Saksi Ungkap Peran Jaya Negara
Sidang Dugaan Korupsi APBDes Dauh Puri Kelod
"Jadi, modusnya kas bon atau meminjam uang desa untuk membiayai kegiatan yang tidak ada dalam perencanaan,”
DENPASAR, NusaBali
Sidang dugaan korupsi APBDes Dauh Puri Kelod dengan terdakwa mantan Bendahara Desa, Ni Putu Ariyaningsih, 33, menyeret nama petinggi di Kota Denpasar. Selain mengungkap peran mantan Perbekel yang kini menjabat anggota DPRD Kota Denpasar, I Gusti Made Wira Namiartha, saksi yang dihadirkan juga menyebut nama Wakil Walikota, IGN Jaya Negara yang disebut mengetahui awal perkara ini.
Hal ini diungkap salah satu saksi, I Nyoman Mardika yang merupakan salah satu anggota tim yang dibentuk untuk menelusuri masalah APBDes di Desa Dauh Puri Kelod. Dalam keterangannya di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (3/3), dirinya mengetahui adanya masalah ini setelah ada Tim Monev dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kota Denpasar.
Saat itu ditemukan ada Silpa APBDes 2017 sekitar Rp 900 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Lalu dibuat tim untuk menelusuri kemana uang yang hilang ini. “Saya salah satu anggota tim,” jelasnya.
Nah, dalam salah satu pertemuan inilah, mantan Perbekel Namiartha mengajak tim bertemu Wakil Walikota, Jaya Negara dan anggota dewan Kadek Agus Arya Wibawa. Dalam pertemuan di rumah Jaya Negara tersebut, Jaya Negara sempat menelpon Inspektorat untuk turun melakukan penyelidikan. “Saat itu diminta supaya Inspektorat melakukan investigasi dan menyelesaikan masalah ini secara internal,” tegasnya.
Setelah Tim Inspektorat turun, lalu keluar LHP yang harus ditindaklanjuti setelah 60 hari. Namun hingga 60 hari lebih, tidak ada tindak lanjut dari pihak Desa maupun Inspektorat. Sehingga Mardika membuat laporan ke aparat penegak hukum. “Tapi saya tidak melaporkan orang. Saya hanya melaporkan adanya dugann uang Silpa yang tidak bisa dipertanggung jawabkan,” jelasnya.
Mardika juga mengungkap jika dirinya sempat didatangi Namiartha ke rumahnya. Saat itu Namiartha menyebut Ariyaningsih ternyata telah memakai uang sebesar Rp 700 juta. Padahal, kepada Mardika sendiri Ariyaningsih waktu itu mengaku memakai uang kisaran Rp 100 juta lebih. “Wira (Namiartha) kemudian meminta agar Ariyaningsih mengaku terus terang memakai uang berapa. Katanya, nanti akan dibantu setelah menjadi anggota dewan,” ungkap Mardika.
Ditambahkan Mardika, sebelumnya juga sempat ada pengembalian uang dari terdakwa dan perangkat desa lainnya. Termasuk mantan Perbekel Namiartha yang ikut mengembalikan sekitar Rp 8,5 juta. Mardika juga mengungkap modus pemakaian uang yaitu dengan cara kas bon. “Kegiatan yang tidak ada dalam RAB APBDes dibiayai oleh APBDes. Jadi, modusnya kas bon atau meminjam uang desa untuk membiayai kegiatan yang tidak ada dalam perencanaan,” beber Mardika.
Kesaksian Mardika ini sama dengan keterangan Desak Ketut Istri Mahyuni, mantan Kaur Kesra yang saat ini menjabat Kasi Pelayanan Desa Dauh Puri Klod dan I Putu Wirawan, mantan Kaur keuangan Desa Dauh Puri Klod. Dijelaskan Wirawan, dana Silpa terjadi selama dua periode Namiartha menjadi perbekel. Sejak 2010 disebut sudah ada Silpa, tapi jumlahnya sedikit. Silpa mulai menumpuk pada 2013 dan 2014. Meski terjadi Silpa yang tidak sesuai antara buku dan realita, semuanya diam. Menurut Wirawan, yang punya kewenangan mencairkan dana adalah bendahara dan perbekel.
