MUTIARA WEDA: Akankah Terus Terjadi?
Satyam bhavati kim jātu jalam marumaricissu (Katha Sarit Sagara)
Pernahkan ada air yang sesungguhnya dalam fatamorgana?
DALAM perdebatan tentang teori kebenaran, salah satunya disebutkan prātibhāsika satyam. Artinya, benda tertentu kelihatan ada, tapi nyatanya tidak ada, seperti halnya genangan air di atas aspal di bawah terik matahari. Teori ini memang diperdebatkan panjang. Bahkan, interpretasi belakangan atas pandangan filsafat Advaita Adi Sankaracharya terhadap dunia digolongkan ke dalam teori ini. Oleh karena kebodohan (avidya), apa yang dipersepsi oleh panca indera tampak nyata, tapi saat kebodohan tersebut lenyap, seperti kegelapan di hadapan cahaya, maka yang ada hanyalah Brahman, kebenaran absolut. Saat tali disangka ular, maka ular itu tampaknya real, tetapi ketika disadari bahwa ular hanya tampaknya saja ada, maka yang ada hanya tali. Seperti demikian kira-kira analoginya.
Itu penjelasan tentang kebenaran jika dilihat dari kebenaran absolut (paramartika satyam). Jika kebenaran tentang fatamorgana ini ditunggangkan ke dalam kebenaran empiris (kebenaran yang tampak oleh indera), yang secara umum disebut sebagai realita, ia memiliki banyak sisi yang layak juga diperdebatkan. Bisa dikatakan bahwa kebenaran fatamorgana ini seolah-olah menjadikan hadirnya penderitaan manusia. Penderitaan seolah-olah nyata adanya. Padahal sesuatu yang tidak nyata tidak memiliki kekuatan apa-apa. Mengapa? Karena, contohnya, mungkin sebagian besar ahli agama mengkotbahkan kebenaran, politisi mengkampanyekan dirinya berjuang untuk kebenaran, pebisnis bekerja siang malam dalam upaya meraih kebaikan yang lebih tinggi, dan hampir semua yang lainnya berjuang untuk tujuan kebaikan dan atau kebenaran. Setiap orang menilai orang lain berdasar pada kebenaran (dirinya). Bisa dikatakan semua bermula dari kebenaran, berproses dalam kebenaran, dan tujuan yang hendak dicapai juga kebenaran. Jika demikian, mengapa ada
penderitaan? Mengapa ada perang? Mengapa ada kerusuhan? Mengapa ada kebencian? Apa hubungan semua ini dengan kebenaran?
Mungkin teori ini bisa memberikan sedikit clue bahwa kebenaran tersebut sesungguhnya fatamorgana. Realitanya, apa yang menjadi dasar semua itu adalah kebencian, keserakahan, kemarahan, dan irihati. Empat pilar sifat raksasa inilah yang bekerja atas nama kebenaran. Apa yang diucapkan dengan apa yang sesungguhnya bekerja berbeda. Yang real bekerja inilah menjadi sumber penderitaan itu. Kebencian, keserakahan, kemarahan, dan irihati adalah sumbernya, bukan yang lain. Bahkan, hal yang lebih berbahaya lagi adalah kemarahan yang dibalut dengan ajaran agama. Yang disampaikan adalah kebenaran ajarannya, tetapi hal yang hendak dipantik dari umat adalah emosinya. Jika emosi massa telah tersulut, bendera kebenaran yang diusungnya itu bisa secara efektif menghancurkan. Mengapa menghancurkan? Bukan kebenarannya yang menghancurkan. Kebencian yang mendasari perilaku itulah yang menghancurkan. Penghancurannya tidak saja pada saat kejadian, namun sejak kebencian dengan topeng kebenaran itu diajarkan dari awal. Kejadian sepert
i kerusuhan dan kekerasan yang kerap terjadi (seperti di Delhi belakangan ini) adalah puncaknya saja. Ibarat api dalam sekam, apinya telah lama ada.
Bagaimana cara mengatasinya? Yang selama ini dilakukan adalah menyelesaikan masalah yang telah terjadi saja, dan jarang sampai ke akarnya. Di mana akarnya? Kemarahan, kebencian, keserakahan, dan irihati ada di dalam pikiran. Jadi, pikiran adalah akarnya. Sehingga dengan demikian, pikiran yang harus diselesaikan. Bagaimana menyelesaikannya? Ini memerlukan teknologi tinggi agar mampu menstruktur ulang pikiran. Sampai saat ini teknologi yang masih diakui paling efektif untuk itu adalah Yoga, sebagaimana Patanjali mensistematisasikannya ke dalam delapan tingkatan (astangga Yoga). Demikian juga ada teknik lain yang keampuhannya tidak diragukan. Akar kemarahan, kebencian, irihati, dan keserakahan itu mesti tercabut tuntas di pikiran. Hanya dengan demikian, kebenaran akan hadir apa adanya. Apa yang diceramahkan, apa yang dijadikan sebagai alat, dan apa yang dijadikan sebagai tujuan akan benar-benar kebenaran, bukan fatamorgana. Pikiran yang tertutup oleh keempat pilar itulah yang menjadikan kebenaran itu fatamorgana
Semua fasih membicarakannya tetapi tetap asing ketika diaplikasikan ke dalam kehidupan. Dipastikan bahwa, jika akar itu tidak tercabut, sampai kapan pun kekerasan akan terus terjadi, dan penderitaan tidak akan pernah beranjak dari kehidupan manusia. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vednata
1
Komentar