Desa Pakraman Pagi Gelar Upacara Proklamasi di Tengah Sawah
Krama Desa Pakraman Pagi, Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Tabanan menggelar upacara HUT ke 71 Republik Indonesia penuh keunikan, Rabu (17/8).
TABANAN, NusaBali
Mereka mengerek dan mengibarkan bendera merah putih di persawahan Subak Ganggangan. Pembawa bendera dan dua anggota pengibar bendera berjalan kesusahan di lahan sawah yang becek.
Jalannya upacara HUT ke 71 Proklamasi ala Desa Pakraman Pagi ini tak jauh beda dengan upacara resmi di Istana Negara. Lagu Indonesia raya berkumandang, pembacaan Teks Proklasmi, dan mengheningkan cipta tak terlewatkan. Hanya saja, peserta upacara mengenakan pakaian seadanya atau pakaian sehari-hari. Jumlah peserta upacara sekitar 50 orang mulai pelajar TK, SD, sekaa teruna, dan krama Desa Pakraman Pagi lengkap dengan pernak-pernik merah putih. Upacara sengaja digelar di persawahan untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air kepada seluruh krama Desa Pakraman Pagi. Sehingga timbul keinginan bertani, mengolah tanah sawah menjadi berkah.
Bendesa Adat Pagi, I Wayan Yastra menjelaskan upacara di tengah sawah ini merupakan ide kreatif para yowana (pemuda) di desanya. Para yowana ini kemudian bekerjasama dengan Karang Taruna Desa Senganan dan sekaa teruna lainnya, termasuk mahasiswa Universitas Udayana yang tengah KKN di Desa Senganan. “Saya langsung setuju ketika mereka usul upacara di tengah sawah. Kegiatan ini bisa memancing anak muda untuk mencintai sawah dan setelah dewasa turun bertani,” ungkap Yastra. Ditambahkan, upacara di tengah sawah menjadi bukti agar selalu cinta tanah air.
Sementara Kelian Sekaa Teruna Satria Dharma Santi Desa Pakraman Pagi, I Made Eko Gunawan Budi menjelaskan, upacara ini akan dilaksanakan setiap tahun dan penyelenggaraannya tetap di tengah sawah. Ia mensyukuri krama Desa Pakraman Pagi antusias mengikuti upacara, terlebih peserta banyak yang datang. “Idenya buat upacara unik agar anak-anak hingga orangtua tertarik sehingga upacara lebih khusuk,” ungkapnya.
Krama tani di Subak Ganggangan, I Wayan Partayasa mengatakan upacara bendera di tengah sawah tak sekadar ikut hormat dan mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tapi sebagai bahan renungan dan cara berterimakasih kepada pejuang yang telah rela korbankan jiwa raga demi kemerdekaan bangsa. “Dengan cara inilah kita harus menghormatinya,” ujar Partayasa. Bahkan saking antusiasnya, Paryayasa melumuri badannya dengan lumpur dari ujung rambut hingga ujung kaki. * cr61
Mereka mengerek dan mengibarkan bendera merah putih di persawahan Subak Ganggangan. Pembawa bendera dan dua anggota pengibar bendera berjalan kesusahan di lahan sawah yang becek.
Jalannya upacara HUT ke 71 Proklamasi ala Desa Pakraman Pagi ini tak jauh beda dengan upacara resmi di Istana Negara. Lagu Indonesia raya berkumandang, pembacaan Teks Proklasmi, dan mengheningkan cipta tak terlewatkan. Hanya saja, peserta upacara mengenakan pakaian seadanya atau pakaian sehari-hari. Jumlah peserta upacara sekitar 50 orang mulai pelajar TK, SD, sekaa teruna, dan krama Desa Pakraman Pagi lengkap dengan pernak-pernik merah putih. Upacara sengaja digelar di persawahan untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air kepada seluruh krama Desa Pakraman Pagi. Sehingga timbul keinginan bertani, mengolah tanah sawah menjadi berkah.
Bendesa Adat Pagi, I Wayan Yastra menjelaskan upacara di tengah sawah ini merupakan ide kreatif para yowana (pemuda) di desanya. Para yowana ini kemudian bekerjasama dengan Karang Taruna Desa Senganan dan sekaa teruna lainnya, termasuk mahasiswa Universitas Udayana yang tengah KKN di Desa Senganan. “Saya langsung setuju ketika mereka usul upacara di tengah sawah. Kegiatan ini bisa memancing anak muda untuk mencintai sawah dan setelah dewasa turun bertani,” ungkap Yastra. Ditambahkan, upacara di tengah sawah menjadi bukti agar selalu cinta tanah air.
Sementara Kelian Sekaa Teruna Satria Dharma Santi Desa Pakraman Pagi, I Made Eko Gunawan Budi menjelaskan, upacara ini akan dilaksanakan setiap tahun dan penyelenggaraannya tetap di tengah sawah. Ia mensyukuri krama Desa Pakraman Pagi antusias mengikuti upacara, terlebih peserta banyak yang datang. “Idenya buat upacara unik agar anak-anak hingga orangtua tertarik sehingga upacara lebih khusuk,” ungkapnya.
Krama tani di Subak Ganggangan, I Wayan Partayasa mengatakan upacara bendera di tengah sawah tak sekadar ikut hormat dan mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tapi sebagai bahan renungan dan cara berterimakasih kepada pejuang yang telah rela korbankan jiwa raga demi kemerdekaan bangsa. “Dengan cara inilah kita harus menghormatinya,” ujar Partayasa. Bahkan saking antusiasnya, Paryayasa melumuri badannya dengan lumpur dari ujung rambut hingga ujung kaki. * cr61
1
Komentar