangan dalam mengutip filsafat ataupun ungkapan lainnya untuk dijadikan materi. Sedangkan pidarta adalah seni atau kemampuan menuangkan ide yang bertujuan untuk menggugah masyarakat. Kadangkala, pidarta disertai dengan sedikit mengutip pernyataan dari buku atau kitab.
“Kalau dharma wacana itu tidak boleh ‘menurut saya’ (pendapat pribadi, Red). Harus mengutip buku atau kitab yang sudah jelas, tidak boleh salah kutip. Sedangkan pidarta, boleh ‘menurut saya’. Ngutip buku biasanya secuplik saja. Tapi, selanjutnya adalah bagaimana kemampuan menggugah pendengar. Pidarta bisa juga diisi dengan joke-joke,” tandas Subamia.
Sementara itu, dari ajang perdana ‘Wimbakara Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali’, Jumat kemarin, Bendesa Adat Nyalian, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, Cokorda Gede Brasika Putra, keluar sebagai Juara I. Dalam lomba tersebut, Cok Brasika Putra terjun sebagai wakil Kabupaten Klungkung. Dia berhasil mengungguli Ketut Sudiarsa (wakil Kabupaten Badung yang hartus puas sebagai juara II) dan AA Ketut Oka Adnyana (wakil Kota Denpasar yang meraihh predikat juara III).
Cok Brasika Putra mengaatakan, meski sudah terbiasa berbicara di hadapan krama adat, namun saat lomba berpidato Bahasa Bali kemarin, masih ada rasa gerogi. Untungnya, hal tersebut tidak terlalu mempengaruhi penampilannya saat berlomba. “Saya tampil bukan untuk mengejar predikat juara, tapi juari-nya (berani tampil, Red),” tutur Cok Brasika Putra.
Cok Brasika Putra mengaku tidak ada persiapan khusus menghadapi Wimbakara Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali yang untuk kali pertama digelar ini. Sebab, padatnya aktivitas di desa adat, sehingga dirinya tak sempat berlatih.
“Kebetulan, saya jadi pengayah di desa, sangat padat aktivitas di desa adat. Konsep dan tema saya olah di pikiran saja. Tidak ada latihan khusus. Tapi, karena sudah terbiasa berbicara dengan krama adat, untuk bahasa tidak jadi masalah,” cerita tokoh yang baru dua tahun menjadi Bendesa Adat Nyalian ini. * ind
Namun, jika para bendesa adat ikut lomba pidato berbahasa Bali, ini baru pertama kali terjadi. Peristiwa langka ini terjadi dalam ajang bertajuk ‘Wimbakara (Lomba) Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali’ di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, Jalan Nusa Indah Denpasar, Jumat (21/2).
Dalam lomba pidato berbahasa Bali yang baru pertama kali digelar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Jumat kemarin, setiap kabupaten/kota mengirimkan wakil terbaiknya. Masing-masing peserta membawakan materi yang berkaitan dengan tema Bulan Bahasa Bali, yakni ‘Atma Kertih: Nyujur Jiwa Paripurna Melarapan Bulan Bahasa Bali’.
Menurut Kepala Seksi Inventaris dan Pemeliharaan Dokumentasi Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Made Mahesa Yuma Putra, Wimbakara Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali ini merupakan suatu terobosan dalam mengimplementasikan pelestarian bahasa, aksara, dan sastra Bali di lingkup desa adat. Apalagi, kini desa adat semakin dikuatkan dengan adanya Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019. Desa adat menjadi salah satu tempat untuk melestarikan keberadaan bahasa, aksara, dan sastra Bali.
“Wimbakara Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali’ bertujuan untuk mengembangkan bahasa, aksara, dan sastra Bali di sejebag desa adat se-Bali. Selama ini, bendesa adat tentunya sebagai salah satu ‘pintu masuk’ ke suatu desa adat. Harapan kami, bahasa Bali menjadi pedoman bagi bendesa adat, sehingga bahasa Bali bisa tetap ajeg di masing-masing wewidangan adat,” ujar Made Mahesa kepada NusaBali di sela penilaian lomba, Jumat kemarin.
Sementara, salah satu juri dalam Wimbakara Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali, I Gusti Lanang Subamia, menyebutkan ada lima hal pokok yang dinilai dalam lomba ini. Pertama, penampilan bendesa adat saat berpidato. Kedua, pengolahan tema. Ketiga, penguasaan materi. Keempat, penggunaan Bahasa Bali. Kelima, amanat yang ingin disampaikan.
“Jadi, pidarta beda dengan dharma wacana. Karena itu, yang dinilai dalam pidarta ini adalah bagaimana dia menjadi seorang orator,” jelas Subamia. Secara keseluruhan, kata Subamia, penampilan masing-masing peserta sangat bagus.
“Mereka punya gaya masing-masing dalam membawakan materi. Memang ada pula beberapa peserta yang terkesan seperti sedang dharma wacana,” papar praktisi Bahasa Bali asal Banjar Sandakan, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Badung ini.
Subamia menyebutkan, ada beberapa perbedaan antara dharma wacana dengan pidarta. Kalau dharma wacana, tidak boleh sembarangan dalam mengutip filsafat ataupun ungkapan lainnya untuk dijadikan materi. Sedangkan pidarta adalah seni atau kemampuan menuangkan ide yang bertujuan untuk menggugah masyarakat. Kadangkala, pidarta disertai dengan sedikit mengutip pernyataan dari buku atau kitab.
“Kalau dharma wacana itu tidak boleh ‘menurut saya’ (pendapat pribadi, Red). Harus mengutip buku atau kitab yang sudah jelas, tidak boleh salah kutip. Sedangkan pidarta, boleh ‘menurut saya’. Ngutip buku biasanya secuplik saja. Tapi, selanjutnya adalah bagaimana kemampuan menggugah pendengar. Pidarta bisa juga diisi dengan joke-joke,” tandas Subamia.
Sementara itu, dari ajang perdana ‘Wimbakara Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali’, Jumat kemarin, Bendesa Adat Nyalian, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, Cokorda Gede Brasika Putra, keluar sebagai Juara I. Dalam lomba tersebut, Cok Brasika Putra terjun sebagai wakil Kabupaten Klungkung. Dia berhasil mengungguli Ketut Sudiarsa (wakil Kabupaten Badung yang hartus puas sebagai juara II) dan AA Ketut Oka Adnyana (wakil Kota Denpasar yang meraihh predikat juara III).
Cok Brasika Putra mengaatakan, meski sudah terbiasa berbicara di hadapan krama adat, namun saat lomba berpidato Bahasa Bali kemarin, masih ada rasa gerogi. Untungnya, hal tersebut tidak terlalu mempengaruhi penampilannya saat berlomba. “Saya tampil bukan untuk mengejar predikat juara, tapi juari-nya (berani tampil, Red),” tutur Cok Brasika Putra.
Cok Brasika Putra mengaku tidak ada persiapan khusus menghadapi Wimbakara Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali yang untuk kali pertama digelar ini. Sebab, padatnya aktivitas di desa adat, sehingga dirinya tak sempat berlatih.
“Kebetulan, saya jadi pengayah di desa, sangat padat aktivitas di desa adat. Konsep dan tema saya olah di pikiran saja. Tidak ada latihan khusus. Tapi, karena sudah terbiasa berbicara dengan krama adat, untuk bahasa tidak jadi masalah,” cerita tokoh yang baru dua tahun menjadi Bendesa Adat Nyalian ini. * ind
Komentar