Mapujewit, Ritual Cegah Serangan Hama Padi
Krama Desa Adat Tri Eka Cita, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, menggelar tradisi Mapujewit pada Redite Wage Kuningan, Minggu (23/2) pagi.
GIANYAR, NusaBali
Tradisi ini digelar setahun sekali setiap Tilem Kawulu. Sesuai namanya, tradisi ini bermakna mapuja-wit atau memuja bibit padi.
Krama desa setempat dari empat subak juga memohon keselamatan agar tanaman padi terhindar dari segala penyakit dan hama tikus. Dalam ritual ini, ratusan krama subak berjalan beriringan gambelan Baleganjur. Krama istri dari kalangan anak-anak, remaja hingga lansia menyunggi sokasi banten Pujawit, berisi tumpeng, bunga, dan sampian.
Kaum laki-laki membawa Berokan berupa cabang daun Jaka (enau/aren, Red), simbolis ekor sapi yang digembalakan atau saat membajak sawah.
Menurut Pamangku Pura Ulun Suwi, Jro Mangku Lami, 90, tradisi sacral ini dilaksanakan secara turun temurun berdasarkan cakepan lontar. "Setiap tiga hari menjelang upacara, tiyang (saya) turunkan lontar sebagai pengingat kembali, karena digelar hanya setahun sekali," ujar Jro Mangku di kediamannya, usai upacara itu.
Tradisi ini dimulai pukul 08.00 Wita, diawali dengan berkumpulnya para petani di Pura Ulun Suwi setempat. Mereka melaksanakan iring-iringan menuju Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem, lanjut para petani menuju sawahnya masing-masing. "Petani juga melakukan persembahyangan di rumah masing-masing," jelasnya. Prosesi hingga pukul 13.00 Wita ini untuk memohon agar tanaman padi tidak terserang hama.
Jro Mangku Lami mengatakan tradisi itu sakral karena menyertakan tapakan Ida Batara. Karena kepercayaan masyarakat sangat kental, jika tidak dijalankan, maka hama dan penyakit pasti akan menyerang sawah.
Pekaseh Subak Uma Lawas I Made Pasta menambahkan tradisi ini diikuti empat subak yakni Subak Biang Cuka, Uma Lawas, Jero Kuta, dan Subak Pangsut dengan total 160 krama subak. Krama ini ditopang desa adat. Setelah ritual ini, krama subak menghaturkan sarana yang dipakai Mapujewit. Sarana itu yakni banten hingga menancaplkan dahan pohon enau yang dirias tersebut. Total areal sawah empat subak ini kurang lebih 85 hektare.*nvi
Krama desa setempat dari empat subak juga memohon keselamatan agar tanaman padi terhindar dari segala penyakit dan hama tikus. Dalam ritual ini, ratusan krama subak berjalan beriringan gambelan Baleganjur. Krama istri dari kalangan anak-anak, remaja hingga lansia menyunggi sokasi banten Pujawit, berisi tumpeng, bunga, dan sampian.
Kaum laki-laki membawa Berokan berupa cabang daun Jaka (enau/aren, Red), simbolis ekor sapi yang digembalakan atau saat membajak sawah.
Menurut Pamangku Pura Ulun Suwi, Jro Mangku Lami, 90, tradisi sacral ini dilaksanakan secara turun temurun berdasarkan cakepan lontar. "Setiap tiga hari menjelang upacara, tiyang (saya) turunkan lontar sebagai pengingat kembali, karena digelar hanya setahun sekali," ujar Jro Mangku di kediamannya, usai upacara itu.
Tradisi ini dimulai pukul 08.00 Wita, diawali dengan berkumpulnya para petani di Pura Ulun Suwi setempat. Mereka melaksanakan iring-iringan menuju Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem, lanjut para petani menuju sawahnya masing-masing. "Petani juga melakukan persembahyangan di rumah masing-masing," jelasnya. Prosesi hingga pukul 13.00 Wita ini untuk memohon agar tanaman padi tidak terserang hama.
Jro Mangku Lami mengatakan tradisi itu sakral karena menyertakan tapakan Ida Batara. Karena kepercayaan masyarakat sangat kental, jika tidak dijalankan, maka hama dan penyakit pasti akan menyerang sawah.
Pekaseh Subak Uma Lawas I Made Pasta menambahkan tradisi ini diikuti empat subak yakni Subak Biang Cuka, Uma Lawas, Jero Kuta, dan Subak Pangsut dengan total 160 krama subak. Krama ini ditopang desa adat. Setelah ritual ini, krama subak menghaturkan sarana yang dipakai Mapujewit. Sarana itu yakni banten hingga menancaplkan dahan pohon enau yang dirias tersebut. Total areal sawah empat subak ini kurang lebih 85 hektare.*nvi
1
Komentar