Adat Mengikat Atau Menguasai ?
Kalau bicara tentang adat istiadat beragam jumlah dan jenisnya.
Tetapi, bicara tentang ikatan atau kekuasaannya, ada beberapa pandangan. Misalnya, Generasi Pertama Bali yang lahir sebelum tahun 1960-an, berpandangan bahwa adat istiadat harus dipegang teguh. Mereka cenderung bersikap konvensional dan loyal pada tradisi. Dalam kesehariannya, adat istiadat dijadikan norma (nomos). Mereka sering menyikapi adat istiadat sebagai ‘norma yang berkuasa’, bukan ‘kekuasaan’ yang ‘menguasai’, seperti slogan ‘fiat justitia et ruat coelum’.
Generasi Pertama telah tergantikan oleh beberapa generasi berikutnya. Misalnya, Generasi X, yang lahir antara tahun 1961-1980. Generasi ini cenderung lebih toleran, menerima berbagai perbedaan yang ada. Selain itu, dari segi teknologi informasi, generasi ini mulai mengenal komputer. Mereka berpikir secara inovatif yang mempermudah kehidupan manusia. Generasi X sangat terbuka dengan kritik dan saran, lebih efisien dalam bekerja.
Pandangan mereka adalah bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja. Kehidupan mereka berkisar antara pekerjaan, pribadi, dan keluarga. Terhadap adat istiadat mereka tidak terikat ketat, apalagi dikuasai! Generasi X bersikap lain terhadap adat istiadat. Generasi Y, yang lahir antara tahun 1981-1994, akrab dengan berbagai ‘gadget’, seperti video games, gadget, dan smartphones; kemudahan akan fasilitas yang ‘computerized’ yang ditawarkan lewat internet.
Generasi Y mudah mendapatkan informasi secara cepat. Pola pikir dan karakter mereka dipenuhi gagasan visioner dan inovatif. Generasi Y cenderung bertanya dan meminta kritik serta saran untuk kemajuannya. Mereka menganggap bahwa rewards terbaik adalah perasaan ketika pekerjaannya dinilai berarti bagi hal-hal tertentu. Keseimbangan gaya hidup dan pekerjaan menjadi hal yang paling penting. Terhadap adat istiadat kadang memberontak.
Generasi Z, yang lahir antara 1995-2010. Generasi ini adalah peralihan dari Generasi Y dimana teknologi berkembang amat pesat. Pola pikir mereka cenderung serba instan. Namun masih belum banyak yang dapat disimpulkan karena usia mereka saat ini masih menginjak remaja. Kehidupan mereka cenderung bergantung pada teknologi, mementingkan popularitas dari media sosial yang digunakan. Sikap yang kentara dari generasi Z terhadap adat istiadat lebih transformatif. Adat istiadat hanya dipandang sebagai ritus sosial!
Gumi Bali sedang bergemuruh dengan pemertahanan adat istiadat. Langit Bali seakan runtuh dengan gejolak akibat demokrasi. Taksu Bali teruji dengan berbagai siasat ekonomi dan materialisme. Agama Hindu diperdebatkan efisiensinya. Kacamata yang digunakan menilai berbeda antar generasi, yang anak-anak, remaja, muda, dan tua.
Di ujung satu, misalnya generasi X beranggapan adat istiadat mengikat dan tidak boleh dilangggar apalagi dinafikan! Kalau hal ini terjadi maka berkonsekuensi berat. Adat istiadat harus ditegakkan dan dilestarikan, jangan ada dusta apalagi rekayasa.
Di ujung ekstrim lain, yaitu generasi Y dan Z beranggapan bahwa adat istiadat sebaiknya tidak kaku dan mengikat apalagi dikuasai oleh kekuasaan. Mereka adalah generasi milenial. Mereka diakrabi oleh adat dan budaya berbagai warna dan ritus. Nomokrasi Agama Hindu tidak serta merta dapat mengikat atau menguasai ritus berpikir, berkatan, apalagi perilaku generasi generasi melinial.
Generasi ini sebaiknya ditumbuh dan dikembangkan keterampilan berpikir kritis. Berpikir kritis adlah keterampilan untuk melakukan analisis terhadap entitas adat. Berpikir kritis tidak sama sebangun dengan mengeritik adat istiadat, apalagi menafikan dari kesadaran krama Hindu Bali. Berpikir kritis mengajarkan norma-norma berpikir ilmiah, terbuka, dan komunikatif. Dengan pendekatan demikian, maka transformasi kehidupan krama Bali dalam berbagai ranah terlaksana dengan aman, tertib, dan produktif menghasilkan kemajuan, kesejahteraan, dan kedamaian di tanah leluhur Bali. Semoga.
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D
(Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)
Komentar