Sementara saksi Desak mengatakan, terdakwa melakukan kas bon mengajukan kegiatan lebih dulu sementara kegiatan belum ada. Pengajuan kas bon ini tanpa disertai surat permintaan pembayaran. Semua kasbon cair atas persetujuan Namiartha sebagai perbekel. “Setiap kasbon di acc perbekel atau kepala desa dengan tanda tangan di lembar kasbon,” terang Desak. Permintaan kas bon tanpa adanya SPP ini melanggar Permendagri Nomor 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Dimana setiap pencairan dana harus disertai bukti. *rez
Hal ini diungkap salah satu saksi, I Nyoman Mardika yang merupakan salah satu anggota tim yang dibentuk untuk menelusuri masalah APBDes di Desa Dauh Puri Kelod. Dalam keterangannya di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (3/3), dirinya mengetahui adanya masalah ini setelah ada Tim Monev dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kota Denpasar.
Saat itu ditemukan ada Silpa APBDes 2017 sekitar Rp 900 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Lalu dibuat tim untuk menelusuri kemana uang yang hilang ini. “Saya salah satu anggota tim,” jelasnya.
Nah, dalam salah satu pertemuan inilah, mantan Perbekel Namiartha mengajak tim bertemu Wakil Walikota, Jaya Negara dan anggota dewan Kadek Agus Arya Wibawa. Dalam pertemuan di rumah Jaya Negara tersebut, Jaya Negara sempat menelpon Inspektorat untuk turun melakukan penyelidikan. “Saat itu diminta supaya Inspektorat melakukan investigasi dan menyelesaikan masalah ini secara internal,” tegasnya.
Setelah Tim Inspektorat turun, lalu keluar LHP yang harus ditindaklanjuti setelah 60 hari. Namun hingga 60 hari lebih, tidak ada tindak lanjut dari pihak Desa maupun Inspektorat. Sehingga Mardika membuat laporan ke aparat penegak hukum. “Tapi saya tidak melaporkan orang. Saya hanya melaporkan adanya dugann uang Silpa yang tidak bisa dipertanggung jawabkan,” jelasnya.
Mardika juga mengungkap jika dirinya sempat didatangi Namiartha ke rumahnya. Saat itu Namiartha menyebut Ariyaningsih ternyata telah memakai uang sebesar Rp 700 juta. Padahal, kepada Mardika sendiri Ariyaningsih waktu itu mengaku memakai uang kisaran Rp 100 juta lebih. “Wira (Namiartha) kemudian meminta agar Ariyaningsih mengaku terus terang memakai uang berapa. Katanya, nanti akan dibantu setelah menjadi anggota dewan,” ungkap Mardika.
Ditambahkan Mardika, sebelumnya juga sempat ada pengembalian uang dari terdakwa dan perangkat desa lainnya. Termasuk mantan Perbekel Namiartha yang ikut mengembalikan sekitar Rp 8,5 juta. Mardika juga mengungkap modus pemakaian uang yaitu dengan cara kas bon. “Kegiatan yang tidak ada dalam RAB APBDes dibiayai oleh APBDes. Jadi, modusnya kas bon atau meminjam uang desa untuk membiayai kegiatan yang tidak ada dalam perencanaan,” beber Mardika.
Kesaksian Mardika ini sama dengan keterangan Desak Ketut Istri Mahyuni, mantan Kaur Kesra yang saat ini menjabat Kasi Pelayanan Desa Dauh Puri Klod dan I Putu Wirawan, mantan Kaur keuangan Desa Dauh Puri Klod. Dijelaskan Wirawan, dana Silpa terjadi selama dua periode Namiartha menjadi perbekel. Sejak 2010 disebut sudah ada Silpa, tapi jumlahnya sedikit. Silpa mulai menumpuk pada 2013 dan 2014. Meski terjadi Silpa yang tidak sesuai antara buku dan realita, semuanya diam. Menurut Wirawan, yang punya kewenangan mencairkan dana adalah bendahara dan perbekel.
Sementara saksi Desak mengatakan, terdakwa melakukan kas bon mengajukan kegiatan lebih dulu sementara kegiatan belum ada. Pengajuan kas bon ini tanpa disertai surat permintaan pembayaran. Semua kasbon cair atas persetujuan Namiartha sebagai perbekel. “Setiap kasbon di acc perbekel atau kepala desa dengan tanda tangan di lembar kasbon,” terang Desak. Permintaan kas bon tanpa adanya SPP ini melanggar Permendagri Nomor 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Dimana setiap pencairan dana harus disertai bukti. *rez
1
Komentar